44. Disudut kota

305 37 4
                                    

Jam berapa kalian baca part ini?:<

Btw, apa warna kesukaan kalian?

Nungguin kisah selanjutnya gak nih?ᕙ(  • ‿ •  )ᕗ

Happy Reading-💗!!

•°•°•°•

Bukannya tidak mampu melupakan, melainkan hanya 'belum mampu melupakan'

•°•°•°•

Ara POV...

Sesampainya di rumah, aku membuka pintu utama dengan mengucapkan salam. Entah siapa yang ada di ruang tengah, tapi kedengarannya banyak suara yang bersautan untuk bercakap.

Langkahku terhenti ketika beberapa orang yang ada diruang tengah memandangku dengan tatapan menusuk.

Disini ada om Adam-- Kakak dari papa, Tante Rani, dan Arkilla, Tante Sania-- Adik Papa, Seno-- Kakekku, Putra-- Kakak Arkilla, Dinda dan Dani-- Istri dan anak dari bang Putra, Nella dan Putri-- Anak Tante Sania. Darren-- Suami almarhumah Bibi Kia. Dan Nenek.

Aku mengalihkan pandanganku dari mereka tanpa mengeluarkan senyuman, dan melewati mereka begitu saja.

"Liat, Sa. Anak kamu itu memang gak ada sopan santunnya, gak mau nyalamin yang lebih tua," cibir om Adam. Om Adam ini memang sejak kasus meninggalnya Arya tak suka padaku.

Tapi apa peduliku? Aku tidak keberatan sama sekali akan hal itu, sifat om Adam dan Arkilla bisa dikatakan berbanding terbalik dengan sifat Tante Rani.

"Ara, kamu gak liat ada semua keluarga kamu disini?" Papa menghentikan langkahku, membuatku mengangkat sebelah alisku seraya berbalik badan.

Aku menatap satu persatu makhluk didepanku ini, rasa tak suka ku pada Arkilla makin menjadi kala itu.

"Sopan dikit dong, jangan mentang-mentang tuan rumah jadi belagu gitu," Arkilla mengeluarkan senyuman smirk khas-nya.

"Perlu banget gue sapa lo? Jangan mentang-mentang usia lo lebih tua dari gue, lo bisa seenaknya ngatur gue," balasku dengan nada yang masih tenang.

Aku mendekat pada Tante Rani. Aku mencium punggung tangan milik wanita itu, ia membalasnya dengan mengusap rambutku.

Kini giliran aku menyalami om Adam, aku sudah mengulurkan tanganku, namun om Adam enggan bersalaman denganku.

Semua orang sepertinya sudah kusalami.

"Kamu yang sopan sedikit sama Arkilla, dia kakak sepupu kamu," papa menekan kata-katanya, dan terdengar agak membentak dalam Indra pendengaranku.

Arkilla menyeruput es kopinya, lalu kembali meletakkan cangkir itu ke meja.

Sombong sekali lagaknya, lihat saja. Ia berlagak layaknya ratu dirumah ini, melihat sekeliling dan menguap tanpa menutup mulutnya.

Gila, bau jigongnya menyebar ke seluruh ruangan!

Aku hendak berlalu lagi dan meninggalkan orang-orang itu, namun aku berbalik dan bertanya pada papa. "Pa, Bang Dito kemana?"

Papa tampak tak menggubris ucapan ku, aku juga biasa saja, setelahnya aku berjalan menaiki tangga untuk menuju ke kamarku.

Terdengar sayup-sayup suara dari bawah, samar-samar aku mendengar om Adam dan Arkilla sedang menginjak-injak reputasi ku.

Tentang AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang