o u r s a p r i

299 48 9
                                    


"Temen-temen gue emang biang onar, tapi kalau ga ada mereka, ga yakin gue masa sma gue bakal seseru ini." -Putra, siketos yang sering diomongin orang karena mau berteman sama kumpulan manusia biang onar.

•••

"Dengan berat hati kami putuskan untuk mengeluarkan Nadine Agleysa Sandjaya dari sekolah dan juga mengeluarkan Nadine dari daftar peserta lomba cheerleader nasional." Putus kepala sekolah didepan seluruh peserta upacara begitu upacara senin pagi ini selesai.

Keputusan itu tentu saja mengejutkan seluruh penghuni sekolah, terlebih lagi teman-teman Nadine dan anggota cheers.

"Tapi dua minggu lagi kita ujian kenaikan kelas pak, apa ga sebaiknya dipikir-pikir lagi." Protes Putra mewakili teman-temannya.

"Perilaku Nadine emang salah, tapi kalau Nadine dikeluarkan sekarang, yang ada Nadine tinggal kelas. Nilai Nadine juga termasuk nilai lima tertinggi seangkatan." Sambung Gavin dari arah barisan.

"Kalau Nadine dikeluarin yang jadi center siapa pak?" Tanya Lala juga.

"Waktunya tinggal minggu depan, siapa yang mau gantiin pak."

Protesan itu membuat bebarapa orang juga ikutan protes. Walaupun Nadine bandelnya ga ketolong, Nadine termasuk siswa yang terkenal, bukan hanya terkenal karena cucu konglemerat, tapi juga karena gadis itu sering membantu orang lain secara tidak sengaja.

Contohnya minggu lalu, setelah jam istirahat selesai ada murid kelas 10 yang ketahuan bolos sama pak Bondan, dan bersamaan sama itu juga Nadine baru datang dengan ransel kebanggannya yang masih menempel di punggungnya.

Ga tau entah karena masih ngantuk apa gimana, Nadine dengan sengaja lewat didepan pak Bondan, dan karena pak Bondan lebih sayang sama Nadine dibanding anak kelas 10 itu, pak Bondan pun ngelepas anak kelas 10 itu dengan suka rela dan sebagai gantinya menarik Nadine ke ruang bk.

Tapi sayang, protesan mereka itu tidak dihiraukan oleh kepala sekolah, pria setengah baya itu malah membubarkan barisan dan meninggalkan lapangan upacara.

"Lo kok gak protes sih dikeluarin gitu aja." Kesal Dian pada Nadine yang berdiri disampingnya.

Ia kesal karena gadis itu diam saja, tidak protes sama sekali sama keputusan sekolah yang menurutnya diambil buru-buru itu.

"Lah kan emang gue salah, wajar dong gue dikeluarin." Balas Nadine santai.

Kalau ditanya Nadine nyesel ga ngelakuin itu?

Nadine bakal jawab enggak sama sekali. Malah menurutnya apa yang dia lakuin itu masih kurang dibanding sama apa yang Gara lakuin ke mbaknya.

Dia cuma ngehancurin mobil pewaris tunggal perusahaan besar, sedangkan si pewaris tunggal ngerusak masa depan mbaknya.

Lebih parah si pewaris tunggal yang katanya berpendidikan tinggi itu kan?

"Ayok." Gavin menarik pergelangan tangan Nadine tiba-tiba.

Nadine menahan tubuhnya, "kemana?"

"Ruang kepsek, lu ga boleh keluar gitu aja. Sebentar lagi ujian, kalau lo di do yang ada lo tinggal kelas." Jelas Gavin sambil menarik tangan Nadine ke arah ruang kepala sekolah.

Mendengar itu Nadine menepis tangan Gavin yang menarik tangannya dan berhenti ditempat.

"Na," Gavin menatap Nadine memelas, "please."

"Vin, gue salah, dan ini konsekuensi yang harus gue tanggung. Gue emang dikeluarkan dari sekolah, tapi bukan berarti gue berhenti sekolah kan. Gue masih bisa lanjut disekolah yang la-"

"Gue bakal telpon opa, opa pas-"

Nadine menahan tangan Gavin yang hendak mengeluarkan handphonenya, "mau sampe kapan lo ngandelin opa. Kita udah 17 tahun, udah berhak atas diri kita sendiri. Gue ngelakuin hal itu atas keinginan diri gue sendiri, jadi gue wajib nanggung kosekuensinya."

"Tapi Pri, lo bakalan ngulang kelas." Bilang Kevin greget.

"Ga papa, lagian juga gue bakal pindah ke US kan." Balas Nadine.

"Pri." Lirih Chilla dengan suara yang bergetar.

"Guys," Nadine menatap teman-temannya itu satu persatu, "dont worry, gue ga papa."

Nadine menoleh kearah Chilla yang dimatanya kini sudah menggenang air mata, "beneran gue ga papa." Bilangnya sambil tersenyum, menahan air matanya yang hendak mengalir.

Chilla yang sudah tak tahan pun menangis dan langsung memeluk Nadine, "lo kalau mau nangis, nangis aja goblok. Ga usah ditahan-tahan. Muka lu jelek, kayak lagi nahan boker."

"Muka lo lebih jelek cabe." Ejek Nadine membalas pelukan Chilla, dan tanpa sadar air matanya mengalir.

Kevin yang melihat kedua gadis itu berpelukan pun ikutan, yang tentu saja diikuti yang lain

"Berpelukan!" Teriak Gabriel mendorong tubuh Agam.

"Anjir kek bocah lu pada." Cibir Bian menatap kumpulan manusia didepannya.

"Ga usah gaya lo babi, sini ikutan." Putra menarik Bian tiba-tiba.

Mereka sadar kok mereka jadi bahan tontonan satu sekolahan, tapi bodo amat, Sapri mereka lebih penting dari pada mikirin apa kata orang.

Sapri kesayangan mereka yang sampai kapan pun ga bakal berubah, tetap bakalan jadi Sapri, si tomboy biang onar.

~Kkeut

Udah lama ga up, tapi sekalinya up pendek banget ga sih.
Sapri tinggal beberapa part lagi.
So, stay tune terus ya (^_-)

See you kapan-kapan ( ̄▽ ̄)

SAPRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang