Makaizar Havasa.
Nama yang kami pilih untuk jagoan kecil kami, yang saat ini baru saja selesai diadzankan oleh Mas Angkasa. Sudah ketiga kalinya aku melihat momen ini, pertama saat Mas Angkasa mengadzankan Nira, kedua saat mengadzankan Kara, dan kini mengadzankan Maka. Walau sudah melihat momen seperti ini sebelumnya, air mataku tetap menetes begitu melihat momen yang sangat indah ini.
Maka lahir tepat pukul empat pagi. Jujur aku tidak menyangka proses kelahiran Maka akan secepat ini. Satu minggu lebih cepat dari hari perkiraan lahir dan tidak memerlukan waktu lama sejak awal kontraksi sampai akhirnya dia lahir ke dunia ini. Mas Angkasa setia menemaniku dan tidak meninggalkanku sedetik pun sejak kami tiba di rumah sakit. Tangannya yang dingin selalu menggenggam erat tanganku. Air matanya mengalir seiring dengan tangisan pertama Maka di dunia. Entah sudah berapa banyak kata terima kasih yang terucap darinya untukku yang sudah kuat melewati kesakitan yang luar biasa ini.
"I love you so much, Noushavarina."
Dan entah sudah berapa banyak aku mendengar kata-kata sakral itu juga darinya.
"Yang, kamu mau makan sesuatu?" tanya Mas Angkasa setelah meletakkan Maka kembali ke boxnya dan dibawa oleh perawat ke ruang bayi sebelum nanti bisa bergabung bersamaku di ruang perawatanku.
Aku menggeleng, "nanti aja Yang kalau sudah di ruangan. Kamu mau pulang dulu kan bawa ari-ari Maka?"
"Iya. Nanti kamu sama Bunda dulu ya. Aku pulang sebentar sekalian ngurusin si kembar sekolah. Habis itu baru ke sini lagi. Nggak apa-apa kan?"
Kali ini aku mengangguk, "mereka pasti nanti drama nggak mau sekolah dan maunya ke sini aja."
"Gampang nanti kalau aku bilangin, mereka pasti mau nurut sama Papasa. Biar nanti pulang sekolah aja mereka baru ke sini sama Ayah."
"Hm'mm." jawabku singkat.
"Bunda sudah kabarin Mama. Katanya mereka mau coba reschedule penerbangan jadi hari ini."
"Thank you, Bundaaa." ucapku tulus sambil menghapus air mata di ujung mataku.
Melahirkan ditemani dengan seorang ibu mertua, sempat ada dalam angan-anganku saat dulu aku hamil si kembar. Namun karena kondisi saat itu, membuatku harus melahirkan mereka tanpa kehadiran seorang ibu mertua dan hanya ditemani oleh Mas Angkasa dan Mbak Diandra. Seketika aku tertawa saat mengingat momen ini.
"Kamu kenapa tiba-tiba ketawa sendiri gitu, Yang?" tanya Mas Angkasa yang sedang bersiap pulang.
"Dulu pas aku ngelahirin si kembar, kamu nemenin aku sebagai pacarnya Mbak Didi. Sekarang kamu ada di sini, nemenin aku sebagai suamiku. Takdir kadang selucu ini ya?"
Bunda ikut tertawa, sedangkan Mas Angkasa berdecak pelan namun masih bisa kudengar.
"Mana tau yaa kalau beberapa tahun kemudian, ternyata kalian berjodoh." ucap Bunda disela tawanya.
"Yaa namanya juga takdir, Bun. Kita ndak ada yang tau." sahut Mas Angkasa. "Aku pulang dulu ya, Yang." sambungnya lalu menghampiriku dan mencium keningku.
Akupun mencium tangannya yang sudah menjadi kebiasaan kami semenjak kata sah menyatukan kami.
"Hati-hati ya, Mas."
Mas Angkasa mengangguk, "Angkasa pulang dulu ya, Bun. Titip istri dan anakku sebentar." ucapnya sambil mencium tangan Bunda.
"Hati-hati. Ayah suruh beli sarapan yang di depan komplek aja. Minta bantu Ayah juga buat ngubur ari-arinya."
"Aman lah itu, Bun. Nanti Angkasa yang beli sarapan sekalian jalan pulang. Jam segini pasti sudah banyak yang jual sarapan."
Benar juga, ini sudah jam lima pagi. Mas Angkasa lalu pergi meninggalkanku dan Bunda yang masih di ruang pemulihan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirankara
Short StorySetelah meninggalkan kota yang penuh romansa dan problematika masa mudanya selama bertahun-tahun, Nou memutuskan untuk kembali hidup di kota itu. Tak hanya sendiri, kini dia kembali bersama dua alasan terbesarnya untuk tetap kuat menjalani hari-hari...
