g o b l o k

263 38 4
                                    


"Didunia ini ga ada masalah yang ga berat, kalau mau ringan, kurangi aja timbangannya. Diet kek, atau apa kek supaya timbangannya turun." -Arjuna Afreza Sandjaya, manusia paling bijak dirumahnya, katanya.

•••

Jam menunjukkan pukul 12 tepat ketika Nadine menginjakkan kakinya masuk ke dalam apartement.

Ya, setelah makan bubur, yang sebelumnya keliling-keliling dulu hampir satu jam buat nyari tukang bubur yang masih buka, Nadine pulang ke apartement seperti yang disuruh Nathan.

Apartement ini merupakan apartement milik Leon yang dihadiahi oleh Daniel karena Leon lulus dengan nilai yang hampir sempurna. Dan karena dia sekolah di Singapura, dia pun menitipkan apartement ini kepada Nathan untuk dijaga.

Nadine merebahkan badannya disofa santai yang ada diruang tengah apartement itu. Perutnya kenyang banget habis makan bubur dua mangkok.

Dia udah masa bodoh sama larangan Tami yang melarangnya untuk makan diatas jam 8 malam apalagi dalam porsi besar.

Nadine yang prinsipnya kalau laper makan, kalau badmood makan, kalau mager makan, mana tahan sama larangan kayak gitu. Anggap aja hari ini tuh cheating day.

Suara pintu yang terbuka menganggu Nadine yang hampir terlelap.

Nadine membuka matanya lalu mendudukkan tubuhnya menghadap pintu.

"Acaranya udah kelar?" Tanyanya pada Juna yang baru saja masuk.

Ken mengangguk, "sunyi amat, lo sendiri?"

Nadine mengedikkan bahunya, mana dia tau. Tadi dia datang aja ga ada siapa-siapa disini. Mau ngecek ke kamar, dia nya udah keburu mager.

"Lo mau tidur dimana?" Tanya Ken berdiri disamping sofa.

Apartement ini hanya memiliki dua kamar, yang berarti Nadine tinggal milih. Mau tidur sama adek atau kakaknya, atau tidur dikamar sendirian.

"Tidur disini aja." Nadine kembali merebahkan tubuhnya.

"Enggak-enggak," Juna menarik tangan Nadine agar kakaknya itu duduk, "sofa ga masuk pilihan. Lo cuma bisa milih tidur dikamar sendirian atau sama yang lain."

Nadine duduk, diam sejenak untuk berpikir, lalu berdiri, "gue tid-WHA!"

Nadine refleks menjerit begitu matanya menemukan Juan berdiri didepan kamar dengan tangan yang bercucuran darah.

"Juan." Nadine menghampiri Juan didepan pintu kamar.

Nadine meraih tangan Juan yang penuh darah itu pelan, "you do it again."

"Sorry." Ucap Juan pelan.

Nadine menggeleng, "not to me, but to your hand. Mereka kesakitan."

"No, they aren't. Mereka udah ga bisa ngerasain apa-apa lagi."

Sederhana, tapi sukses membuat hati Nadine sakit. 

Nadine membawa Juan masuk ke kamar, mendudukkan adiknya itu dipinggiran kasur.

"Juna, tolong ambilin p3k ya." Pintanya pada Juna yang sedari tadi diam mengekorinya.

"Iya." Juna pergi keluar kamar.

"Kak Nathan mana?" Nadine duduk disamping Juan yang kini diam menunduk.

"Pergi, ngantar Fesya pulang." Jawab Juan cepat.

Nadine mengikuti arah pandangan Juan, melepaskan tangan Juan yang mencengkram kuat tangannya yang berdarah, lalu menggenggam tangan itu.

Nadine tak membuka suara, hanya menggenggam tangan Juan sambil menatap adiknya itu prihatin.

Hingga tanpa sadar, air matanya jatuh. Buru-buru Nadine menghapus air matanya, tapi kalah cepat dengan Juan yang lebih dulu menghapus air mata dipipinya.

"Sorry." Ucap Juan menatap Nadine penuh sesal.

Nadine menggeleng, "kamu ga salah, buat apa minta maaf."

"But i make you cry."

"Kalau gitu jangan lakuin itu lagi atau ga gue bakal nangis."

Dengan ragu Juan mengangguk, "I'll try."

"Kak ini." Juna memberi Nadine kotak p3k yang tadi ia ambil, lalu duduk dibelakang Nadine yang menghadap Juan.

"Makasih ya." Nadine mengelus pipi Juna sekilas dan mengobati lengan Juan.

"Sakit ga Ju?" Tanya Juna memajukan kepalanya.

"Pertanyaan lo ga ada yang lebih berfaedah selain dari itu hah?" Sahut Nathan masuk ke kamar itu.

"Sk-sk gue dong." Juna melirik kakaknya itu sinis.

"Sk-sk, apaan?" Juan mengerutkan keningnya.

"Ah, ga gaul lo. Sk-sk tuh kepanjangan dari suka-suka. Gimana sih lo, gitu aja ga tau." Jelas Juna sombong.

"Nyingkatnya maksa, kek familiar gue." Gumam Nadine, "itu yang buat Chilla bukan?"

"Lah kok lo tau."

"Lain kali lo ga usah bergaul sama temen-temen gue lagi deh, makin turun iq lo lama-lama." Bilang Nadine yang tak dihiraukan oleh Juna.

Soalnya anaknya sekarang lagi kepo sama bekas sayatan yang ada ditangan Juan.

"Ini udah berapa lama?" Juna menyentuh bekas sayatan itu.

"Ga tau." Jawab Juan acuh.

"Masih sakit ga?"

"Udah enggak."

Tak ada lagi pertanyaan yang keluar dari mulut Juna, cowok itu kini hanya diam memperhatikan bekas itu.

"Kalau lo kepikiran buat punya kayak gitu, hapus pikiran itu sekarang juga dari otak lo. Sebelum otak lo gue cuci pake pemutih biar suci." Ancam Nathan yang dari tadi hanya duduk diam dilantai sambil memperhatikan adek-adeknya itu.

"Cih, siapa juga yang pengen punya kayak gitu. Mending gue bikin tato tulisannya Sapri is ma sista." Balas Juna menatap Nathan sinis.

"Siap." Ucap Nadine sambil sedikit memperbaiki balutan pada tangan Juan.

"Makasih kak."

"Iya, lain kali jangan gitu lagi ya." Bilang Nadine lembut.

Juan hanya tersenyum simpul sebagai jawaban.

"Kalo lagi ngumpul begini, gue suka kangen sama bang Leon masa." Celetuk Juna merebahkan tubuhnya diranjang.

Nadine yang melihat Juna rebahan pun bangkit, memberi space agar Juna lebih nyaman dan duduk disamping Nathan.

"Telpon gih." Suruh Nadine.

Lalu tanpe sepengetahuan Juna ia menelpon Leon diam-diam menggunakan handphone Nathan.

"Ah, gengsi lah. Masa gue adeknya, gue yang nelpon luan." Balas Juna dengan mata yang terpejam.

"Gegayaan gengsi lo." Sahut Leon dari sebrang sana.

Mendengar suara Leon, sontak Juna membuka matanya, "keknya gue kangen banget sama bang Leon sampe gue ngehalu denger suaranya." Adunya pada Nadine dan Nathan sambil memasang muka seriusnya.

"Hah?" Tanya Nadine pura-pura tak mengerti.

Masih dengan wajah seriusnya, Juna pindah duduk ke samping Nadine, "gue tadi ngedenger suara bang Leon masa. Dia bilang gini, "gegayaan gengsi lo," gitu."

"Adek lo pada, makin lama makin goblok ya."

"Hah!" Juan menempel ke tubuh Nadine, "Gue ngedengar suaranya lagi. Kurang ajar Pri, masa dia ngatain gue goblok. Padahalkan beban daddy yang paling goblok itu dia."

Nadine yang sudah tak tahan dengan kegoblokan Juna pun menempelkan handphone Nathan yang dilayarnya terdapat wajah Leon ke depan muka Juna, "ini bang lo nih. Jadi orang kok goblok banget." Cibirnya seraya mundur menjauh dari Juna.

Takut virus gobloknya Juna pindah ke dia.

~Kkeut

SAPRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang