Chapter 7: The Other Pevensie Boy

582 96 3
                                    

-Edmund-

Cambridge, Britania Raya - 1949

Siapa yang menaruh buku ini di sini?

Aku melihat ke sekelilingku. Mencoba menemukan siapa pun yang meninggalkan buku ini. Mungkin Eustace meminjamnya dari perpustakaan dan menaruhnya sembarangan.

Dasar bocah... keluhku dalam hati.

Aku mengambil buku itu dan membawanya masuk. Berniat untuk mengembalikkannya Senin nanti. Aku pergi ke kamarku dan Eustace, lalu menyimpan buku itu di meja kecil di antara kasur kami. Aku duduk di atas kasurku dan bersandar ke tembok, menatap ke arah langit-langit kamar. Terduduk sembari memejamkan mata dan membukanya berulang kali. Berharap saat aku membuka mata, semuanya berubah jadi kamarku di istana Telmar. Atau tempat manapun selain di sini.

Tentu saja itu tidak akan terjadi.

Aku mengambil buku aneh itu dan membuka lembarannya. Buku ini memang belum selesai ditulis. Lembaran kosongnya benar-benar tidak ada yang mengisi lagi sejak terakhir aku baca, tapi tetap ku buka lembaran-lembarannya, siapa tahu memang ada satu atau dua tulisan tertulis di antara lembaran kosong ini dan hasilnya nihil. Lalu ku simpan di meja tepat di samping tempat tidurku.

Aku mengambil sebuah liontin dari kantung celanaku. Liontin yang pernah ayah berikan kepadaku dulu. Saat itu umurku sembilan tahun. Tahun 1939, perang dunia yang kedua dimulai. Hari itu ayah terpaksa pergi untuk berperang dan aku tidak mau dia pergi. Ayah adalah orang yang paling dekat denganku, tidak peduli aku anak laki-laki kedua yang dia miliki, tidak peduli orang menyebutku 'Anak lelaki Pevensie yang lain' yang selalu hidup di balik bayangan kehidupan Peter, ayah selalu ada untukku dan tidak membeda-bedakan kami. Peter dan ibu berusaha untuk menahanku untuk mengejar truk yang membawanya tapi aku berhasil melepaskan diri dan terus mengejar ayah sampai aku terjatuh di jalan berbatu. Ayah berteriak untuk menghentikan truk itu.

Dia menghampiriku dan memelukku. Aku sangat takut dia pergi dan tidak akan kembali lagi tapi dia berjanji untuk kembali. Dia mengeluarkan sebuah liontin dari sakunya dan berkata, "Ayah tidak bisa lama-lama. Kakekmu memberikan ini kepadaku saat dia berhasil kembali dari perang dunia pertama. Dia menemukan ini dijatuhkan oleh seorang bocah laki-laki. Dan kau lihat tulisan yang terukir di liontin ini?" Pada liontin itu terukir sebuah kalimat, 'Born to Rise, Always'

Ayah bercerita, "Mungkin ini adalah semboyan dari keluarga bocah itu dan karena kalimat ini, kakekmu selalu berdoa untuk kedamaian yang abadi, tapi dia juga terus berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Jika dia mati, maka dia tidak akan bisa menolong siapa pun lagi. Berdoalah, jaga dirimu dan adikmu baik-baik, ayah pergi berperang supaya suatu hari nanti, kau bisa memberikan liontin ini kepada anakmu dan menceritakan padanya bahwa liontin ini sudah menjadi saksi bagaimana keluarga Pevensie mampu dan akan bertahan hidup dari perang dunia mana pun dan mampu melindungi orang-orang yang harus kita lindungi. Ayah akan kembali." Lalu dia pergi menaiki truk itu dan hilang dari pandanganku.

Aku sangat senang saat mendapatkan kabar bahwa perang telah usai dan dia selamat, tapi sekarang ayah ada di Amerika. Mungkin itu kenapa aku selalu mengeluh tentang bagaimana aku tidak ingin ada di tempat ini. Aku meletakkan liontin itu di atas buku yang ada di pangkuanku dan tiba-tiba aku mendengar sebuah suara. Suara guratan pena di atas kertas, seperti seseorang sedang menulis. Aku melihat ke ruangan. Tidak ada siapa pun selain aku di sini.

Bulu kudukku langsung berdiri. Aku tidak percaya dengan hantu, namun siapapun akan terkejut mendengar suara tanpa sumber. Aku mencoba mengabaikannya. Terkaget karena Lucy memanggilku dari luar ruangan, aku tak sengaja menjatuhkan bukunya ke lantai. Saat aku mengambil dan menaruh buku itu ke meja, suara guratan benar-benar lenyap. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Berusaha tidak mengingat kejadian aneh yang baru saja terjadi.

Aku berdiri dari dudukku. Berbalik merogoh-rogoh kasur dan mencari-cari dimana kotak liontinku berada.

"Edmund!" Ku dengar Lucy memanggilku lagi.

Takut menghabiskan waktu terlalu lama, aku menyimpan liontinku di saku celana karena tidak berhasil menemukan kotaknya. Aku berjalan ke kamar Lucy. "Ada apa, Lucy?" tanyaku.

"Bantu aku memilih pakaian untuk nanti malam," keluhnya polos.

"Aduh kau ini..." Aku berjalan masuk ke kamarnya dan duduk dikasurnya sambil memperhatikan dia mengacak-ngacak lemari pakaiannya. "Pakai saja apa pun yang ada."

"Kau tahu para Belgrave akan datang. Tuan Belgrave pernah bekerja dengan ayah, ingat? Ayah sangat menghormati tuan Belgrave, jadi setidaknya kita harus berpakaian yang rapi dan layak, Edmund." Lucy protes sambil terus mencoba mencari pakaian yang layak. Padahal semua pakaian yang ada lemarinya terlihat baik-baik saja.

Aku menyerah dan berdiri membantunya. Lagian untuk apa dia minta bantuanku? Aku tidak pernah menjadi anak paling modis di antara kami berempat.

Lost In Time: Martyrs (BOOK 2 - 2024 Revision On Progress)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang