RH| 01 PERTEMUAN TAK TERDUGA

120 37 11
                                    

Suasana sore di kawasan elit Jakarta begitu damai. Di rumah megah bergaya klasik dengan pagar tinggi dan taman luas, seorang gadis muda tengah bersiap-siap. Arella Putri Odelia, atau biasa dipanggil Arel, baru sehari menginap di rumah kakek-neneknya untuk liburan sekolah. Meski tinggal di Bogor, ia selalu suka mengunjungi tempat ini, terutama karena suasananya yang berbeda.

Mengenakan celana jeans biru muda dan kaos putih santai, Arel berdiri di depan cermin, memastikan rambutnya yang diikat kuda terlihat rapi. Ia menatap pantulan dirinya sejenak sebelum neneknya memanggil dari ruang tamu.

"Arel, kamu tolong belikan kue di toko dekat taman, ya. Nenek lupa pesan tadi," ujar neneknya lembut. "Iya, Nek. Arel pergi sekarang," jawabnya dengan senyum.

Dengan langkah ringan, Arel berjalan keluar rumah, menikmati angin sore yang lembut. Ia suka kawasan ini. Rumah-rumah besar, jalanan bersih, dan pohon rindang di sepanjang trotoar membuatnya merasa nyaman. Namun, ketenangan itu terusik oleh suara mesin motor yang menderu dari kejauhan.

"VROOOMMM!"

Sebuah motor sport hitam melaju dengan kecepatan tinggi, nyaris menyenggol Arel yang berjalan di trotoar. Gadis itu melompat mundur, napasnya tertahan.

"Eh! Gila apa?! Mau nabrak orang?! Mata lo di mana?!" teriak Arel, spontan. Wajahnya merah menahan marah.

Motor itu berhenti mendadak beberapa meter di depannya. Pengendaranya, seorang pria muda, melepas helmnya. Rambut hitam acak-acakan, wajah tampan dengan rahang tegas, dan sorot mata cokelat tajam terlihat dari bawah sinar matahari sore.

"Siapa yang nyuruh lo jalan di tengah jalan?" balas pria itu santai, sambil menyandarkan motor besarnya. Nada bicaranya terdengar seolah menyalahkan Arel.

Arel mendengus. "Ini trotoar, tahu! lu aja yang nggak becus bawa motor!" balasnya tajam.

Pria itu, yang tak lain adalah Reyhan Alexander, hanya terkekeh kecil. Bagi Reyhan, ini pemandangan baru. Biasanya, perempuan-perempuan yang ditemuinya akan terpana atau bahkan langsung meminta nomor teleponnya. Tapi gadis ini? Bukannya terkesan, malah memarahi dia tanpa basa-basi.

"Berani juga lo, ya," ujar Reyhan, satu alisnya terangkat. "Biasanya cewek-cewek langsung senyum kalau lihat gue."

"Kalau gue senyum, itu artinya gue mau laporin lu ke polisi!" balas Arel dengan nada tajam, matanya menyipit.

Reyhan sedikit terkejut. Biasanya ia tak peduli apa yang dipikirkan orang lain, tapi sikap Arel membuatnya penasaran. Sebelum ia sempat menjawab, salah satu temannya dari geng motor datang menghampiri, memberi kode agar Reyhan segera kembali ke kelompok mereka.

"Malaikat kecil, lain kali hati-hati di jalan, ya," ujar Reyhan sambil tersenyum tipis, lalu mengendarai motornya pergi, meninggalkan Arel yang masih kesal.

"Malaikat kecil? Gila kali orang itu!" desis Arel, menggelengkan kepala.

Namun, cerita tak berakhir di situ. Malamnya, di ruang tamu rumah kakeknya, bel berbunyi. Kakek Arel, seorang pria tua dengan senyum hangat, membuka pintu.

"Pak Alexander! Selamat datang! Ayo masuk," sapa kakek Arel.

Arel yang sedang membaca buku di sofa mendongak. Di depan pintu, berdiri Reyhan bersama ayahnya. Arel tertegun.

"Ini cucu saya, Arella. Arel, kenalkan, ini Pak Alexander dan anaknya, Reyhan. Mereka tetangga kita," ujar kakeknya dengan semangat.

Arel membeku. Reyhan menyeringai kecil, menatap gadis itu dengan penuh arti. "Kita bertemu lagi, malaikat kecil," katanya pelan, suaranya terdengar seperti ejekan.

***

Esok harinya, Arel sedang duduk di ayunan kecil di taman belakang rumah kakeknya. Tangannya sibuk mencoret-coret buku catatan, mencoba menulis sesuatu untuk mengisi waktu. Namun, ketenangannya terusik oleh suara langkah kaki.

"Arel, ya?" suara Reyhan tiba-tiba terdengar.

Arel mendongak, mendapati Reyhan berdiri tak jauh darinya. Ia mengenakan kaos hitam dan celana jeans robek, tampak santai namun tetap menawan.

"Ada apa?" tanya Arel dingin, tak menyembunyikan rasa jengkel.

Reyhan tersenyum, lalu duduk di rumput, tak jauh dari Arel. "Nggak ada. Gue cuma pengen ngobrol. Lo kan baru di sini, ya?"

"Baru, tapi nggak butuh temen ngobrol," balas Arel ketus.

Reyhan menghela napas pendek, mencoba sabar. Ini bukan pertama kalinya ia menghadapi seseorang yang susah didekati, tapi Arel terasa berbeda. Ia benar-benar ingin mengenal gadis ini lebih dekat.

"Arel, kan? Gue Reyhan. Kita tetangga. Kalau ada apa-apa, bilang aja, gue bisa bantu," ujarnya, mencoba terdengar ramah.

Arel mendengus pelan. "Lo? Bantu apa? Nabrak orang lagi di trotoar?"

Reyhan tertawa kecil, mengakui kekalahannya. "Gue salah soal itu. Sorry, ya. Tapi, gue nggak selalu kayak gitu, kok."

"Gue nggak percaya," jawab Arel, tapi nadanya sedikit melunak.

Reyhan menggeser duduknya lebih dekat, mencoba menarik perhatian Arel. "Lo nggak mau kenal gue, nggak apa-apa. Tapi gue mau kenal lo. Lo beda dari cewek-cewek lain."

Arel terdiam, merasa aneh mendengar ucapan itu. Biasanya, dia bukan tipe orang yang mudah terbuka, terutama kepada orang asing. Tapi ada sesuatu dalam nada suara Reyhan yang terasa tulus.

"Apa sih yang bikin lo pengen temenan sama gue?" tanya Arel akhirnya.

Reyhan menatapnya serius. "Karena gue nggak punya sahabat cewek. Cewek-cewek yang gue kenal cuma liat gue karena duit bokap gue atau muka gue. Gue butuh temen yang asli, yang bisa bilang gue salah kalau emang gue salah."

Arel menatap Reyhan, mencoba membaca wajahnya. Setelah beberapa saat, ia menghela napas. "Kita bisa coba jadi temen. Tapi kalau lo bikin gue marah lagi, selesai."

Reyhan tersenyum lebar. "Deal. Temen, ya?"

"Temen," jawab Arel pelan, masih merasa ragu.

Namun, tanpa ia sadari, persahabatan itu akan menjadi awal dari perubahan besar dalam hidup mereka berdua.

Bersambung...

***

Makasih yang udah baca semoga suka dan menghibur maaf kalo masih berantakan dan banya typo masih pemula hehe jangan lupa follow, vote, dan komentar.

Jangan lupa tinggal kan jejak guys😊ketemu lagi di part selanjutnya

Alenaf19

Publikasi:26 Juni 2021

REL & HAN  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang