m a t i

283 47 8
                                    


"Setiap anak emang pantas untuk punya orang tua, tapi ga semua orang tua pantas untuk punya anak." -Leon, yang katanya udah selesai sidang skripsi.

•••

"Tunggu-tunggu," Bintang menyela ucapan Nadine, "maksud kalimat lo yang 'sampe bayinya lahir' itu apa?"

"Tami, lo hamil?" Tanya Dean.

"Iya," Nadine menarik tubuhnya sedikit menjauh dari Tami, "benarkan opa?"

"Tapi Gara-nya mau tanggung jawab kan, Mi." Tama berlutut didepan Tami, "bilang sama gue kalau Gara mau tanggung jawab."

Tami bungkam, diam tak menjawab.

"Tami, Gara mau tanggung jawabkan." Tama mengguncang bahu Tami, "bilang sama gue Tami."

Dengan perlahan Tami menggeleng, membuat Tama melepaskan tangannya dari bahu Tami dan menjauh dari kembarannya itu.

Gelengan Tami tidak hanya membuat Tama kecewa, tetapi juga semua yang berada diruangan itu. Terlebih lagi Bram, ia sudah mempercayakan cucunya pada Gara, tapi balasan yang dilakukan pemuda itu sungguh membuatnya kecewa.

Tak ingin membuat semuanya kecewa, tanpa pikir panjang Tami berdiri dari kursi rodanya dan "Tami bakal gugurin bayi ini." Ucapnya yang tentu saja membuat semuanya menatap gadis itu tak percaya.

"Tami," Panggil Sarah sendu.

Ia tak menyangka kalau putrinya akan mengatakan kalimat yang paling ia hindari itu.

"Lo gila ya mbak!" Sentak Nadine mendorong bahu Tami lumayan kuat.

"Lo mau bunuh bayi lo sendiri, ga waras lo." Cibir nya menatap Tami dengan tatapan tak suka.

"Kenapa? Kamu senangkan mbak kek gini. Jadi kamu bisa nunjukin kalau kamu lebih baik daripada mbak dan kamu juga lebih segalanya daripada mbak." Tuduh Tami pada Nadine.

"Serendah itu gue dimata lo?"

Nadine sudah tak perduli dengan yang namanya sopan santun, karena baginya, mbaknya ini sudah bukan lagi orang yang harus ia hormati.

"Asal lo tau ya, gue ga sesampah itu, senang diatas penderitaan orang lain, itu bukan gue. Gue gini ya juga karna lo."

"Lo yang ngajarin gue buat jadiin lo musuh gue."

"Tami, Nadine." Panggil Bram penuh peringatan.

"Kalau mbak musuh kamu, kenapa kamu harus perduli?" Tanya Tami mengabaikan panggilan opanya itu.

Nadine mengerutkan keningnya, "kenapa lo tanya? Jawabannya sederhana, ya karna anak lo keponakan gue. Kalau lo ga mau ngurus dia, kasih dia sama gue. Gue bakal rawat dan besarin dia kek anak gue sendiri."

"Kalau lo tanya kenapa gue mau ngelakuin itu, karena gue ga mau ada Nadine lain dikeluarga ini. Cukup gue dan adik-adik gue yang tumbuh tanpa kasih sayang, anak lo jangan."

"Lo cukup lahirin dia, setelah itu gue bakal bawa dia pergi jauh sampe lo lupa kalau lo pernah ngelahirin bayi sebelumnya." Nadine menatap Tami sengit.

"Nadine, enggak." Bram berdiri ditengah-tengah kedua gadis itu.

"Kenapa enggak?" Nadine menghadap opanya itu.

"Karena opa ga akan biayain kamu buat ngebesarin anak itu." Tegas Bram.

"Tapi Leon akan." Sahut Leon dari arah pintu depan.

Mendengar suara Leon, Nadine berbalik dan mendapati abangnya berdiri didepan pintu dengan koper disamping cowok itu, "bang, lo kok-"

"Kamu mau ngebiayain mereka pake apa, daun?" Tanya Bram menantang cucunya itu.

Lulus kuliah aja belum, kok sok mau ngebiayain Nadine ngebesarin bayi Tami.

Leon berjalan mendekati Bram, berdiri tepat dihadapan opanya itu, "Leon udah sidang skripsi, tinggal nunggu wisudanya bulan depan. Baru setelah itu Leon bakal bawa adik-adik Leon ke US."

"Dan opa ga bakal biayain kalian buat tinggal disana." Sambung Bram cepat.

"Leon ga minta opa atau daddy buat ngebiayain kita, karna disana, Leon bakal magang diperusahan mommy selama enam bulan, sebelum ngambil alih penuh perusahaan mommy." Jelas Leon.

"Mommy punya perusahaan?" Bisik Juna pada Juan disampingnya.

Juan mengangguk.

"Enggak boleh." Larang Daniel berdiri dari duduknya.

"Kenapa? Bukannya daddy yang bilang kalau adik-adik itu tanggung jawab Leon. Dan sekarang Leon bakal ngejalani tanggung jawab itu." Balas Leon.

"Asal daddy tau, setiap anak pantas untuk punya orang tua, tapi ga semua orang tua, pantas untuk punya anak. Dan daddy termasuk orang tua yang ga pantas untuk punya anak." Lanjutnya penuh penekanan.

"Daddy emang ngasih kita banyak hal, tapi ada satu yang daddy ga kasih ke kita," Leon menjeda ucapannya.

"Kasih sayang."

"Daddy emang ngasih kita mommy, tapi mommy ga beneran jadi mommy kita." Ujar Leon ambigu.

"Karena sampai kapan pun, mommy ga bakal tergantikan."

"Ngasih kita mommy? Bang, maksud lo apaan?" Tanya Juna tak mengerti maksud ucapan Leon tadi.

"Mommy kandung kita udah mati." Jawab Juan santai.

"Juan!" Bentak Daniel marah.

"Kenapa sih?" Juan menatap daddy nya itu tak suka, "Juan juga berhak tau kalau mommy dia yang sebenarnya itu udah mati karena ngelahirin anak kembarnya. Tapi sayangnya anak kembar yang dia perjuangin itu, ga tau sama sekali tentang dia. Kerena keluarga suaminya yang ga tau diri ngelupain dia seakan dia ga pernah hidup didunia ini sama sekali."

"Kak, lo udah ta-"

"Kita semua udah, cuma lo yang enggak tau. Karena disaat kita mau ngasih tau lo, opa ngelarang. Alasannya cuma karna opa takut lo gila kayak gue." Ujar Juan sambil menatap opanya itu sinis.

"Te-terus mommy sekarang dimana?" Tanya Juna terbata-bata.

Juan yang duduk disamping Juna berdecak, menatap kembarannya itu malas, "udah dibilang juga, mommy udah mati, di US." Tekannya.

Mendengar itu Juna diam menunduk, lalu berdiri menghampiri Leon, menatap abangnya itu, "gue ikut lo ke US, gue pengen ketemu mommy."

~Kkeut

SAPRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang