-Halvor Hamid-
"Aku mau kembali ke Inggris! Aku akan lapor polisi! Ini semua tidak masuk akal!" Si bocah berteriak tidak karuan. Aku berusaha menyibukkan diri membuat tempat ini sedikit lebih layak untuk kami pakai beristirahat.
Sejak kejadian di mana kami jatuh ke laut dan berakhir di sebuah kubangan air dangkal di dalam gua itu, harus aku akui, aku sudah terlalu lelah untuk mempertanyakan apapun. Tidak masuk akal, memang. Namun harus kuterima, beginilah adanya. Anak yang bernama Eustace itu tidak berhenti mengeluh tentang semua hal yang bisa dia keluhkan. Berteriak tidak jelas ke arah batu yang membuatnya tersandung atau kepada burung tak bersalah yang sedang bertengger di sebuah pohon di depan gua sambil berjalan keluar masuk berkali-kali. Sampai detik ini, selalu ada yang bisa ia marahi.
"Nak, nak. Tenanglah. Aku juga tahu kalau ini tidak masuk akal. Kita baru saja keluar dari kubangan air setinggi mata kaki dan aku tahu ini semua tidak masuk akal. Tapi tidak ada yang bisa mengabulkan permintaanmu."
Dia berbalik memarahiku. "Kenapa kau begitu santai? Apa kau tahu di mana kita!? Aku akan melaporkanmu karena kau telah menculikku!" teriaknya.
Reaksinya membuatku makin malas melayani anak ini. Namun hatiku berkata anak ini benar-benar ketakutan. Reaksinya lumrah. Apa pun itu, aku harus berusaha mencari anak-anak lainnya. Aku harus membawa anak ini kembali ke keluarganya. Aku harus tahu di mana kami berada. "Baiklah kalau begitu. Kita tidak akan diam. Sekarang, ikut aku!" jawabku sambil berjalan pergi. Aku agak kaget anak itu tidak bertanya kenapa dia harus mengikutiku tapi dia tetap berjaln di belakangku.
Teruslah kami berjalan selama beberapa puluh menit. Kadang aku mendengar dia berbisik mengoceh sesuatu, namun ocehannya makin lama kian melemah.
Baru saja kupikir ocehannya berhenti, tiba-tiba ia berteriak dengan begitu kencang dan bernada tinggi. "Aaaahhh!"
Saat aku berbalik, sebuah panah tertancap ke pohon dan berada tepat di depan wajahnya. "Siapa di sana?!" tanya seseorang dari balik pohon tak begitu jauh dari kami.
Aku menjawab dengan agak gugup. "Kami... pengelana! Kami tersesat. Kami tidak bermaksud melukai siapa pun." Sepertinya orang itu mengerti. Dia keluar dari balik pohon dan mengomando beberapa orang dan berjalan mendekati kami. Yang kulihat adalah pemuda yang diikuti oleh sekumpulan prajurit..
Dia menjawab, "Maafkan aku. Aku kira kalian bersenjata... sepertinya... tidak. Kau tidak apa-apa, dik?"
Seperti dugaanku, anak itu mulai mengoceh lagi. Jadi ku alihkan perhatian orang itu dan menjawab, "Dia baik-baik saja, nak."
Aku sempat memperhatikannya. Pria muda yang gagah, berambut dan bermata cokelat. Dia memiliki wajah seperti orang Eropa, ia juga membawa sebilah pedang di sabuknya dan senjata crossbow di tangannya. Meski dengan perlengkapan yang begitu mengintimidasi, ia berucap dengan sopan, "Bapak tidak apa-apa?" tanyanya.
Aku memberinya senyuman dan mengangguk. "Aku baik-baik saja. Maafkan aku, anak itu sedang linglung. Jangan diambil hati."
Perkataanku membuat dia terkekeh. Untuk sesaat dia memandangku seakan-akan ada sesuatu yang aneh denganku. Kulihat ia mengambil waktu dan memberanikan diri untuk bertanya, "Maafkan kalau aku lancang, namun pakaianmu sangat tidak familiar dengan pakaian penduduk negeri ini. Dari mana kalian berasal?"
"Amerika! Kami dari Amerika! Sebenarnya aku dari Inggris! Kau tahu apa? Aku hanya ingin pulang!" Eustace menjawab panik.
Mata pemuda itu mengatakan bahwa ia menyadari sesuatu. "Inggris? Aku pernah mendengar tempat itu sebelumnya." Dari raut wajahnya aku bisa melihat bahwa ada sesuatu tentang dia dan 'Inggris', dan dia berusaha mengingat sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost In Time: Martyrs (BOOK 2 - 2024 Revision On Progress)
FanfictionCOMPLETED (with old format). Buku ke-2 dari seri Lost In Time. Sejak perjalanan terakhir di Narnia, mereka tahu waktu akan menjadi musuh terbesar dalam hidup mereka. Perjalanan baru dimulai, mengungkapkan apa yang hilang dari sejarah dunia Narnia da...