Di sebuah kafe kecil dengan suasana yang ramai namun nyaman, Reyhan duduk di meja tengah bersama teman-temannya: Jovano, Dimas, Fariel, dan David. Tawa mereka memenuhi udara, menarik perhatian beberapa pengunjung lain. Jovano baru saja menyelesaikan cerita konyol tentang pengalamannya jatuh dari sepeda di depan anak-anak kecil, dan semuanya langsung tertawa terbahak-bahak.
"No, serius, lu nggak malu sama anak-anak kecil itu?" tanya Dimas sambil menahan tawa, matanya sudah berair.
Jovano mengangkat bahu dengan wajah sok santai. "Malu sih, tapi gue langsung berdiri dan bilang ke mereka, 'Lihat tuh, abang bisa jatuh keren gini! Coba kalian bisa nggak?'"
Reyhan tertawa paling keras, hampir menyemburkan kopi yang baru saja diminumnya. "No, lu emang nggak ada malunya. Gue heran gimana bisa lu bertahan hidup dengan pola pikir kayak gitu."
Fariel menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. "Lu tuh ya, kayak walking entertainment. Gue heran kenapa kita nggak bikin acara komedi bareng lu."
"Bener tuh," sahut David yang biasanya pendiam. "Lu bisa jadi bahan roasting setiap episode."
"Eh, eh, jangan keterlaluan," Jovano protes sambil menunjuk-nunjuk ke arah mereka. "Gue ini bahan berharga, tahu? Tanpa gue, hidup kalian pasti hambar."
"Iya, iya. Terus gue tambahin sambel biar ada rasa," Reyhan menimpali, membuat yang lain tertawa lagi.
Di tengah tawa itu, pintu kafe terbuka, dan seorang gadis masuk dengan langkah tenang. Reyhan, yang kebetulan sedang menoleh ke arah pintu, langsung terdiam sejenak. Gadis itu memakai dress kasual berwarna pastel dan membawa sebuah buku di tangannya. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai terlihat sangat lembut diterpa cahaya lampu kafe.
"Han, ngapain bengong? Jangan-jangan lu jatuh cinta pada pandangan pertama?" Jovano menyikut lengan Reyhan, menyadarkan sahabatnya dari lamunannya.
"Hah? Nggak, lu salah lihat," jawab Reyhan buru-buru, tapi matanya masih sesekali melirik ke arah gadis itu yang sekarang sedang memesan di kasir.
"Wih, ada target baru, nih," celetuk Dimas dengan senyum penuh arti. "Kayaknya cocok tuh buat lu."
"Udah, jangan mulai, Dim. Gue cuma liat doang, nggak lebih," balas Reyhan sambil menyesap kopinya lagi, berusaha mengalihkan perhatian.
Fariel ikut angkat bicara, kali ini dengan nada menggoda. "Tapi matanya nggak berhenti ngelirik, tuh. Han, bilang aja kalo lu penasaran."
"Penasaran apaan? Orang gue bahkan nggak kenal dia," Reyhan menjawab defensif. Tapi dalam hati, dia memang sedikit tertarik. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu, meski dia tidak tahu apa.
David, yang biasanya tidak banyak bicara, tiba-tiba menyarankan, "Kenalan aja kalau penasaran. Siapa tahu nyambung."
"Iya, iya. Ntar gue kenalin diri gue dengan bilang, 'Hai, gue Reyhan, calon suami lu,' gitu?" Reyhan membalas saran itu dengan sarkasme, membuat teman-temannya tertawa lagi.
Gadis itu akhirnya duduk di meja dekat jendela, membuka bukunya, dan mulai membaca. Reyhan mencoba fokus kembali ke obrolan dengan teman-temannya, tapi sulit baginya untuk benar-benar mengabaikan kehadiran gadis itu. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya, tapi dia tidak bisa menjelaskan apa.
Obrolan di meja mereka kembali memanas saat Jovano memulai cerita baru tentang pengalamannya ditolak oleh seorang barista karena mencoba merayu dengan joke yang basi.
"Terus gue bilang ke dia, 'Kalau kopi lu aja manis, apalagi senyum lu.' Eh, dia malah jawab, 'Kopi saya emang manis, Mas, tapi hati saya pahit.'" Jovano menirukan nada barista itu, membuat yang lain hampir terguling karena tawa.

KAMU SEDANG MEMBACA
REL & HAN (END)
Dla nastolatkówReyhan Alexander adalah cowok tampan dengan kepribadian yang bikin banyak cewek terpikat. Sebagai anak dari seorang pengusaha sukses, Reyhan sering terlihat menikmati hidup dengan caranya sendiri. Dia suka melakukan hal-hal spontan seperti keliling...