"Hubungan kok digantung, itu perasaan apa pakaian." -Nadine, anti gantung-gantung club•••
Nadine berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya ketanah. "Ish, ini manusia kagak ada yang mau ngangkat telpon gue apa? Mana rumah opa diujung lagi, nih komplek juga, napa besar amat sih. Kalo gue pulang kerumah yang ada besok gue kena semprot. Ah bodolah, ngemper disini aja lah gue." Nadine menjatuhkan badannya di trotoar jalan komplek.
"Ni hp juga, percuma mahal tapi batre nya cepat amat habis." Nadine menatap handphonenya nanar
Ini semua karena mobilnya yang tiba-tiba mogok didepan gerbang komplek, sehingga gadis itu nekat berjalan dari gerbang komplek menuju rumah kakeknya itu.
Tapi ya juga namanya komplek elit, rumahnya besar-besar dan jangan lupa juga rumah kakeknya itu berada tepat diujung komplek membuat Nadine menyerah di seperempat jalan. Mana jalan dikomplek ini bergelombang, sudah persis seperti mendaki bukit.
Kepala gadis itu terus mengarah ke arah pintu masuk komplek, menunggu motor atau mobil yang bisa ia cegat.
Hingga matanya menangkap sebuah mobil Range Rover hitam yang begitu familiar hendak melintas didepannya. Dengan nekat, Nadine berdiri ditengah jalan seraya merentangkan tangannya.
Nadine menutup erat kedua matanya ketika mobil itu semakin mendekat kearahnya. Serem coy, khilap dikit, nyawanya melayang.
"Nana? Ngapain, mau bunuh diri?" Tanya sang pengemudi dengan kepala yang menyembul keluar dari jendela mobil.
Nadine membuka sebelah matanya, "ya ampun om-papi, aku sayang banget tau gak sama om-papi." Girangnya seraya menghampiri Dylan, ayah Gavin.
Dylan yang sudah terbiasa dengan kelakuan absurd keponakannya itu pun turun dari mobilnya, "Nana kok bisa ada disini? Terus itu mobil kamu kenapa kamu tinggal didepan?"
"Mobil aku tuh lagi ngambek, makanya aku jalan. Kirain dekat, eh taunya jauh banget. Lagian napa sih opa buat rumah kudu diujung kek gini, kan akunya jadi capek. Mana punya kakak gak ada guna semua, masa aku telpon gak ada satupun yang ngangkat. Parahkan." Dumel Nadine.
"Ayo bareng papi aja." Ajak Dylan.
"Ya emang kudu sama om-papi, masa iya aku terbang kaya kuntilemak."
•••
"Bagus ya, gue nungguin dijalanan sana udah kayak gembel, lu pada malah
enak-enaknya makan disini. Minggir, gue juga mau." Nadine menggeser tubuh Gavin kasar."Nih, pelan-pelan aja makannya Nadine." Tami meletakkan sebuah piring yang berisikan daging dan sosis panggang di depan Nadine.
Nadine tersenyum "thank you mbak," melahap makanan yang ada didepannya.
"Oh ya, tumben damai." Heran Nadine. Pasalnya jika sudah berkumpul seperti ini pasti ada saja kericuhan yang disebabkan oleh dua gumpalan lemak yang batang hitungnya tidak terlihat malam ini.
"Tadi buna pergi ketempat temennya sama mereka terus keasikan main, gak mau pulang. Yaudah deh mereka dititip disana." Jelas Tami pada Nadine.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAPRI
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Sapri atau kepanjangnya Sandjaya's Princess merupakan sebutan yang saudara dan teman-teman Nadine tujukan padanya. Nadine, si cucu perempuan terakhir Sandjaya yang sifatnya berbanding kebalik dengan Pratami, sepupu perempuan...