44) Saat Yang Sabar Mulai Lelah

261 25 12
                                    

“Perasaan sewaktu-waktu bisa berubah karena Tuhan cukup pandai dalam mengaturnya.”

🍁🍁🍁

"Jangan harap saham saya yang dua puluh persen di hotel anda akan saya biarkan begitu saja jika anda membatalkan semuanya."

"Saya tidak peduli, anak saya lebih berharga."

"Oh, ya? Bukannya dulu anda sendiri yang memberi usulan untuk menjodohkan anak-anak kita?"

"Itu dulu, saya harap anda paham."

"Oke, saya harap anda menyesal."

"Terimakasih dan sayangnya saya tidak akan pernah menyesal karena harus anda ketahui jika keluarga lebih dari segalanya. Permisi."

Percakapan singkat Agasa dan Raymond kemarin malam memberikan dampak begitu dahsyat pada keluarga kecil Agasa. Mulai dari saham hotel yang menurun drastis dan Agasa beserta anak dan istrinya terpaksa harus meninggalkan kediaman mereka karena Agasa menggadaikannya ke bank membuat mereka harus pindah ke kediaman mendiang Adimas, papanya Diana.

Adia tentu merasa bersalah, berkali-kali dirinya mengatakan jika dia bersedia tunangan dengan Justin, tetapi Agasa menghiraukannya.

"Ini semua gara-gara aku," lirih Adia sembari menatap rumah megah milik kedua orangtuanya.

Diana menghela nafasnya kemudian menghampiri Adia, mengusap pundak putri bungsunya itu. "Kamu enggak salah, Nak. Jatuh bangun dalam bisnis itu hal biasa. Semua pasti baik-baik aja."

"Tapi, yang ini paling parah, Ma. Selama ini kita belum pernah keluar dari rumah kita, Ma. Adia tahu rumah ini Mama dan papa beli dengan uang kalian sendiri. Adia salah, maafin Adia."

Adia mulai terisak, dia merasa sangat bersalah. Semakin orang-orang berkata jika dirinya tak bersalah, maka semakin besar juga rasa bersalahnya.

"Meninggalkan rumah ini jauh lebih mudah, daripada harus melepas kamu sama orang yang enggak kamu cinta, Adia. Kamu segalanya buat Mama. Jangan sedih, ya. Kita masih bisa tinggal di rumah kakek. Sedari dulu kakek mau kalau kelak Mama dan anak-anak Mama bisa tinggal di sana."

Diana menarik Adia ke dekapannya, mengelus punggung sang anak diiringi tangis tanpa suara. Munafik jika Diana tidak bersedih ketika harus meninggal rumah ini. Rumah yang Diana dan Agasa beli dengan hasil gabungan tabungan mereka saat itu. Namun, akan lebih sedih lagi jika Diana harus melihat anaknya bersama dengan orang yang tidak dicintainya. Pernikahan bukan hal main-main, Diana akan berusaha sebisa mungkin jika pernikahan anak-anaknya tidak ada yang gagal seperti kedua orangtuanya dulu.

***

Berbeda dengan keluarga Agasa yang harus meninggalkan kediaman mereka justru keluarga Langit akan kembali lagi ke kediaman mereka setelah hampir tiga tahun mereka meninggalkannya.

Senyum bahagia tak pernah luntur dari wajah Langit, Melly dan Nadia. Kenangan-kenangan indah di setiap sudut rumah berkeliaran di ingatan mereka.

"Finnaly aku bisa lihat foto keluarga kita lagi!" seru Nadia antusias sembari menatap foto dirinya, Langit, Melly dan mendiang Johan dengan ukuran sangat besar yang diletakkan di ruang tamu.

Dulu ketika mereka pindah, mereka tidak diizinkan untuk membawa barang-barang mereka kecuali baju dan perhiasan saja. Hal itu tentu membuat mereka saat itu harus memulai semuanya dari nol, padahal saat itu Langit baru akan masuk SMA, tetapi beruntungnya Langit mendapatkan beasiswa.

Tentang Adia [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang