n g a c a

253 34 4
                                    


"Manusia mah emang gitu, kalau ga ngomongin orang ya ga bakal seneng hatinya." -Chilla, si manusia yang suka ga ngaca pt.3.

•••

"Manusia, hobinya jadi beban keluarga." Ujar Kevin tiba-tiba memberi tebak-tebakan begitu mereka sampai dikantin.

Karena kelas mereka lagi jamkos dan juga karena si ketos abal-abal aka Putra yang katanya lagi ga mood dikelas, mereka pun dengan penuh suka cita mengungsi ke kantin untuk memperbaiki mood si bapak ketu satu ini.

"BIAN!" Jawab Nando cepat.

"BENER!" Kevin menyambar permen Gabriel yang tergeletak diatas meja, mengangkat permen itu, "Selamat! Anda mendapatkan satu permen milkatuy yang setara dengan 30% kegoblokan si Iel."

Bian yang namanya dibawa-bawa pun menatap kedua orang itu malas, "kok jadi gue sih bang-"

"Misi paket." Potong Ken sambil mengetuk meja mereka.

"Ahsiap." Sahut Gabriel yang habis itu langsung joget-joget ga jelas.

Putra yang melihat Gabriel pun ikut-ikutan, cowok itu berdiri dan berjoget mengikuti Gabriel.

Melihat itu otomatis Gavin menoleh kearah Agam, antisipasi tuh anak ikutan gila kek mereka. Soalnya kan Agam sama Gabriel otaknya 15 16, nyambung aja kek anak kembar.

Sebelum Agam sadar sama kelakuan temen-temennya, Gavin lebih dulu menarik kedua orang itu duduk, "ada perlu apa?"

"Dian mana?" Ken mendorong tubuh Bian yang otomatis membuat cowok itu jatuh ke lantai dan tanpa merasa bersalah Ken duduk ditempat Bian tadi.

"Anjir, lo main belakang sama si Dian!" Kevin sontak berdiri sambil menunjuk Ken.

"What?!" Chilla membulatkan matanya, menoleh kearah Ken, menatap cowok itu tak percaya.

Ken memutar matanya malas, menatap kedua orang itu bergantian, "salah gue ada perlu sama tante gue sendiri."

Chilla diam sebentar, "oh iya ya, lo kan ponakannya si Dian ya. Kok gue bisa lupa ya." Gumamnya kembali kegiatannya apalagi kalau bukan menggibah bersama Ken dan Nando dan Aji yang ga tau kesambet apa tiba-tiba mau diajak gibah.

"Muka dia tua sih." Sahut Bian yang sedari tadi berdiri dibelakang Ken.

Ken yang tak terima dikatain pun berdiri didepan Bian, "Ye bambang, muka gue sama muka lo juga masih tuaan muka lo ye nyet. Sekate-kate lu ngatain gue."

"Dian di rooftop bang." Gavin berdiri diantara keduanya.

"Nah, untung diantara kalian masih ada yang waras. Kalau engga apa ga gila gue ngeladenin lu satu-satu. Mana beraninya main keroyokan lagi." Ken menatap sebelas manusia yang kini menatapnya itu satu persatu.

"Iya, sekarang mending lo cabut deh bang, daripada makin ribut nih makhluk-makhluk." Gavin mendorong tubuh Ken pelan.

"Yodah, bye." Ken berjalan meninggalkan tempat mereka.

Bian menatap punggung Ken sampai cowok itu hilang dibelokan, baru setelah itu dia kembali duduk ditempatnya semula.

"Pantesan aja dia ama si Sapri langgeng, sama-sama kurang ternyata."

"Kurang apanya?" Tanya Claudia yang sedari tadi hanya diam menonton kebodohan teman-temannya.

"Ya akhlaknya lah." Jawabnya cepat.

Aine yang sudah tak tahan dengan Bian pun mengambil kaca Chilla dari tangan si pemilik, lalu memberikannya kepada Bian, "nih."

"Buat apa?" Tanya Bian bingung.

"Buat lo ngaca lah bego, masa iya buat lo makan." Bilang Chilla malas.

"Tau, bodoh banget sih." Sahut Agam ikut-ikutan.

Bian menoleh kearah Agam, berjalan menghampiri cowok itu, lalu tanpa aba-aba menjepit leher cowok itu dengan sikunya, "mati lo tolol, mati, mati."

•••

"Sakit Yan, lepas gila." Adu Ken sambil memukul pelan lengan Dian yang menjepit lehernya kuat.

"Makanya lain kali ga usah sok ngide ngejutin gue." Dian melepaskan jepitannya.

Ken mengatur napasnya yang memburu, lalu duduk disamping Dian yang menatap kearah lapangan tempat Nadine dan anggota cheers lainnya latihan.

"Lo udah bilang dia kalo lo mau pindah?"

Dian menggeleng, "dia lagi banyak masalah, gue ga mau jadi beban pikiran dia." Dian menoleh kearah Ken disampingnya sekilas, "Lo siap ini mau lanjut kemana."

"Gue kayaknya nganggur dulu, nunggu dia lulus. Baru gue lanjut bareng sama dia."

"Cih, bucin." Cibir Dian melirik Ken sinis.

"Bodoh." Balas Ken kembali menatap kearah Nadine yang keliatannya lagi ngobrol serius sama Tami didekat tiang basket.

"Gerakan kamu salah Nadine." Ujar Tami tegas.

Nadine menatap Tami jengah, "emang dari dulu aku ga pernah bener kan dimata mbak."

"Kamu berani ngelawan mbak?" Tanya Tami seraya berkacak pinggang, menatap Nadine tajam.

"Why not? Selama aku ngerasa diri ku bener, kenapa aku harus takut?"

"Nadine!" Bentak Tami tak percaya mendengar balasan gadis didepannya itu.

Nadine mendengus,  "selama ini aku nurut sama mbak cuma karena opa, bukan karena aku takut sama mbak. So please stop acting like you have control over me, cause you dont."

Nadine sebenarnya malas banget ngeladeni mbaknya ini, apalagi ditempat umum kayak gini.

Dia sadar kok kalau mereka udah jadi bahan tontonan satu sekolahan. Tapi kalau ga diginiin yang ada mbaknya ini malah makin ngelunjak. Semakin memaksa Nadine ngelakuin hal-hal yang sebenarnya ga Nadine suka.

Nadine rasa udah cukup hampir dua minggu ini dia dikekang, ga boleh kelaur buat main, ga boleh pake baju yang biasa dia pakai, dan ga boleh makan makanan yang biasa dia makan. Apapun yang mau dia lakukan harus atas persetujuan Tami. Kalau enggak, ya enggak boleh atau dia bakalan dilaporin ke opanya.

"Mbak ga ngengontrol kamu. Itu cuma perasaan kamu aja. Mbak lakuin semua ini karna mbak tau apa yang terbaik untuk kam-"

"Untuk aku apa untuk nama baik mbak." Potong Nadine, "mbak pengen ngerubah aku karena mbak selalu disangkutpautin setiap aku buat masalah, dan mbak ga mau itu." Nadine menjeda ucapannya.

"Dan karena itu, mbak malu punya saudara kayak aku. Right?" Sambungnya.

Tami membatu, ia menatap gadis didepannya ini sendu, "Nadine." Panggilnya pelan.

Nadine menghiraukan panggilan Tami, "mbak juga iri karena yang lain lebih perhatian ke aku, they prioritize me above all else."

"Mbak mau tau ga kenapa mereka lakuin itu? Karena mereka kasih-"

"Nadine." Potong Tami lagi seraya mencoba meraih tangan Nadine.

"MEREKA CUMA KASIHAN SAMA AKU!" Teriak Nadine dan tanpa sadar menepis kuat tangan Tami hingga gadis itu terdorong dan terjatuh.

Nadine jongkok menyamakan tingginya dengan Tami. "Mbak ga tau apa-apa tentang aku, jadi berhenti berusaha buat ngerubah aku jadi apa yang mbak mau. You just torture me, you know." Bisik Nadine didepan wajah kesakitan Tami yang dihiraukan oleh Nadine yang sedang emosi.

Nadine tak sadar jika posisinya ini bisa membuat orang-orang salah paham, ditambah raut kesakitan dan luka disiku Tami yang semakin menyakinkan orang orang kalau dia sedang membully Tami.

"NADINE!"

"Akhh!"

~Kkeut

SAPRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang