-Phylarchus-
Kami mendengar suara besi berjatuhan dari luar pabrik. Edmund menatap ke arahku. Anak buah Voronin keluar untuk memeriksa keadaan. Awalnya mereka terdengar rusuh karena bingung tapi salah satu dari mereka masuk dan melapor kepada Voronin. "Pak, tumpukan besi yang menggantung di sebelah pabrik terjatuh."
"Hei lihat! Ada topi!" ucap salah satu pria diluar.
Voronin berjalan cepat keluar untuk memeriksanya sendiri meninggalkan kami dengan pria berkumis yang melapor. Edmund sempat bilang salah satu dari mereka terlihat seperti versi sangar dari Charlie Chaplin, dan di sinilah kami dengannya.
Dia menatap kami dengan tajam. "Jangan coba-coba kabur. Aku tidak akan mudah ditakuti," ancamnya.
Tapi dengan kumis itu, aku tidak yakin aku bisa membawa ancaman itu dengan serius. Terlebih Edmund melihat ke arahku seakan-akan berkata, "Charlie Chaplin berotot. Sudah kubilang."
Aku berusaha menahan tawaku dan Charlie Chaplin berotot itu melototi kami. Dia mengancam-ancam kami. Ia mengoceh cukup lama hingga beberapa menit kemudian, sebuah tutup saluran pembuangan bergoyang-goyang di depan kami. Tutup itu bergeser dan seorang wanita memanjat keluar dari lubang pembuangan itu.
Apa-apaan... pikirku. "Luna?"
Ia menepuk-nepuk membersihkan bajunya dan tersenyum kepadaku. Saat pandangannya beralih pada Edmund, ia membatu melihatnya.
Mata si Charlie Chaplin berotot itu terbelalak melihat Luna. Berusaha memproses sesuatu seakan-akan dia masih belum yakin kalau ada perempuan berusaha keluar dari lubang pembuangan di hadapannya.
Luna menyadarinya dan berkata, "Oh, hai pak kumis! Aku tidak tahu kau ada di sini!" Luna yang terkekeh canggung sambil keluar dari lubang. Pria itu menodongkan sebuah belati ke arah Luna, tapi pria itu terlihat... takut? Dia bergetar seperti baru melihat hantu.
"Lawak sekali kau ini, Chaplin," celaku.
Jadi memang dia tidak se-sangar rupanya.
Luna dengan santainya meraih belati itu. "Ckckck. Tuan, benda ini berbahaya, biar aku ambil. Aku akan butuh ini. Terima kasih." Edmund mengalihkan pandangannya padaku dan mengangkat sebelah alisnya.
Luna berjalan cepat ke arah kami dan berusaha memotong tali yang mengikat kami. Sempat ia terhenti saat melihat si pria berkumis berlari keluar, namun ia melanjutkan aksinya.
"Harusnya aku buat dia pingsan dulu," bisik Luna pada dirinya sendiri. "Tapi pria sebesar itu mungkin lebih cocok kalau ditembak pakai senapan bius untuk badak."
"Dan dimana kau akan menemukan senapan bius untuk badak?" tanyaku keheranan.
"Kebun binatang," jawabnya tanpa berpaling dari tali-tali yang coba ia potong. "Atau Pasar gelap."
Aku dapat melihat mata Edmund berkedut mendengarnya. Mungkin jika aku berkaca, aku melakukan hal yang sama.
Setelah kedua ikatan kami berhasil terputus, aku langsung mengajak mereka pergi. "Mereka akan mengepung dari segala arah, kita kabur lewat saluran pembuangan tadi saja. Ayo masuk!" Aku sudah siap melompat masuk tapi tidak ada yang meresponku.
Aku berbalik dan mereka berdua sedang berpelukan. "Hei! Jangan sekarang!" kataku sambil menepuk jidat.
"Oh ayolah, tidak lagi. Di sana bau!" keluh Luna. "Dan mungkin mereka sudah bersiap menghadang di jalan keluar salurannya."
"Kita cari jalan ke lubang keluar lain! Ayo!"
Kami masuk lewat lubang itu dan Luna membimbing kami berjalan cepat ke arah yang berlawanan dari lorong yang dia lewati sebelumnya.
Lorong pembuangan yang sempit membuat kami kesulitan bergerak. Kami hanya bisa berjalan cepat dan sedikit menunduk melewati jalannya. "Mungkin kita bisa berakhir jauh dari area pabrik!" serunya.
"Kau yakin?" tanyaku tapi Luna terus berjalan cepat ke arah itu.
"Apa aku terlihat yakin?" jawabnya polos.
Tak berapa lama, kami mendengar suara-suara dari lorong di belakang kami. Edmund berbisik, "Itu mereka, ayo cepat!"
Kami tidak sempat lagi berbalik untuk melihat siapa yang ada di sana. Aku berharap suara itu terdengar dekat hanya karena menggema, bukan karena memang ada di dekat kami. Kami terus berjalan cukup jauh tapi suara-suara itu semakin mendekat.
Kami berakhir di jalan buntu dengan hanya lubang saluran kecil yang mungkin hanya cukup untuk tikus lewati. Edmund menepuk bahuku, menyuruhku melihat ke atas. Tidak terlalu tinggi di atas kami, kami menemukan sebuah tutup besi.
"Luna! Naik ke punggungku, dorong tutupnya!" Luna naik kepunggungku dan berhasil mendorong tutup besi itu. Dia naik keluar.
Aku melihat ke arah Edmund dan menyuruhnya naik. "Kau selanjutnya!" Edmund terlihat ragu. Aku menariknya dan menyuruhnya naik. Dia berhasil keluar.
Edmund menyodorkan tangannya. Aku langsung meraihnya dan berusaha naik. Setengah badanku sudah berada di permukaan lubang saat seseorang mencenkram kakiku. Edmund tidak bisa menolongku karena dia sedang menahan berat tubuhku dan tubuhnya. Menghalangi Luna yang bisa tiba-tiba loncat menghanjar orang yang menahanku kapan saja. Aku menendang-nendang tangan dan wajah orang yang mencengkramku. Dari suaranya, aku bisa tahu kalau itu adalah si Voronin.
Perlahan-lahan, Edmund berhasil menarikku walaupun tangan si Voronin masih memegangi kakiku. Luna berusaha melepaskan tangan si Voronin dari kakiku tapi Voronin beralih menarik Luna. Tak sempat bertindak apa pun, Luna mengeluarkan belati yang ia dapatkan dari si pria Chaplin, lalu menusuk tangan Voronin sampai melepaskan cengkramannya. Kami bisa melihat tangannya masuk kembali dan mendengar teriakannya menggema dari dalam lubang.
"Ternyata aku memang ke sini untuk cari mati," celetuk Luna.
Aku memeluk Luna dan melihat ke sekitar kami. "Anak buah Voronin belum sampai ke sini. Ayo kita pergi."
Kami langsung berlari. Aku takut mereka bisa mengejar kami, mereka punya mobil, jadi kami berjalan melalui gang kecil di antara bangunan beberapa ratus meter dari area pabrik dan beristirahat sebentar.
Edmund terduduk di sudut gang sambil mendekap Luna di sampingnya. "Lima tahun... lima tahun aku menunggu dan mencarimu, dan kita bertemu di saat aku sedang disekap. Bagus."
Luna tersenyum. "Bukankah itu hebat? Hidupku penuh dengan sekap menyekap. Aku ingat aku pernah hampir mati tenggelam karena itu. Itu bisa jadi ide film."
Mata Edmund melebar lalu menyimpit, bibirnya mengkerut terheran-heran dengan reaksi Luna yang begitu santai, namun ia hanya mengangguk-ngangguk. "Kau sudah mengembangkan kemampuan sarkasme-mu. Mengesankan."
Mataku melotot mendengarnya. "Hei, hei, hei. Aku tidak tahu bagian ceritamu yang itu. Kau hampir mati tenggelam!?" tanyaku panik.
Luna mengangkat bahunya. "Aku masih hidup." Hanya itu jawabnya.
Aku hanya bisa termenung memikirkan bagaimana aku gagal menjadi kakak yang baik.
Edmund menghentikan peperangan dalam diam itu. "Kalian tidak akan bisa kembali ke tempat mana pun kalian berasal. Mereka akan menemukan kalian. Aku juga tidak tahu apa aku akan bisa bertemu keluargaku lagi. Sudah agak lama aku tinggal tanpa mereka, tapi kalau Voronin bisa menemukanku, bukan tidak mungkin dia bisa menemukan mereka. Voronin tahu di mana Lucy akan berlabuh besok malam. Voronin akan ada di sana."
Aku mengusulkan, "Kita harus ke sana sebelum mereka tiba."
"Lalu setelah itu apa? Kejar-kejaran dengan Voronin di pelabuhan? Lari ke mana? Ke arah laut dan menceburkan diri?" Luna mejawab dengan sarkasmenya. "Apa rencana kita?"
"Apa pun itu. Mereka tidak boleh mendapatkan Lucy," jawab Edmund dengan nada cemas.
Aku memperhatikannya. Aku mengerti bagaimana rasanya saat tahu kalau adik kami dalam bahaya. Aku akan membantunya. Bagaimanapun juga, dia sudah pernah menyelamatkan adikku dari para prajurit Telmar. Walau kadang mendengar nama bocah yang satu ini cukup menggangguku, aku berhutang nyawa padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost In Time: Martyrs (BOOK 2 - 2024 Revision On Progress)
FanfictionCOMPLETED (with old format). Buku ke-2 dari seri Lost In Time. Sejak perjalanan terakhir di Narnia, mereka tahu waktu akan menjadi musuh terbesar dalam hidup mereka. Perjalanan baru dimulai, mengungkapkan apa yang hilang dari sejarah dunia Narnia da...