-Luna-
New York, Amerika Serikat - 1951
"Pelayan! Aku pesan segelas kopi hitam," pinta salah satu pria tidak jauh dari tempatku berdiri.
"Segera, tuan!"
Jam-jam pulang kantor seperti ini, banyak pekerja mampir bersama kolega mereka ke kedai ini. Tempat ini begitu penuh dan sibuk sehingga para pegawai kedai ini tidak bisa berhenti bergerak selama setengah jam terakhir.
Lonceng pintu kedai berbunyi untuk kesekian kalinya. Aku melihat ke arah pintu masuk dan menyambut pelanggan yang baru saja masuk. Seorang pria berjas dengan topi menutupi sebagian wajahnya. Ia mengambil tempatnya di salah satu kursi kosong di sudut ruangan. Karena sibuk, aku meminta kolegaku, Audrey, untuk melayaninya.
"Audrey... umm, tolong ya meja yang... itu," pintaku padanya. Dia terkekeh karena aku sibuk dan panik sendiri.
Aku kembali ke meja pelayan dan menyerahkan pesanan kepada kokinya. "Max, satu gelas kopi hitam dan... Umm... Oh, tiga gelas teh lemon, dan dua croissant orisinil." Alisku mengernyit. "Malam-malam begini ada yang makan croissant? Amerika memang aneh," bisikku kepada barista kedai, Maximilian Wilson.
Dia terkekeh. "Tenanglah, aku tahu kau baru pindah ke sini beberapa minggu yang lalu, tapi kau bekerja jauh lebih baik dari mantan-mantan pelayan kedai sebelumnya. Kau akan terbiasa."
"Hehehe, iya, ini pertama kalinya kita mendapat pelanggan sebanyak ini. Ini pertama kalinya aku mendapatkan pekerjaan apa pun."
"Kau sangat pandai beradaptasi, kau tahu? Kau orang Italia, tapi kau cukup fasih berbahasa Inggris. Aku masih bisa dengar sedikit logat aslimu... hanya sedikit... tapi aku yakin dengan lingkungan perkotaan seperti ini, tidak lama lagi kau akan terbiasa hidup seperti wanita Amerika," jawab Max semangat.
Audrey dan Max adalah teman pertamaku di kota ini. Audrey tinggal di apartemen sebelahku, sedangkan Max tinggal satu lantai di bawah apartemen Phil. Mereka saling mengenal cukup akrab karena Phil sudah tinggal di sini sejak dua tahun yang lalu. Namun bahkan Max hanya tahu kalau Phil kerja di perusahaan telepon dan tidak lebih sehingga kadang, menjaga jarak dalam hal tertentu sangat merepotkan. Tetap saja, aku beruntung bisa bertemu orang-orang ramah seperti mereka. Apalagi setelah melayani pelanggan dengan berbagai macam perilaku yang seringkali kurang menyenangkan dan fakta bahwa aku adalah imigran. Legal... ya... tapi imigran.
Entahlah mengapa aku mudah kewalahan, mungkin aku terbiasa dengan kehidupan sunyi di tengah hutan. Maksudku, tentu aku bertemu orang di desa setiap kali aku keluar rumah, tapi ini berbeda. Sekarang aku dikelilingi orang-orang yang bermacam-macam keanehannya.
"Luna, tolong antarkan hidangan ini kepada wanita itu," pinta salah satu koki lain sambil menunjuk ke arah wanita yang duduk seorang diri. Aku mengangguk. Wanita itu terlihat masih muda. Wajahnya cukup familiar karena aku sering melihatnya akhir-akhir ini.
Aku membawa pesanan ke mejanya. Tak sengaja kulihat ia sedang memainkan cincin dijarinya saat aku berhenti di depan meja kecil tempat ia duduk. Sembari mulai memindahkan makanan dari nampan ke meja, aku menyapanya, "Selamat malam, nyonya, ini pesanan anda." Sembari menata, pandanganku selalu beralih kepada cincin itu. Cincin itu sederhana namun cantik. "Cincin yang indah," ucapku memuji.
Dia terkekeh dan berkata, "Terima kasih, ini cincin tunanganku. Baru tadi pagi kekasihku memberikannya padaku." Sambil tersenyum ia bertanya, "Oh, ya, aku baru melihatmu di sekitar sini, apa kau baru pindah? Kau tidak terdengar seperti orang Amerika."
Aku mengangguk mengiyakan. "Aku baru pindah ke sini beberapa minggu yang lalu dari Italia. Apa kau sering mampir ke sini?" tanyaku penasaran.
"Ya, begitulah, walau kadang aku terlalu sibuk, kadang aku menyempatkan diri beberapa kali di tiap minggunya." Ia menyeruput sedikit minuman panasnya. Aku sempat mengangguk untuk pergi sebelum dia memegang tanganku. "Harus aku akui, kau memiliki rambut yang indah, terlihat sangat terawat. Aku suka warna cokelat kemerahan rambutmu," pujinya.
Aku menjawab dengan tawa canggung. "Terima kasih, rambutmu juga terlihat indah. Memiliki warna rambut gelap itu agak membosankan," jawabku malu.
Mendengarku menjawab seperti itu, ia terkekeh. Ia menyimpan gelasnya dan bertanya, "Siapa namamu? Kau terlihat lebih muda dari pegawai lain. Pasti berat memulai hidupmu sendiri di kota besar." Tentu saja dia akan bertanya seperti ini. Aku memang jauh lebih muda dari pekerja lain.
"Tidak juga... dan... namaku Luna." Mengingat bagaimana kisa cintaku menggantung tak pasti, aku berkata, "Kurasa itu hal yang menyenangkan, kau tahu, menemukan cintamu lebih cepat dari kebanyakan orang."
Ia tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Rona pipinya terlihat jelas dikulit pucatnya itu. "Betul... aku beruntung," jawabnya.
Sempat aku membatu mengagumi keanggunan dan keramahannya. "Kau tahu, beberapa orang agak sulit ku hadapi, tapi aku menghargai siapapun yang berbicara denganku." Tanpa pikir panjang, aku berkata, "Mungkin akan lebih mudah jika aku memiliki lebih banyak teman. Boleh aku tahu siapa namamu?"
"Aku?" Ia menyodorkan tangannya padaku. "Aku Lucille Belgrave."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost In Time: Martyrs (BOOK 2 - 2024 Revision On Progress)
FanfictionCOMPLETED (with old format). Buku ke-2 dari seri Lost In Time. Sejak perjalanan terakhir di Narnia, mereka tahu waktu akan menjadi musuh terbesar dalam hidup mereka. Perjalanan baru dimulai, mengungkapkan apa yang hilang dari sejarah dunia Narnia da...