o t a k s e t e n g a h

286 39 4
                                    


"Ga papa gue punya otak cuma setengah, seenggaknya gue masih bisa bedain mana topik yang bisa dijadiin bercandaan sama mana yang enggak." -Bintang, yang katanya punya otak cuma setengah.

•••

"Capek?" Tanya Ana melajukan mobilnya keluar perkarangan sekolah Nadine.

Nadine yang duduk disebelahnya mengangguk, "mami ada perlu apa tadi ke sekolah?"

"Beli rok kamu di koperasi sekalian lihatin kamu latihan." Ana mengambil sebuah totebag dari bangku belakang, lalu meletakkan totebag itu kepangkuan Nadine.

Nadine membuka totebag itu, menghela napas, lalu menutup totebag itu.

"Buat apa?"

"Hah?"

"Beli roknya," Nadine mengangkat totebag itu, lalu meletakkan totebag itu disamping kakinya, "kalau mami terus-terusan ngelakuin hal yang seharusnya dilakuin sama mommy, sampai kapan pun mommy ga bakalan berubah, yang ada dia malah lepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai orang tua."

"Apa-apa ke rumah sakit, apa-apa kerumah sakit. Kenapa ga sekalian aja dia tinggal disana, ga usah balik lagi ke rumah. Lagian kita juga ga butuh dia kok. Lihat, buktinya tanpa dia kita masih bisa hidup sampe sekarang." Ujarnya sambil menghadap Ana yang sedang menyetir disampingnya.

"Na,"

"Kalau dia emang ga perduli sama kita, kita juga bakalan ga akan perduli sama dia, ga perduli sama perasaan dia dan ga perduli sama keberadaan dia." Sambung Nadine cepat, tak memberi Ana kesempatan untuk membalas ucapannya.

"Na," Ana mengelus paha Nadine lembut, "gimana pun mommy kamu, dia tetap mommy kamu. Ibu kamu."

Nadine mendengus, "iya, dia mommy aku." Gadis itu tersenyum miring sambil menatap jalanan didepannya.

Hening, keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Hingga Ana memberhentikan mobilnya didepan sebuah butik.

"Ngapain ke sini?" Tanya Nadine memperhatikan butik itu.

"Papa bakal tunangan." Jawab Ana sambil keluar dari mobilnya.

Nadine mengerutkan keningnya, "bukannya tunangannya batal ya?" Ia berjalan menyusul maminya.

"Jadi, tapi sama Tenissa." Balas Ana santai.

"What?!" Ujar Nadine sontak sambil membulatkan matanya.

Serius?! Om-papanya yang kata Chilla daddy sugarable itu mau tunangan sama Tenissa, guru lesnya yang umurnya cuma beda sepuluh tahun sama dia.

Untuk pertama kalinya Nadine setuju dengan Chilla, om-papanya itu memang cocok dipanggil daddy sugar atau mungkin pedofil?

"Ayo buruan, udah ditungguin sama yang lain tuh." Ana masuk ke butik itu, meninggalkan Nadine yang masih tercengang didepan pintu masuk.

•••

"Gila, beneran jadi nih acara. Gue kira sampai kapan pun papa bakalan tetap jadi duda." Ujar Bintang yang dari tadi terus memperhatikan acara tunangan papanya itu dengan takjub.

Ga percaya dia tuh, kalau papanya yang terkenal cuek itu bakalan nikah. Apa lagi pasangannya perempuan yang umurnya ga beda jauh sama abang sepupunya, Devin.

Bicara tentang Devin, dari tadi dia belum ada ngeliat batang idung abangnya itu. Masa iya papanya tunangan, abangnya itu ga pulang.

"Bang Devin pulang?" Tanyanya pada Dean yang berdiri disampingnya.

"Be-"

"Ga tau." Sahut Juna memotong ucapan Dean.

Bintang menatap Juna yang lagi fokus ke handphonenya itu malas, ini manusia kagak punya hobi lain apa selain mancing emosi orang mulu.

"Si duo penganguran balek juga ga?" Kean bergabung dengan adik-adiknya sambil memegang sebuah gelas berisi wine.

"Ga tau." Jawab Juna cepat.

"Sapri sama kurcil-kurcilnya mana?" Nathan berdiri disamping Juna.

"Ga tau." Jawab Juna lagi dengan mata yang masih fokus sama handphonenya.

Mendengar jawaban menjengkelkan Juna membuat Bintang memutar bola matanya jengah.

Bintang mengedarkan pandangannya, mencari seseorang yang mungkin ia kenal diruangan ini, sampai matanya melihat sesuatu yang mengejutkan.

"Itu si tante girang sama anaknya yang kemaren ke rumah bukan?" Bintang menunjuk dua perempuan yang baru saja masuk.

Semuanya melihat kearah jari Bintang, kecuali Juna yang tetap menatap handphonenya. Ga tau dah tuh anak lagi ngapain, emang kadang suka ga jelas anaknya.

"Ga-"

"Lu ga punya jaw-"

"Iya! Itu si tante girang sama anaknya." Seru Juna memotong ucapan Bintang.

"Lo mau kemana?" Nadine yang baru saja bergabung ke meja itu menahan lengan Juna yang hendak beranjak dari tempatnya.

Juna menatap Nadine bingung, "mau nyamperi dia lah. Gara-gara anaknya Juan jadi dimarahin sama mommy."

Nadine menatap gadis yang datang bersama Angel itu sebentar, lalu kembali menatap Juna yang menunggu responnya.

"Biarin aja." Nadine melepaskan genggamannya, lalu merapikan lengan kemeja Juna yang sedikit lecek karena tadi ia genggam.

"Lu habis dari mana?"

"Tuh." Nadine menunjuk meja belakang mereka yang dimeja itu terdapat Ken, Kearan dan daddy nya yang lagi mengobrol.

"Ye, makin lama makin bucin ya lu." Celetuk seseorang yang bersamaan dengan sebuah lengan merangkul bahu Nadine.

"Suka-suk-ABANG!" Pekik Nadine terkejut, membuat orang-orang yang ada diruangan itu menatap ke meja mereka.

"Adek?!" Ucap Devin mengikuti nada bicara Nadine tadi, lalu setelah itu membiarkan Nadine menempel ditubuhnya.

"Inget pulang juga lo akhirnya. Oleh-oleh yang gue minta dari dua tahun yang lalu mana?" Juna berkacak pinggang menatap sinis abang sepupunya itu.

"Iya," Gavin mengangangguk setuju, "titipan gue juga. Kan udah gue suruh kirim, kok ga lu kirim-kirim sampe sekarang?"

"Norak banget sih lu pada kayak ga pernah US aja," cibir Bintang menatap kedua sepupunya itu malas, "sepatu yang gue minta beliin ada kan?"

"Ngaca lu cebol." Tama menoyor kepala Bintang kuat.

"Ish, lo jangan toyor-toyor kepala gue." Bintang mengelus kepalanya yang tadi ditoyor Tama.

"Emang kenapa, lagian otak lu cuma setengah juga."

Bintang berdecak, "ya justru karena otak gue cuma setengah, kepala gue jangan lo toyor-toyor. Entar kalau gue makin bodoh gimana, emang lu mau tanggung jawab."

"Apasih lu, ga jelas." Balas Tama malas.

"Iya, ga jelas kayak jalan hidup lu." Tambah Bintang cepat bersamaan dengan suara tamparan terdengar ke seluruh sudut diruangan itu.

Hening.

Tak ada satupun yang bergeming diruangan itu, semuanya melihat ke satu titik yang sama.

Terkecuali, Bintang. Cowok itu masih sibuk mengelus kepalanya yang terkena toyoran Tama. Sakit coy, kayaknya otak yang cuma setengah itu nabrak tengkorak kepalanya deh makanya bisa sakit banget.

"Kok sepi, kalian lagi pada ngeliatin apa sih?" Bintang yang kepo pun menolehkan kepalanya kearah pandangan orang-orang.

Disana, disamping pintu keluar, terlihat Lea berdiri didepan Juan yang kepalanya tertoleh ke samping. Sesangkan wanita itu berdiri dengan wajah yang memerah menahan marah dan juga tangan kanan yang terangkat.

Sadar menjadi bahan tontonan orang-orang, Lea menatap orang-orang itu sebentar, lalu memutuskan untuk pergi dari ruangan itu, meninggalkan Juan yang masih terdiam ditempatnya.

~Kkeut

SAPRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang