-Phylarchus-
"Lihat!" Seruku melihat sebuah sungai mengalir tak jauh dari tempat kami berdiri.
Lucy mengangguk. "Itu pasti Beruna. Tempat pertempuran terakhir kita terjadi. Semua kastil di Narnia pasti dekat dengan sumber air. Kalau dugaanku benar, Kastil Caspian tidak akan jauh-jauh dari jalur sungai ini," jelas Lucy. "Aku tidak yakin arahnya ke mana. Mungkin Lantern Waste,"
*****
Itu bagaimana kami memulai perjalanan kami. Menuju kastil Caspian dan berharap menemukan Luna dan Edmund. Kami memutuskan untuk terus menyusuri sungai. Satu-satunya sumber air mengalir yang mengarah tepat ke kastil Telmar. Seharian kami berjalan, berhenti dan beristirahat sesekali dari saat matahari terbit sampai terbenam. Kami menyadari suatu kejanggalan. Cukup lama kami menyusuri sungai itu, namun kami tidak dapat menemukan siapapun.
Lama berjalan, gelapnya langit malam di hutan ini memaksa kami untuk bermalam. Kami berhenti di satu titik di tepi sungai. "Aku akan berjaga, kau sebaiknya tidur duluan."
Lucy mengangkat bahunya. "Tak ada siapapun di sekitar sini. Setidaknya kau bisa sedikit santai." Ia terduduk di bawah pohon rindang dan bersandar padanya.
Aku berjalan ke arah sungai dan terduduk di sebuah batu tepat di pinggir sungai. Tanganku menguncup membentuk mangkuk, mengambil air sungai, lalu membasuh wajahku dengan air itu. Air itu menyegarkanku dari keringat yang mengucur. Ketenangan arus airnya membuatku terlalu rileks sehingga pikiran-pikiran yang sempat hilang selama perjalanan, kini kembali menyerang kepalaku.
Kalau dipikir-pikir, sesampainya aku di kastil Telmar pun, tak akan ada yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Sepertinya aku akan lebih berguna di Amerika, apalagi setelah orang-orang yang ternyata adalah anak buah Voronin mulai masuk ke Amerika tahun lalu. Banyak kasus-kasus kriminal di sana yang berhubungan dengan hilangnya artefak-artefak di museum atau buku-buku sejarah yang hilang dari perpustakaan-perpustakaan besar. Dan merekalah pelakunya.
Aku ingat beberapa berkas kasus yang harus aku tangani yang berkaitan dengan "The Crows." Gagak-gagak. Itu sebutan yang kami berikan kepada kelompok orang-orang ini. Sebelumnya, kami tidak tahu kalau mereka ini adalah satu kelompok kriminal. Namun mereka semua punya satu kesamaan. Mereka memiliki setidaknya satu barang yang memiliki emblem gagak yang sedang mencengkram sebuah gulungan kertas di kakinya terpasang di tubuh mereka. Entah itu dipakai sebagai pin, terukir di jam tangan, kunci, dan sebagainya. Kami berhasil menangkap beberapa orang yang memiliki emblem gagak itu saat mereka mencoba mencuri sesuatu, tapi kami tidak tahu kalau ada lebih banyak orang dari yang kami kira yang ternyata berkaitan dengan kelompok ini.
Sampai aku bertemu Voronin.
Aku mengenali beberapa wajah di antara anak buahnya. Wajah orang-orang yang pernah aku tangkap sebelumnya. Mereka menculikku. Tapi dari semua "kejutan" yang Voronin berikan padaku selama setahun terakhir, aku masih belum bisa menerima kalau si bajingan Voronin itu mengaku-ngaku kalau dia adalah pamanku. Oh, entah kenapa aku masih belum bisa melupakan memori saat ia mengakui siapa dirinya.
Yaaahhh... sekarang rahasia si Voronin mulai terungkap, jadi mungkin saat aku kembali, aku bisa meyakinkan atasanku untuk mengirim orang untuk menangkap mereka semua. Sayangnya, aku tak akan bisa membawa bukti-bukti yan mungkin akan aku dapatkan di dunia ini. Entah bagaimana, aku akan mencari cara. Entah di sini atau di duniaku, aku harus mencari cara untuk menahan orang gila itu.
Itu pun kalau aku belum di pecat dari kantorku.
YA TUHAN JANGAN SAMPAI AKU DIPECAT.
Aku sudah bekerja sebagai agen di sana sejak aku berumur delapan belas tahun. Sudah empat tahun berlalu. Aku sudah naik pangkat menjadi agen lapangan, itu sebuah kemajuan dalam hidupku dan Luna sudah mengetahui kenyataannya kalau aku tidak benar-benar bekerja sebagai aktor theater atau operator telepon. Maksudku, aku pernah menjadi aktor tapi itu hanya pekerjaan "samaran" untuk menyelesaikan misi penguji supaya aku naik pangkat.
Luna sudah tahu kalau aku adalah intel. Agen lapangan dari lembaga penegak hukum swasta dengan markas berkedok kantor percetakan dan dengan posisi apartemenku yang berada tepat di seberang kedai tempat dia bekerja, seharusnya aku tahu kalau musuh-musuhku akan jauh lebih mudah menjadikannya sasaran empuk untuk melemahkanku. Apa pun itu. Setidaknya kami tidak akan diikuti oleh Voronin di sini.
Aku menengok ke arah Lucy. Sepertinya dia sudah tertidur lelap. Dia pasti kelelahan dan kebingungan. Dia bahkan tidak tahu apa yang sudah terjadi dengan kakaknya. Dia hanya tahu kalau kakaknya dikejar oleh segerombolan pria bersenjata. Tidak berbeda jauh denganku dan Luna. Kadang aku tidak bisa berbohong kalau aku mengagumi Edmund dan apa pun yang telah dia lakukan di perjalanan kami sebelumnya, tapi kadang aku juga meragukannya. Atau mungkin aku hanya cemburu karena adikku memikirkan laki-laki lain selain aku dan ayah. Entahlah.
Tak lama, sebuah suara ringkikan dan derapan kaki kuda terdengar dari kejauhan. Aku langsung berlari ke arah Lucy yang terbangun karena suara itu. "Tetap tenang. Kita tidak tahu siapa itu," bisikku kepadanya lalu aku mematikan api unggun. Secepat mungkin, kami bersembunyi di balik semak-semak.
Penunggang kuda itu mendekat dan yang lain... yang satu lagi adalah centaurus. Pemandangan dari balik semak-semak dan gelapnya malam membuat kami kesulitan melihat siapa yang berbicara. Namun bayang-bayang kuda dengan setengah badan manusia dapat terlihat begitu jelas.
Mereka memeriksa area api unggun kami. Salah satu dari mereka menyentuh abu yang tersisa dari api unggun itu. "Sepertinya mereka lari saat mendengar kita datang," kata sang centaurus pria itu.
"Siapa yang tidak akan takut mendengar suara-suara yang kita buat di tengah malam seperti ini," kata pria yang lain sambil terkekeh.
Tunggu... suara itu... apakah itu...
Aku melompat dari balik semak-semak saking bahagianya. "Tuan Hamid!" Seruku.
Centaurus itu mengeluarkan pedangnya dan siap untuk menebas apa pun dan siapa pun sebelum ia berhasil melihatku di kegelapan malam.
Aku mengangkat tanganku dan berteriak, "Hey! Kenapa orang-orang di sini nafsu sekali menebas seseorang?" Aku mengenali Centaurus itu. Ia bertarung bersama kami sebelumnya. "Oh! Glenstorm! Kau tahu aku! Aku masih belum mau mati."
"John Page!" Seru Tuan Hamid, menghampiri dan menjabat tanganku.
Centaurus itu memberikan tatapan keheranan. Tuan Hamid tertawa melihat reaksi itu. "Dia bilang kepadaku kalau namanya John Page."
"Tentu saja, tuan Hamid. Aku pikir tuan John Page dan Ratu Lucy ingin bertemu dengan kakak dan adik mereka sesegera mungkin."
Mendengar nama itu, mata Lucy menyipit. Ia terkekeh mendengar nama yang begitu asing kupakai sebagai nama samaranku. "John Page? Memangnya kau orang Amerika?"
Aku bisa merasakan wajahku bersemu merah. "Oh ayolah! Hentikan."
"Aku ingat kau, tuan Glenstorm. Aku sangat beruntung bisa bertemu lagi denganmu." Meski ia tahu siapa dirinya di dunia ini, Lucy masih dengan rendah hati menyambut keberadaan orang lain dan berterima kasih apda mereka. "Dan terima kasih tuan Hamid, karena telah memberikan kami peringatan di kapal. Apa ini perjalanan pertamamu ke Narnia?" tanya Lucy.
Tuan Hamid berbalik penuh menghadap kepadanya dan menjawab sebelum membungkuk hormat. "Bisa dibilang begitu. Perkenalkan, namaku Halvor Hamid, Yang Mulia."
Ia tampak begitu mahir terlihat dari caranya membungkuk. Terlalu mahir untuk ukuran supir taksi dari Amerika. Apa mungkin ia pernah bekerja untuk pejabat atau semacamnya? Bisa-bisanya ia terlihat begitu tenang setelah terdampar di antah berantah. "Santai sekali orang ini. Pertama kali aku ke sini, aku tidak habis pikir melihat luwak bisa bicara," bisikku mengomel pada diri sendiri.
Sadar-sadar, mereka melirikku. Sepertinya mereka mendengar ucapanku. Aku melihat ke arah mereka dan memberanikan diri untuk menanyakan sebuah pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang dikepalaku selama dua tahun terakhir.
"Pertanyaan serius. Apa kecoak di sini bisa terbang sambil memegang panah dan berbicara?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost In Time: Martyrs (BOOK 2 - 2024 Revision On Progress)
FanfictionCOMPLETED (with old format). Buku ke-2 dari seri Lost In Time. Sejak perjalanan terakhir di Narnia, mereka tahu waktu akan menjadi musuh terbesar dalam hidup mereka. Perjalanan baru dimulai, mengungkapkan apa yang hilang dari sejarah dunia Narnia da...