em•pat

601 108 7
                                    

Aku langsung melihat sekeliling begitu mendengar suara Akis. Dia berdiri tak jauh dari meja kami. Lengkap dengan masker, topi, dan tudung hoodie yang juga terpasang. Persis seperti ketika dia muncul di butikku untuk pertama kalinya.

"Sorry ya, Nou. Akis maksa aku." Ucap Kak Maureen.

Aku menghela nafasku. Aku cukup paham dengan yang satu ini. Akis orang yang sangat keras dan kuat dengan keinginannya. Katanya ya katanya. Karena karakter Akis yang seperti inilah, yang membuatku dulu juga akhirnya memutuskan untuk pergi dan menghilang.

Akis lalu duduk di samping Kak Maureen.

"Jadi gimana? Gimana kalau aku lebih memilih kalian dibanding Aira dan Raka?" tembak Akis langsung sambil menatap mataku lekat.

Ooh jadi nama anaknya Raka.

"He isn't my own child." Tambahnya.

Aku refleks memutar bola mataku jengah. Setelah bertahun-tahun, ternyata Akis masih mampu menebak apa yang ada di dalam pikiranku.

"Aku nggak mau ada yang berubah. Biar aja begini seterusnya. Aku dan anak-anak sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini."

Akis berdecak kencang.

"Nira dan Kara juga anakku. Mereka berhak tau kalau aku ini Papanya."

"Biar nanti aku yang bicara sama mereka pelan-pelan."

"Nanti kapan? Apa jaminannya untukku? Selama ini saja, mereka nggak tau kan siapa Papa kandungnya? Yang mereka tau hanya Papasa. Papasa bullshit!"

Aku terkesiap begitu Akis tiba-tiba meninggikan suaranya.

"Kis!" seru Kak Maureen.

Akis lalu menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. Bisa kudengar suara erangan tertahannya.

"Aku benar-benar bisa gila, Kak! Selama ini aku ngurusin anak orang, nyayangin anak orang, tapi malah menelantarkan anak kandungku sendiri. Kembar pula, Kak! Anakku kembar! Gila."

Kak Mauren mengusap-usap bahu dan lengan Akis.

"Memangnya masih kurang puas kamu selama ini udah ngejauhin anak-anakmu dengan Papanya sendiri? Mau sampai kapan hah? Aku nggak nyangka, ternyata Hava yang kukenal bisa setega ini. Iya. Kamu tega, Va. Te-ga!"

"Kis, stop it."

Akis lalu menatap Kak Maureen yang masih mengusap-usap lengannya.

"Aku cuma mau anak-anakku tau kalau aku ini Papanya, Kak. Meskipun nanti akan banyak tanya dari mereka atau bahkan kalau mereka menolak kehadiranku sekalipun, it's okay. Seenggaknya mereka tau siapa Papa mereka."

Akis menarik nafasnya dalam sebelum melanjutkan ucapannya.

"Selagi aku masih punya waktu untuk jadi Papa yang sebenarnya untuk mereka, Kak. Aku benar-benar nggak mau membuang waktuku lagi. Cukup dengan waktu yang udah terbuang selama ini." Sambungnya.

Kak Maureen lalu beralih menatapku.

"Nou.. Aku menghargai banget pilihanmu yang mau semuanya tetap seperti ini. Tapi menurutku, nggak ada salahnya kalau Nira dan Kara tau siapa Papa mereka yang sebenarnya."

Kak Maureen lalu kembali menatap Akis.

"Dan kamu, harus siap dengan apapun respon dan keputusan Nira dan Kara tentang kamu. Maksud Kakak, kalaupun ternyata mereka menolakmu, kamu harus terima. Kamu nggak boleh maksain egomu sendiri, Kis."

Akis kembali mendesah pasrah.

"Gimana dengan Tante Mariska, Kak? Gimana kalau Tante Mariska tetap nggak bisa terima mereka dalam kehidupan Akis? Aku nggak mau anak-anakku harus tertolak." Ucapku dengan suara bergetar. "Lagi." Sambungku sambil menahan air mataku agar tidak menetes.

"Mama biar jadi urusanku. Aku juga nggak akan biarin anak-anakku terusik. Aku bakal jaga mereka, Hava!" Akis menatapku dalam.

Tok tok..

Suara ketukan pintu menarikku kembali dari kilas balik kejadian dua hari yang lalu itu.

"Maaf Bu, ada tamu yang cari Ibu."

Aku menatap Lily dengan alis berkerut. Seingatku, aku tidak punya janji temu saat ini. Lily kemudian hanya mengedikkan bahunya.

"Yasudah suruh masuk aja, Ly."

Aku terkesiap begitu melihat siapa yang datang. Om Rega, Papanya Akis.

"Om." ucapku sambil berdiri dari kursiku.

"Hello, Noushava. Apa kabar kamu?"

"Tak pernah sebaik ini, Om. Mari silahkan duduk dulu, Om."

Om Rega lebih memilih duduk di sofa yang ada di dalam ruang kerjaku. Akupun mengikutinya.

"Kemana aja, Nou? Tujuh tahun ya kita nggak ketemu?"

Aku tersenyum simpul, "Ada kok, Om. Nggak kemana-mana."

Om Rega mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Mohon maaf Om, ada perlu apa ya tiba-tiba main ke sini?"

Om Rega menghela nafasnya pelan, "Okay. Karena kita berdua termasuk orang yang paling nggak pandai basa-basi, Om akan langsung saja."

Om Rega kembali menghela nafasnya perlahan sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Apa benar yang diceritakan Akis dan Maureen? Perihal anakmu dan Akis. Siapa namanya? Nira dan Kara?"

Nafasku tercekat seketika. Aku menelan salivaku dengan susah payah. Ingin menjawab, tapi rasanya lidahku kelu. Om Rega lagi-lagi menghembuskan nafasnya. Kali ini dengan lebih kencang.

"Terima kasih sudah memilih untuk mempertahankan mereka. Terima kasih karena sudah menjaga mereka dengan sebaik ini, Nou. Mereka cantik dan tampan. Sepertimu juga Akis."

Om Rega sudah melihat mereka?

"Akis dan Maureen sudah menunjukkan foto mereka."

Aku sedikit bernafas lega. Setidaknya, anak-anakku tidak shock karena ditemui secara tiba-tiba oleh orang yang belum mereka kenal, terlebih jika orang-orang itu langsung menyebutkan kekerabatan mereka dengan si kembar.

"Kalau Om minta kamu untuk ajak mereka main ke rumah. Bisa?"

Mataku membulat seketika.

"Tapi Tante --"

"Kamu tenang aja, Nou. Tante Mariska nggak akan sejahat itu sama cucu-cucunya."

Aku menatap Om Rega lekat. Rasa takut masih lebih besar dibanding rasa percayaku. Aku nggak mau ada yang menyakiti Nira dan Kara. Mereka segalanya untukku. Selamanya.

"Om sendiri yang akan jamin. Om mau lihat cucu-cucu Om, Nou. Cucu-cucu Om yang baru Om ketahui keberadaannya."

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang