42. Rasa ini Masih Sama

83 13 5
                                    

Haiiii

Cuma mau ingetin jangan jadi silent readers lah:(

Setelah baca pencet bintang di ujung bawah ituuu gak susahhhhh kok, lebih susah dapet perhatian Nai:(

Oke selamat membaca dan semoga suka❤

___________________________________

Ruangan ukuran 8×10 dengan nuansa monochrome. Tidak begitu banyak barang, hanya beberapa meja, sofa dan beberapa senjata tajam.

Sekitar sepuluh orang tengah berkumpul di ruangan minim cahaya ini, salah satu dari mereka yang memakai topi hitam tengah menatap ponselnya lamat-lamat.

"Udah baca komennya?" tanya salah satu dari mereka, dia mengenakan kaos hitam polos.

"Hm." lelaki dengan topi hitam berdehem pelan.

"Malaikat katanya? Cih!" lelaki dengan topi hitam itu menyeringai, terlihat jijik menatap ponselnya. Lebih tepatnya dengan apa yang dia lihat melalui ponselnya.

"Udah tahu dia kuliah dimana?" pria bertopi itu mematikan ponselnya, kemudian menatap kawannya.

"Universitas Garuda." Lelaki dengan tato kecil di lengan kiri menjawab.

"Setelah tujuan utama kita selesai, dia target selanjutnya," ucap lelaki bertopi itu, lagi-lagi ia menyeringai.

***

"Perkembangan sama Aldi itu gimana?" tanya Sela yang tengah menikmati pancake, di cafe langganannya.

"Tiga hari yang lalu Aldi ketemu sama Kak Adam, nentuin tanggal lamaran," jawab Nai sambil mengaduk minumannya malas.

"Bagus dong, tapi kok kayak gak semangat?" selidik Sela setelah menatap wajah Nai, yang tidak menunjukkan tanda bahagia.

"Ibu Aldi." Nai diam tidak melanjutkan perkataannya.

"Gak dapet restu?" tebak Sela dijawab gelengan oleh Nai.

"Dia mau Aldi kerja dulu ditempat Ayahnya, di Jakarta. Sekitar dua tahun katanya, itu kelamaan gak sih?" Nai menopang dagu dengan kedua tangan.

"Wah!" Sela membuka mulutnya lebar, pantas Nai terlihat tidak semangat.

"Aku gak yakin bisa nunggu, ada dalam ikatan tapi dengan jarak dan dalam rentang waktu lama, itu konyol kan?" Nai masih diposisinya.

"Jadi gimana?" tanya Sela hati-hati.

"Terserah sama Aldi sebenernya, kalo dia pergi aku bilang aku gak jamin aku bakal terus nunggu. Terus, Aldi ngira aku gak sabaran dia bilang maaf dia gak bisa buru-buru," papar Nai dalam satu tarikan napas.

"Ah emang katanya sih gak semudah itu cari jodoh, tenang aja Nai masih banyak waktu dan banyak yang mau," ucap Sela diiringi tawa kecil.

Nai hanya tersenyum tipis, kemudian menyandarkan punggung pada kursinya.

"Aku gak mau buru-buru juga sih," gumam Nai pelan. Sela hanya mengangguk paham.

Tanpa mereka sadari, percakapan mereka terdengar oleh seseorang di sebelah mereka yang terlihat sibuk dengan ponsel.

***

"Masih di teror? Kayaknya dia mulai ke medsos deh, gue liat ada satu akun yang spam hate komen di postingan terakhir lo," itu Kiki, sedang duduk di pojok perpustakaan.

"Hm gue juga curiga itu orang yang sama, kata-kata yang ditulis nyaris sama," gumam Vir.

"Lo ngerasa ada salah sama orang? Kali aja ada yang diam-diam dendam?" tanya Kiki sedikit berbisik.

Vir menelan ludah, matanya yang tengah menyusuri kata demi kata pada buku bacaanya berhenti seketika.

Vir menggigit bibir bawahnya, seketika potongan-potongan kejadian di masa lalu terputar di memori otaknya. Vir tentu menyadari bahwa ia melakukan banyak kesalahan pada begitu banyak orang di masa lalu.

"Lo kenapa?" tanya Kiki yang menyadari perubahan wajah Vir.

"Jangan ngomong terus ini perpustakaan!" bisik Vir sambil menatap tajam.

"Oh iya gue denger dari Bobi, lo katanya mau nikah? Lo kok gak bilang sama gue, tapi sama Bobi cerita?" selidik Kiki balik menatap Vir tajam.

"Baru rencana." Vir kembali fokus pada bukunya.

"Tapi calonnya ada?"

"Ada, tapi gue belum pernah bilang apa pun. Bingung harus mulai dari mana." Vir menatap kosong kearah depan.

"Lo gak kenal dia?" Kiki sangat tertarik dengan topik ini.

"Kenal, tapi kayaknya dia gak bakal mau, tapi belum dicoba, tapi takut ditolak, tapi-"

"Lo kenapa banyak tapi?" Kiki memukul keras bahu Vir.

"Gue udah lama suka sama dia, lama banget malah. Dia bikin gue berubah, padahal gak ngelakuin apa pun." Vir berdehem pelan.

"Awalnya gue berubah jadi lebih baik semata-mata buat dapet perhatian dia, tapi akhirnya gue sadar itu salah," papar Vir.

"Dan dia bilang sesuatu yang sama dengan Papa, jangan berubah untuk orang lain." Vir menghembuskan napas pelan.

"Berubah apanya sih?" tanta Kiki heran.

"Lo gak akan kenal kalau liat gue yang dulu, gak akan sama sekali." Vir menyeringai.

Kiki hanya menatapnya kesal.

"Menurut lo, hubungin dia dulu atau keluarganya dulu?" Vir bersuara lagi setelah hening beberapa menit.

"Deketin keluarganya, lo butuh restu." saran Kiki tidak benar-benar serius, hanya asal menjawab.

Vir mengangguk, sedetik kemudian kedua ujung bibirnya terangkat.

"Oke saran gue terima, gue duluan!" Vir menepuk pundak Kiki pelan, kemudian berlari keluar perpustakaan.

***

Lima belas menit menunggu, akhirnya orang yang Vir tunggu tiba di Caffe Young. Vir dengan susah payah menelan ludahnya, seketika dia gugup hanya dengan melihat satu sosok mendekat ke arahnya.

"Maaf telat dikit."

_________________________________

Gimana part iniiii?

Tinggalkan jejak berupa vote atau komen yaaaa..

Sampai ketemu di part selanjutnya bye:*

Change With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang