Chapter 13: Things Have Changed

503 83 4
                                    

-Edmund-

Sinar matahari menyorot melalui dua bangunan ke arahku. Kami tertidur semalaman, Luna berbaring tertidur di atas sebuah koran bekas yang aku temukan semalam. Phil yang sedang duduk di dekat kaki Luna, mencoba memeriksa apa yang Luna bawa di tasnya. "Tidak benar-benar terpikir olehku kalau dia harus menggunakan senjata apapun. Apalagi setelah perang usai." Phil membuka pembicaraan. "Kurasa dunia ini tidak akan pernah kekurangan orang jahat."

Aku bangun dan duduk menyandar ke tembok. "Aku paham darimana kekhawatiranmu berasal," jawabku.

Phil mengangguk menyetujuinya, namun ia juga menjelaskan, "Kadang aku memang terlalu posesif terhadap perempuan ... terutama adikku sendiri. Tapi ada banyak hal tentang mereka yang seringkali orang abaikan." Dia menunduk lalu menatapku dan tersenyum. "Wanita hebat tidak selalu memakai celemek, memegang spatula, dan memasak. Beberapa memakai baju zirah, memegang pedang, dan pergi ke medan pertempuran. Mereka sanggup melakukan keduanya, tapi mereka juga individu yang dapat memilih. Ada saatnya mereka membutuhkan kita, ada saatnya kita membutuhkan mereka," ungkapnya.

Aku mengangguk setuju. Aku paham betul itu. Seberapa kuatnya aku berusaha untuk menghindari kakak dan adikku dari marabahaya, seringkali mereka sanggup menghindari hal itu sendiri.

Sambil menunjukkan barang yang ia rogoh dari tas Luna satu persatu, Phil berkata, "Hmm ... jujur sepertinya aku benar-benar harus menghentikan kebiasaanku menggeledah tas Luna, namun kurasa kali ini ada pengecualian. Tidak banyak yang ia bawa, tapi ada peta, senter, dan tali yang bisa kita gunakan." Saat ia mendapati sebuah topi, ia berseru, "Oh dia bawa topi ini! Dia suka topi ini, dulu ini milikku. Sebelumnya ini milik ayah kami."

Ia lanjut merogoh dan menghela nafas sembari mengeluarkan sebuah barang. "... dan seperti biasa, dia membawa surat darimu, Ed."

Aku melihat ke arah sebuah bingkai di tangan Phil. "Surat yang aku aku titipkan pada ayahmu?"

Phil mengangguk. "Selalu. Ke mana pun dia pergi sejak kami kembali ke Italia." Lalu Phil kembali merogoh tas itu dan menemukan surat lain yang tidak berbingkai dan membacanya. "Surat dari ayahku. Hanya kabar biasa." Ia berhenti sejenak sebelum memasukkan semua barang yang ia keluarkan kembali ke tas itu. "Ayahku selalu mencoba memberikan citra yang baik tentangmu ... dan mungkin ia benar. Luna punya hak atas kehidupannya sendiri ... dan jika ia ingin kau ada di dalamnya, aku tidak bisa mengelak."

Sempat aku tertegun mendengarnya. Selama beberapa hari terakhir sejak kami bertemu, ucapannya begitu masam setiap kali membahas tentang hubungan yang tak pasti yang kami miliki. Namun aku harus menghargai keberaniannya membicarakan hal ini. Dan saat aku mendengarnya menyerah seperti itu, rasanya cukup aneh. "Aku tidak menyalahkanmu jika kau kesal denganku karena itu. Mungkin kita bisa meluruskan hal ini saat semuanya lebih baik. Sekarang aku di sini bersama kalian dan aku ingin meminta bantuanmu. Adikku dalam bahaya, aku harap kau mau membantuku."

Phil mengiyakan. "Mungkin kita harus ke pelabuhan. Seberapa pun gilanya ide itu, kita harus mencoba menemukan adikmu sebelum Voronin mendapatkannya. Meski dengan kemungkinan si Voronin menemukan kita dan menyekap kita atau menggantung kita mati." Ia menghela nafas sembari memijat-mijat peilipisnya. "Itu terdengar sangat gila, tapi ini saatnya untuk memikirkan kemungkinan terburuk ... entahlah ... untuk motivasi."

"Aku cukup yakin mereka akan menargetkan Lucy. Jadi, dia harus jadi prioritas. Kita temukan dia lalu pergi sejauh mungkin," usulku. Dia menyetujuinya.

Luna terbangun dari tidurnya melihat ke arah Phil yang sedang memegang tasnya. Aku kira dia akan marah setelah Phil menggeledah tasnya, tapi dia terlihat tak peduli. Mungkin dia sudah biasa. Dia terlihat lelah ... sangat lelah. Rambutnya juga berantakan. Phil mengelus rambutnya dan berkata, "Kita harus ke pelabuhan dan menjemput Lucy sebelum Voronin menemukannya."

"Lalu bagaimana kita akan ke sana?" tanya Luna. "Berjalan di antara orang-orang dengan baju selusuh ini bukan hal yang bagus dan anak buah Voronin mungkin ada di sekitar sini. Mereka bisa mengenali kita kalau kita masih berpenampilan seperti ini."

Phil melihat ke seberang jalan. "Diseberang ada toko pakaian."

"Tidak ada uang," keluh Luna.

Phil menatap ke arah Luna dengan senyum tipis di mulutnya. Mereka seakan bertelepati sampai Phil menariknya ke arah toko pakaian itu. "Tunggu di sini, Ed."

Saat mereka kembali, mereka sudah memakai pakaian baru. Setelan jas dan kacamata kacamata hitam. Phil memberiku pakaian sendiri. Ia menyodorkanku lipatan baju dan berkata, "Kau terpaksa ganti pakaian di sini. Kita tidak bisa terlalu lama di sana. Mereka akan sadar."

Aku memberi tatapan heran dan berbisik panik. "Kalian mencuri!?"

Luna terkekeh. "Phil bilang ini 'Meminjam' lebih tepatnya."

"Lalu kapan kita akan mengembalikannya??" tanyaku panik.

"Bukan kita..." akunya. "Tuhan yang akan mengembalikannya," jawab Phil santai.

Aku ingin mencoba untuk serius, tapi nada seriusku tidak lagi konsisten, tergagap karena aku berusaha untuk menahan tawa, juga panik. "Apa kau gila???"

Luna mengangguk santai dan bersikap dingin walau aku tahu dia juga ingin tertawa. "Iya, dia memang orang gila. Gilanya menular."

Phil membenarkan posisi topi fedora di kepalanya. "Kadang orang-orang jenius kehilangan sedikit akal sehatnya. Aku sering melakukan ini." Luna menggeleng namun Phil hanya mengangkat bahu dengan santai. Phil mengibas-ngibas tangannya ke hadapanku. "Cepat pakai di balik sana." Menyuruhku ganti baju dan menunjuk ke arah belokan jalan buntu.

Aku cepat-cepat melakukannya dan bertanya dari balik tembok pada Phil. "Apa kau pernah dengar soal karma, Phil?"

Phil hanya menjawab, "Berisik, Ed. Cepatlah."

Setelah aku selesai, aku keluar dari balik belokan gang dengan jalan buntu tempat kami tidur sebelumnya. "Oh, mengagumkan." Komentar Luna merayuku sambil menyilangkan tangannya.

Phil memberinya tatapan 'Yang Benar Saja'. "Aku masih lebih keren dari dia." Lalu mereka mulai berdebat becanda tapi aku tidak mendengarkan apa yang mereka coba katakan.

Aku menatap Luna dalam diam. Menyadari seberapa banyak yang aku lewatkan. Tak terasa Lucille terlintas di pikiranku, dan hatiku tahu siapa yang ingin ku pilih. Bukan Lucille, pikirku. Tak sengaja aku terkekeh puas dengan ambisiku sendiri. Melihat Luna ada dihadapanku setelah tahun-tahun yang aku lewati, aku rasa aku telah memenangkan pertempuran kecilku. "Kau mengaggumkan, Luna," pujiku.

Phil menatap ke arahku seakan menahan dirinya untuk menghajarku, diamendengar apa yang aku ucapkan. Luna mengeluh. "Oh, sudahlah kalian berdua. Ayopergi."

Lost In Time: Martyrs (BOOK 2 - 2024 Revision On Progress)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang