-Phylarchus-
Tuan Hamid mengintip ke arah pintu bangunan dermaga lalu berbisik, "Akan lebih mudah kalau kapal tidak berlabuh. Kita harus membuat mereka mundur sebelum mereka dapat menyentuh dermaga. Kita harus peringatkan nahkodanya!"
Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat Luna mengintip dari balik tembok. Aku menengok ke arahnya mengintip, mendapati segerombolan orang menyelip di antara kerumunan penumpang. Aku mencoba mengira-ngira berapa banyak dari mereka yang merupakan bagian dari orang-orang Voronin, namun jumlah mereka hampir sama banyaknya dengan kerumunan rakyat sipil.
Edmund mengguncang-guncang lenganku. Ia memperingatkanku betapa dekatanya kapal itu ke dermaga. Aku melihat kapal itu mulai melambat. Jembatan penghubung kapal sudah mulai disiapkan dan penumpangnya mulai keluar dari ruang-ruang feri dan berdiri geladak kapal.
Saat melihat jembatan itu terpasang, tuan Hamid tidak tinggal diam. Dia berlari ke arah salah satu anak buah kapal. Ia mengibas-ngibaskan tangannya. Suaranya berteriak lantang, mencoba memperingatkan bahwa ada segerombolan pria bersenjata di depan sana seakan-akan perang akan kembali terjadi. Kami menengok ke arah bangunan dermaga. Ke tempat loket-loket tiket berada. Di sana, beberapa pegawai pelabuhan dan calon penumpang sudah dalam posisi berjongkok, menepi ke tembok atau bersembunyi si balik barang-barang di sekitar mereka. Beberapa dari mereka adalah anak-anak yang menangis, orang tua mereka mencoba untuk menenangkan mereka terlepas seberapa paniknya mereka sendiri melihat segerombolan orang bersenjata mengepung mereka.
"Ini lebih buruk dari dugaanku," keluhku.
Anak buah kapal itu memahami tuan Hamid. Dengan segera, ia mencoba untuk menghentikan pergerakan penumpang yang akan turun. Anak buah kapal lain menyadari hal itu dan membantunya menahan penumpang untuk turun. Kapal mulai ricuh dan tuan Hamid berteriak meminta nahkoda untuk mundur dan pergi dari pelabuhan itu sebelum orang-orang Voronin kembali.
Tak sadar dengan ancaman yang ada, gerombolan kecil orang Voronin berlari ke arah tuan Hamid. Aku tak bisa tinggal diam melihat orang-orang itu menarik jatuh tuan Hamid. Aku berlari ke arah mereka dan menerjang salah satunya dari belakang. Saat aku bangkit dan mendongak, senjata mereka telah mengarah ke wajahku.
"Kau tembak dia, ku tembak kau semua!" Aku dapat mendengar suara Luna dari arah belakangku. Sempat kupikir untuk menengok, namun bergerak secara tiba-tiba bukanlah pilihan terbaik. Mungkin itu adalah pilihan impulsif yang cukup konyol, namun mengingat seberapa gentingnya situasi ini. Dengan seberapa dongkolnya dia dengan Voronin, aku mengerti mengapa Luna begitu marah.
Tak berani memutarkan kepala, mataku tertuju pada satu-satunya pemandangan lain yang ada di jarak pandangku. Mataku bertemu dengan mata Lucy. Matanya terbelalak keheranan. Ia berdiri terpaku, menarik mundur seorang bocah yang berdiri terlalu dekat dengan jembatan penghubung kapal. Saat Lucy menengok ke arah lain, aku tahu ia menemukan Edmund. Lucy memaksa turun dan bocah itu mengikuti. Alih-alih mendorong maju, bocah itu mencoba menggapai Lucy untuk menariknya mundur, namun langkah Lucy membawa bocah itu ke arah yang sama dengannya. Mereka berdua berjalan melawan arus kerumunan orang yang berdesakkan di jembatan penghubung.
Edmund berlari mendekati kapal dan Luna menyadarinya. "Ed!" teriak Luna tanpa bergerak dari tempatnya berdiri. Aku masih bisa merasakannya berada tak jauh di belakangku.
Edmund mengambil pistol yang tergeletak. Pistolku yang baru kusadari terjatuh dari sabukku. Ia mengarahkan pistol itu ke arah gerombolan Voronin yang paling dekat dengan tempat Luna berdiri. "Jangan coba-coba." Ancamnya pada orang Voronin. Edmund berteriak tanpa berpaling, "Lucy! Eustace! Jangan turun!"
Namun...
DARR!
Si boss besar, Voronin, melepaskan tembakan ke langit. Suara tembakan pistol yang mengarah ke atas terdengar menggema. Semua orang panik. Namun kepanikan kali ini diselimuti keheningan. Bahkan anak-anak kecil yang tadi menangis pun terdiam, dan orang-orang Voronin melihat ke arah yang sama. Aku berbalik, berlari, dan memegang adikku erat. Wajahnya memerah marah, tapi aku tahu ia tidak berani mengeluarkan suara sedikit pun.
Ku lihat di hadapanku, tuan Hamid meronta-ronta, mencoba melepaskan pegangan orang-orang Voronin yang menahannya ke aspal. Tuan Hamid berteriak, meminta anak buah kapal itu untuk menarik Lucy kembali masuk ke kapal, namun sesaknya jembatan itu membuat Lucy tersenggol dan terpeleset. Dia berpegangan ke tangga kapal. Menggelantung dan siap untuk terjatuh ke dalam air di bawahnya. Edmund yang masih terpaku pada posisi siap tembaknya itu berteriak memanggil nama "Eustace." Dan saat itu terjadi, bocah lelaki yang ada bersama Lucy berjongkok, mencoba membantu. Namun ia terlampau panik untuk bisa menahan apapun. Bocah itu tidak bisa melakukan apa-apa.
Voronin terkekeh melihat pemandangan itu. Mungkin baginya, itu pemandangan yang memuaskan. Meski dengan tangan dililit perban dan darah menembus dari perbannya itu, Voronin tidak menunjukkan sedikitpun kelemahan. Dia melihat ke arah Edmund dan berjalan cepat ke arahnya, tapi Luna berlari mencoba menghadang. Sekarang dia berdiri di antara Voronin dan Edmund dengan pistol mengarah ke wajah pria tua itu.
Luna menggeram amat marah, tak pernah kulihat ia begitu kesal sebelumnya. Dengan suara begitu rendah dan dingin, ia berkata, "Kalau aku mati, kau akan mati bersamaku, Voronin."
"Berikan jalanmu ke Narnia, dan kau tidak harus mati denganku, nak," desis Voronin.
Edmund mencoba menarik tangan Luna untuk membawanya mundur, namun Voronin menggenggam tangan Luna yang lain. "Biarkan aku berbicara dengan gadis ini... Raja Edmund yang adil," geram Voronin mempertegas.
Tentu saja. Tentu saja Voronin tahu siapa Edmund. Seharusnya tidak perlu heran, tapi wajah Edmund tidak dapat berbohong.
"Oh, Raja Edmund yang adil. Kami tahu Narnia jauh lebih baik daripada kau mengenal dunia itu," jawab Voronin dengan nada mengejek. "Kami menginginkan kembali apa yang sudah dia rebut dari kami."
"Dia? Dia siapa?" tanya Luna meminta kejelasan.
Voronin terkekeh dan menjawab, "Aslan"
Saat ia menyebut namanya, kami melihat Lucy terjun bebas ke air. Namun, alih-alih mendengar suara Lucy dan riak air di titik mungkin ia sedang berenang menepi, bocah Eustace itu berteriak mencarinya, "Kemana Lucy!?"
Mendengar itu, Luna dengan spontan mengguncangkan tangannya tanpa peringatan dan melepaskan genggaman Voronin dari tangannya. Ia berlari sekencang mungkin dan terjun bebas ke air.
Edmund tampak menyadari apa yang sedang terjadi. Ia melepaskan tembakan ke langit sebelum melempar pistol itu ke arahku. Ia berlari menerjang orang Voronin sebelum berteriak, "Lompat, Eustace!" Lalu ia terjun dan menghilang mengikuti Luna.
Tak lama, aku mengambil pistol tersebut dan menembakkannya ke arah orang yang menahan tuan Hamid untuk memberinya kesempatan membebaskan diri. Sekali-dua kali tembak, aku berlari ke arah bocah Eustace dan menariknya terjun. Aku merasa kepalaku membentur sisi tangga. Sesaat sebelum duniaku tertelan riak air, aku melihat tuan Hamid melompat di belakangku.
Untuk sesaat, pandanganku tidak jelas. Kami masuk ke dalam air laut yang dingin dan gelap, namun rasa airnya justru tidaklah asin. Aku mencoba berenang ke permukaan dan saat aku melihat sekelilingku, yang aku lihat di sekitarku hanyalah pepohonan. Aku menemukan diriku...
... berada di sebuah danau di tengah hutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost In Time: Martyrs (BOOK 2 - 2024 Revision On Progress)
FanfictionCOMPLETED (with old format). Buku ke-2 dari seri Lost In Time. Sejak perjalanan terakhir di Narnia, mereka tahu waktu akan menjadi musuh terbesar dalam hidup mereka. Perjalanan baru dimulai, mengungkapkan apa yang hilang dari sejarah dunia Narnia da...