1

4.4K 373 0
                                    

Tatapan yang terlihat biasa saja itu, kini tengah memandang ke arah luar jendela. Nafasnya begitu teratur, terlalu tenang. Membuat kedua orang paru bayah di depannya hanya bisa terdiam pula. Luna, gadis yang masih setia dengan pemandangan di luar jendela itu. Sesekali melirik ponselnya, menunggu pesan atau mungkin telefon dari seseorang.

Dimatikan ponselnya itu saat melihat tak ada notifikasi, bukan. Notifikasi memenuhi layar ponselnya, namun tak satupun notfikiasi dari seseorang yang ia tunggu.

Waktu sudah menunjukkan pukul 00:00 Am, membuat udara semakin terasa dingin. Dengan perlahan Luna menarik jaketnya semakin rapat, dan menyandarkan kepalanya kesandaran kursi. Matanya mulai terasa berat. Perjalanan dari Bali ke Jakarta benar-benar membuatnya lelah, walaupun sempat beristirahat sejenak di pesawat, tetapi ia masih saja merasa kelelahan. Namun aneh, ia tak bisa memejamkan matanya, terlalu banyak kemungkinan dan jika yang memenuhi kepalanya saat ini.

Jika saja bukan karena ayah dan ibunya akan ke Singapur untuk perjalanan bisnis, mungkin sekarang Luna masih bisa tertawa bersama teman-temannya dan juga Nesta—cowok yang sudah dua bulan terakhir ini menyita perhatiannya. Cowok yang datang ke kehidupan Luna sebagai teman dan membuatnya semakin berwarna. Nesta yang baru saja pindah ke Bali, mampu membuat Luna bagaikan seorang putri. Tak ada kata 'kencan' ataupun 'pacaran' diantara mereka, namun sikap Nesta padanya, membuat Luna lupa jika mereka hanya sebatas teman.

'Teman' yang artinya masih di ragukan, teman apakah teman.

"Udah sampe, ayo turun. Kamu bawa tas ransel kamu saja, nanti ayah yang bawa koper kamu," ucap Reno—Ayah Luna.

Hanya anggukan yang ditunjukkan Luna, sebelum turun dari mobil. Gelap, kata itulah yang menggambarkan bagaimana penglihatan Luna saat ini. Hanya beberapa lampu yang berasal dari tiga rumah di depannya, membuat keningnya sedikit berkerut.

"Emang lagi mati lampu ya, pa?" Tanya Luna pada Reno, yang saat ini tengah mengeluarkan koper dan beberapa barang Luna dari bagasi mobil.

"Enggak, hanya beberapa rumah biasa matiin lampunya kalau udah tidur, hemat listrik," jawab Niana—ibu Luna. Yang baru saja turun dari mobil.

"Yaudah, aku langsung ke rumah nenek aja."

Setelah berucap, Luna mulai melangkahkan kakinya meninggalkan ayah dan ibunya yang masih sibuk dengan barang bawaan mereka. Untuk sesaat Luna sedikit bingung menentukan arah, sudah hampir empat tahun ia tak menginjakkan kaki di lingkungan rumah neneknya. Pun kalau ke Jakarta, Luna tak pernah sampai ke rumah neneknya itu, hanya neneknya saja yang sering mengunjunginya ketika di Jakarta atau tidak Neneknya yang sering berlibur ke Bali.

Luna berjalan ke arah kiri, dimana semestinya ia harus ke arah kanan. Hingga setelah menyadari jika dirinya salah arah, dengan cepat ia berbalik dan saat itu juga irisnya mendapati dua sosok cowok, dimana salah satu cowok itu menggunakan hoodie sembari mengenakan topi hoodie itu. Membuat Luna tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Namun Luna yakin, jika mata cowok itu tengah tertuju padanya, Luna sangat yakin akan itu.

"Luna, kamu salah jalan, bukan ke sana tapi ke sini," teriak Niana yang hanya di angguki Luna. Dengan cepat gadis itu melangkah hingga melewati kedua cowok tadi, yang sepertinya searah dengannya.

Setelah memasuki halaman rumah sang nenek, Luna segera menekan bel tak sabaran. Sesekali Niana memukul tangannya karena memainkan bel seperti anak kecil, sebelum pintu berwarna putih itu terbuka dan memperlihatkan Olivia—nenek Luna. Dengan piyama putih yang ia kenakan.

"Nenek! Luna kira hantu," ucap Luna yang terkejut dengan kemunculan Olivia, membuatnya mendapatkan jitakan dari sang nenek.

"Memangnya ada hantu cantik seperti nenek?"

Aluna [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang