-Phylarchus-
Kaki kami membawa kami ke pelabuhan. Kami sudah berjalan cukup lama. Sekitar seperempat perjalanan yang seharusnya kami tempuh untuk sampai ke tujuan. Baju kami yang tadinya terpakai rapih kaku kini mulai kusut. "Mungkin kita bisa masuk taksi ... lalu kabur."
"Aku tidak yakin bisa mempercayai supir taksi sekali pun," protes Luna. "Dan, tolonglah. Kita mungkin sudah jadi buronan toko baju. Kau mau kita jadi buronan supir taksi juga?"
Aku mencoba membela diri. "Kalau jalan kaki ke sana dengan jarak sejauh ini bisa menghabiskan waktu lebih dari satu jam. Dengan taksi, kita bisa sampai dalam empat puluh menit, dan ..." Aku merogoh saku celanaku. "Uangku hanya akan cukup untuk taksi yang paling murah dari sini. Makanya aku tidak bayar baju kita tadi..."
"Luar biasa sinting kadang ... aku tidak kuasa mengelak."
Edmund geleng-geleng kepala. "Oke... Aku tidak akan menganggap ini barang curian, anggap saja barang rampasan perang dan bagaimana kau bisa menyimpan uangmu selama disekap? Orang-orang Voronin menggeledahku dan mengambil semua uangku. Bagaimana bisa kau masih punya uang?" tanya Edmund.
Ya mungkin kau harus lebih pintar, Edmund. "Mungkin lain kali kau harus coba simpan uangmu di kaos kaki... atau di... celana dalam."
Luna menepuk jidatnya. "Oh, Phil. Aku akan berpura-pura tidak mendengarkan apa yang kau katakan. Kau tidak benar-benar menyimpan uangmu di sana kan?"
Aku menggeleng. Aku mengangkat kakiku dan menunjuk ke arah telapak kaki.
"Lain kali akan aku coba. Sekarang, ayo kita pergi selamatkan adikku," jawab Edmund.
Aku menarik mereka berdua menaiki sebuah taksi tidak berpenumpang. "Pak, tolong antarkan kami ke pelabuhan," pintaku.
"Baik, tuan," jawab supir taksi itu. Kami masuk dan mengambil tempat kami masing-masing. Aku duduk di kursi penumpang depan sedangkan Luna dan Edmund di belakang.
Sepanjang jalan, sesekali melihat ke arah kaca mobil untuk melihat penumpang belakang lalu mengintip mereka yang beraktifitas di jalanan. Orang-orang itu tidak tahu kalau masih ada orang jahat di antara mereka meskipun perang sudah usai. Aku bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi setelah kami menemukan Lucy. Sekali lagi kulihat mereka di belakang melalui cermin tengah mobil. Keduanya tidak terlihat begitu lelah, namun ada kelegaan yang kurasa di antara mereka. Luna mengusap debu yang ada di pipi Edmund dan mengalihkan perhatian Edmund dari jalanan. Berbincang seakan-akan aku tidak ada di sana. Mungkin itu hal yang baik.
Aku mengalihkan pandanganku. Mendengar dalam diam saat Edmund berbisik, "Bertahun-tahun aku mencarimu, malah kau yang menemukanku. Tersekap di sebuah ruangan dengan kakakmu dan dijaga oleh pria berkumis Chaplin."
"Bagaimana ya kabarnya?" jawab Luna terkekeh.
Mereka saling bersandar dan mencoba beristirahat sejenak, dan tak lama mereka tertidur bersandaran.
Si supir berdehem dan bertanya, "Cemburu?"
Aku menjawab dengan datar. "Untuk apa aku cemburu? Gadis itu adikku."
Dia tertawa kecil. "Mungkin justru itu, nak. Semua kakak laki-laki pasti begitu. Tidak salah kalau kau cemburu melihat adikmu sendiri dekat-dekat dengan lelaki lain."
Aku terkekeh, mengangguk dan terdiam.
"Siapa namamu?" tanya si supir.
Aku sempat terdiam ragu untuk memberikan nama asliku, jadi aku jawab, "Umm aku... John ... John Page."
Dia sempat terdiam dan tersenyum kecil. "Namaku, Halvor... Halvor Hamid. Senang berkenalan denganmu." Dia menyodorkan tangan kanannya, masih dengan tangan kiri di kemudi. Aku menjabat tanganya, megucapkan salam kenal. "Kau terlihat kelelahan. Istirahatlah. Aku akan membangunkanmu saat kita sampai." Aku sempat merasa khawatir. Aku takut kalau supir ini adalah bawahan Voronin. Namun aku tak bisa menyangkal bahwa mataku terasa berat dan hatiku tenang berada di mobil ini.
Mungkin aku bisa mengistirahatkan mataku sejenak.
Terasa sebuah tangan menepuk bahuku dan membangunkanku. Suara si supir terdengar agak tegas dan panik walau dia berusaha menutupinya. "Tuan. Kita sudah sampai, tapi aku tidak bisa menurunkanmu di pintu utama bangunan. Banyak orang bersenjata di sana. Aku tidak berani berhenti di sana. Sekarang kita ada di sisi lain stasiun."
Dengan segera aku melihat ke kursi belakang dan melihat Luna dan Edmund sudah terbangun dan siap keluar. Aku tidak berpikir panjang dan langsung keluar menyelinap masuk ke pelabuhan. Tuan Halvor Hamid yang sudah keluar dari taksi berlari mengikuti kami. Aku tidak tahu kenapa, lalu kuingat aku belum membayarnya. Aku merogoh sakuku dan menyodorkan uang, namun ia menggeleng. Memintaku untuk menyakui uangku.
Suara klakson kapal mengalihkan perhatianku. Dari sini aku bisa melihat sebuah kapal Feri sudah agak mendekat dan siap berlabuh. Tuan Hamid menyipitkan mata seakan menyidik. "Kapal itu dari Inggris, bukan? Siapa yang kalian tunggu?" tanya tuan Hamid.
Edmund menjawab, "Adikku."
Tuan Hamid mengangguk dan terus memperhatikan sekitar, mencoba mencari tempat yang lebih aman. "Aku tidak tahu siapa orang-orang di depan. Siapa pun mereka, mereka tidak seharusnya membawa senjata sebanyak itu di depan umum. Mereka tidak berseragam. Mereka bukan tentara. Kalaupun mereka menunggu seorang kriminal di kapal itu, aku tidak yakin harus berpenampilan mencolok hitam-hitam macam itu. Aku harap mereka tidak menunggu orang yang kalian tunggu," jelasnya.
Luna menarik mundur kami bertiga dan bersembunyi di salah satu pilar. "Voronin. Dia pasti di sini," bisiknya panik. Kapal feri membunyikan klaksonnya lagi tapi tidak ada seorang pun di daratan yang membantu nahkodanya berlabuh. Salah satu orang dari kapal itu keluar dari ruang kemudi dan berjalan ke ujung dek kapal. Ia memakai teropong, mencoba mencari orang, namun tak ada seorangpun keluar dari bangunan stasiun pelabuhan. Bahkan orang-orang Voronin tidak lagi berada di sana.
Ke mana mereka?
Edmund menggengam lenganku untuk menarik perhatianku. "Phil, orang-orang ini benar-benar serius tentang mencari jalan ke Narnia. Aku tidak akan membiarkan mereka menemukannya, dan jika ada orang di antara kita yang dapat menemukannya, Lucy lah orangnya. Jika sesuatu terjadi, aku akan mengalihkan mereka. Kalian bawa Lucy pergi dari sini. Kalaupun kalian tahu pintu masuk ke Narnia, jangan sekalipun kalian beritahu mereka," pintanya.
Aku paham kalau Edmund merasa sangat bertanggung jawab. Peter dan Susan tidak akan kembali ke Narnia dan kalau kami benar-benar bisa kembali ke sana, Edmund akan menjadi raja tertinggi. Dia tidak akan ragu mempertaruhkan nyawanya untuk kerajaannya sendiri, tapi aku juga tidak bisa membiarkan dia mati karena seorang pria yang menyebut dirinya 'paman'ku.
"Dengarkan, bocah. Kau tidak sendirian. Jangan bicara macam-macam lagi," geramku pada Edmund.
Tuan Hamid berusaha menenangkan kami. "Hei, hei, hei. Tidak akan ada yang mati hari ini."
Kulihat dahi Luna mengernyit keheranan. "Siapa bapak sebenarnya? Kenapa kau membantu kami?" tanya Luna.
Dia berusaha tersenyum tenang. "Namaku Halvor Hamid. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya tidak bisa membiarkan anak-anak seperti kalian main pancing memancing dengan gerombolan pria bersenjata."
"Hei, aku sudah 22 tahun, tuan," belaku.
Dia hanya menepuk bahuku. Saat terkekeh, aku bisa lihat matanya seakan ikut tersenyum. Ia berkata, "Jauh lebih bocah daripada aku, kan? Sekarang... dengarkan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost In Time: Martyrs (BOOK 2 - 2024 Revision On Progress)
FanfictionCOMPLETED (with old format). Buku ke-2 dari seri Lost In Time. Sejak perjalanan terakhir di Narnia, mereka tahu waktu akan menjadi musuh terbesar dalam hidup mereka. Perjalanan baru dimulai, mengungkapkan apa yang hilang dari sejarah dunia Narnia da...