Hari-hari berlalu dengan penuh kepedihan dan keheningan. Perang memang tidak terjadi namun darah tetap mengalir dari kedua pihak.
Di kastil Telmar, semua berdiri di ruang singgasana. Sebagian menunggu keputusan akhir bagaimana mereka harus membayar kesalahan mereka. Edmund berhasil menghentikan tindakan pemberontakan apa pun yang pihak musuh sempat ingin lakukan, namun dengan kebijaksanaannya ia berkata, "Kembalilah ke negerimu dengan membawa surat tawaran ini. Sebuah persetujuan perdamaian yang diinginkan Raja kalian yang gugur. Jika ada dari kalian yang mengasihi Raja kalian. Sampaikan ini pada monarki setelahnya. Kami akan menunggu jawabannya secepat mungkin. Pasukan Voronin diperbolehkan tinggal bersyarat di Narnia atau pergi mencari jalan pulang ke dunia kalian sendiri." Edmund melihat ke arah Luna yang berdiri di antara rakyatnya tersenyum bangga atas apa yang keduanya telah capai.
Ia bisa saja mengamuk dan mendendam pada pasukan Voronin dan Calormen, namun ia memilih untuk memaafkan mereka dan memberi mereka kesempatan kedua untuk hidup dengan damai. Ide itu mempengaruhi keputusan Edmund dimalam sebelumnya, saat Edmund terduduk merenung di bebatuan jendela diruang rapat kastil, melihat ke arah bekas kepulan asap dan kabut yang mulai memudar. "Tak aku sangka semuanya akan terjadi sesingkat ini. Terlalu singkat, tapi terlalu pedih," ucap Luna saat para dewan pergi meninggalkan mereka berdua untuk berbicara. "Apa ada kabar baru dari Caspian?"
Edmund menggeleng tanpa melepaskan pandanganya ke arah horizon yang mengarah ke perbatasan Archenland. "Tidak. Aku masih berharap Lucy dan Eustace berhasil pulang."
"Lalu bagaimana dengan kita?" tanya Luna sambil memainkan lengan panjang gaunnya.
"Kita? Kau berharap kita ada di mana?" Edmund terdiam menunggu jawaban namun yang ia dengar hanya suara seretan sepatu di belakangnya. Ia melihat Luna sedang mengitari meja dewan yang dipenuhi kertas. Membaca perkamen berisi hasil perundingan. "Apa kau pikir Constance akan menerima hukumannya?" tanya Edmund.
Luna menggeleng sambil menyentuh dan membaca kertas-kertas yang dipenuhi keputusan akhir itu. "Tentu saja tidak. Tapi dia harus menerimanya. Hukuman penjara seumur hidup akan cukup untuk merugikan siapa pun. Lebih baik itu dibandingkan hukuman mati. Aku tidak bisa melihat siapa pun gugur lagi. Itu termasuk pasukan Constance... dan si Thomas Peterson. Ku akui ia menjengkelkan tapi aku ingin memberi mereka kebebasan memilih walaupun dengan syarat."
Edmund bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Luna untuk menggenggam tangannya dan menciumnya. "Kau yakin? Bagaimana kalau mereka kembali untuk melukaimu?"
Luna hanya menjawab, "Aku akan menghadapi mereka lagi jika aku harus." Lalu ia melepaskan genggaman Edmund... dan untuk pertama kalinya, mereka saling mendekap tanpa harus mengkhawatirkan apa pun setelah perjalanan mematikan mereka melawan Voronin, sampai...
"Memergoki kalian berduaan rasanya akan menjadi hobi baruku..." goda Phil.
Phil datang dari arah pintu diikuti Lucille yang berkata, "Percayalah, mereka akan membalasmu kalau mereka tahu soal-"
"Oit... Tidak, tidak." Phil menutup mulut Lucille dan membuatnya tertawa. "Seharusnya aku masih ada di kantor 'telepon' ku sekarang. Apa kau pikir aku akan dipecat?" Phil mencoba mengalihkan pembicaraan, namun Luna tahu tabiat kakaknya.
Lucille melangkah masuk dan berhenti di sisi meja di mana Edmund biasa duduk. Ia melihat sesuatu mencuat di balik tumpukan perkamen. Ia mengenalinya disuatu tempat namun ia tidak benar-benar ingat sampai ia mengambil dan memperhatikannya. "Aku pernah melihat ini sebelumnya. Beberapa tahun ke belakang saat acara makan bersama. Aku kira ini milik Lucy."
"Sebenarnya... bukan milik Lucy. Aku beli untuk orang lain." Edmund menggaruk lehernya gugup.
Lucille sadar apa yang dimaksud Edmund. "Aku tidak menyangka kau masih memilikinya dan belum kau berikan sampai sekarang, Edmund."
Edmund melepaskan diri dari dekapan Luna dan mengambil benda itu dari tangan Lucille dengan gugup. "Emm... ya... aku juga baru menemukannya di saku celana lamaku. Aku mungkin sudah memberikannya kalau kita tidak terlibat kejar-kejaran di Amerika. Atau terlibat peperangan. Atau... apa pun itu yang membuatku selangkah lebih dekat kepada kematian."
Lucille agak kaget dengan sarkasme itu, namun ia paham apa maksudnya, ia terkekeh dan berkata, "Apalagi yang kau tunggu?"
Edmund menghela nafas panjang dan berbalik ke arah Luna. "Token kecil yang kudapatkan beberapa tahun ke belakang."
Ia menaruh benda itu ditangan Luna dan setelah sekian lama, akhirnya kalung bulan dan pohon kehidupan itu berada ditangan pemilik semestinya. Pria dua puluh satu tahun itu terlihat seperti bocah lima tahun yang memberikan bunga pada gadis yang disukainya. Pipinya yang memerah membuat Luna tertawa. "Santai saja, Ed. Aku menyukainya. Terima kasih." Edmund membantu memasangkan kalung itu dileher Luna dan mereka berdua becanda membicarakan kalung.
Phil mengitari ruangan, berharap menemukan sesuatu yang menarik untuk ditelaah. Lucille mengikutinya dan Phil mengingat apa yang ingin ia tanyakan, "Lucille... aku ingat kau dan Luna bilang padaku bahwa sebuah buku ajaib menuntunmu ke sini. Betulkah?" Lucille mengangguk. "Apa saja yang tertulis di situ?" tanya Phil.
"Emm... semacam buku cerita tentang kalian. Perjalananmu sebelumnya ke sini pun tertulis saat terakhir kali aku baca. Namun aku tidak sempat membaca seluruhnya, tapi aku ingat tentang ibumu-"
"Ibuku? Ada cerita tentang ibuku di buku itu?" tanya Phil kaget.
"Hanya yang mempengaruhi jalan cerita hidupmu," jawab Lucille.
"Buku apa?" tanya Edmund yang berjalan mendekat dari ujung ruangan.
"The Legend Untold," ungkap Lucille.
"The Legend Untold oleh D .K?" Edmund menghentikan langkahnya mengenali judul buku itu. "Aku pernah menemukannya di perpustakaan. Aku juga menemukannya di kamarku dan Eustace tapi ia bilang ia tidak meminjamnya, jadi aku kembalikan ke perpustakaan. Buku itu aneh. Memiliki banyak lembaran kosong. Kau membawanya ke sini?"
"Buku itu ajaib, Ed," ucap Luna.
Lucille melanjutkan. "Aku percaya bahwa tulisan inisial D.K itu adalah profesor Digory Kirke... mungkin untuk menutupi penulis aslinya... siapa pun itu makhluk gaib yang menulisnya," balasnya.
Mereka saling melengkapi informasi yang mereka ketahui mengenai buku itu sampai Luna bertanya, "Apa mungkin buku itu bisa membuktikan bahwa ayahku masih hidup?"
Luna berlari pergi dan kembali dengan membawa buku itu ditangannya.
Lucille membukanya dan menelaah daftar isi dan menjelaskan, "Lihat ini... Semua bab-nya hanya menuliskan apa pun yang terkait dengan perjalanan Narnia. Perjalanan kalian berakhir kembali ke Italia. Mungkin deskripsi ini yang membuat ayahku berhasil membuntuti kalian dari Italia sampai kalian sendirian di Amerika. Namun setelah itu, tak ada lagi cerita sampai perjalanan kedua. Jika nasib ayah kalian akan mempengaruhi keberlangsungan Narnia, kondisinya pasti tertuliskan di sini."
Berjam-jam mereka mencari namun hasilnya nihil. Tak ada sepatah kata pun yang dapat membuktikan hidup dan mati Archontas Di Ilios.
"Aku tidak bisa hidup dengan ketidakpastian ini," keluh Luna.
Phil memegang pundak Luna dan menjawab, "Suatu hari kita akan mendapatkan jawabannya. Aku yakin. Tapi tidak sekarang. Untuk sekarang, ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan, ada banyak orang yang nasibnya berada ditangan kita. Mungkin itu kenapa kita belum mendapatkan jawabannya."
"Bagaimana kalau kita tak akan pernah mendapatkannya? Atau bahkan bertemu ayah lagi?" Luna terduduk di bebatuan jendela.
Phil mengikutinya, duduk disebelahnya, dan menjawab, "Kita pasti bertemu dengannya lagi, mungkin tidak didunia ini... aku yakin ia baik-baik saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost In Time: Martyrs (BOOK 2 - 2024 Revision On Progress)
FanfictionCOMPLETED (with old format). Buku ke-2 dari seri Lost In Time. Sejak perjalanan terakhir di Narnia, mereka tahu waktu akan menjadi musuh terbesar dalam hidup mereka. Perjalanan baru dimulai, mengungkapkan apa yang hilang dari sejarah dunia Narnia da...