dua•puluh•tiga

195 44 21
                                    

Suara tangisan Nira dan Kara bergema ke seantero apartemen yang kini hanya kami tempati bertiga. Sudah setahun berlalu semenjak Mbak Diandra memutuskan untuk resign dari kantornya dan memilih berkarier di Amsterdam, meninggalkanku dan si kembar yang baru akan berusia dua tahun. Apakah ini karena kandasnya hubungan Mbak Didi dan Mas Angkasa yang sudah hampir setahun lalu? Entahlah. Pokoknya aku menghargai apapun keputusan Mbak Diandra untuk dirinya & kehidupannya.

"Aku cari tempat lain aja lah, Mbak." ucapku sore itu.

Mbak Diandra berdecak, "Ngapain? Udah di sini aja. Kamu sama anak-anak udah terbiasa dengan lingkungannya. Kalau pindah, kalian perlu adaptasi lagi lho. Lagipula akan repot pindahannya. Tetap tinggal di sini udah paling tepat lah, Nou."

Dan seperti yang kalian pikirkan, akhirnya aku dan anak-anak tetap menempati apartemen dengan tiga kamar yang mulanya kami tinggali berempat.

"Udah ya sayang nangisnya. Bobok yaa, anak-anak hebat Mima." ucapku sambil terus mencoba menenangkan Nira dan Kara yang masih menangis sesenggukkan.

Tangan kanan menggendong Nira dan ada Kara di sisi yang satunya. Salah satu hal yang sangat berat semenjak Mbak Diandra pergi adalah tidak ada lagi yang ikut membantuku mengurus anak-anak, terlebih jika mereka sedang mode tantrum atau sakit seperti saat ini.

Sudah tiga hari ini mereka demam. Hari pertama demam, aku sudah langsung membawa mereka ke rumah sakit untuk berobat, namun demamnya hanya reda sesaat setelah minum obat. Setelah beberapa saat, demamnya malah kembali lagi. Untung saja aku tidak harus pergi ke kantor untuk bekerja karena aku bisa menjalankan usahaku dari rumah sambil mengurus anak-anak.

Ting tong..

Suara bel mengalihkan perhatianku dari si kembar yang masih saja saling menangis bersautan. Aku langsung meletakkan mereka di atas kasur dan bergegas ke arah pintu. Air mataku tiba-tiba menetes begitu saja ketika melihat siapa sosok yang berada di luar, dari lubang kecil yang ada di pintu.

"Heii. Eh kok nangis?? Kamu kenapa???" tanyanya begitu aku membuka pintu.

Bukannya berhenti, air mataku malah mengalir semakin deras.

"Eh kok malah makin nangis? Itu kenapa juga kok anak-anak nangis? Lagi pada lomba nangis atau gimana?"

Laki-laki yang baru saja kubukakan pintu itu langsung masuk dan berjalan cepat ke arah kamar anak-anak. Sedangkan aku membuntutinya sambil mengusap air mata yang sudah membanjiri kedua pipiku.

"Hi, kiddos! Papasa here. Cup cup cup kenapa siih kesayangan-kesayangan Papasa kok nangis? Wait a minute ya. Papasa cuci tangan dulu."

Dia lalu bergegas keluar kamar dan menuju kamar mandi. Sesaat kemudian dia kembali muncul dengan rambutnya yang sedikit basah. Begitu melihat Papasa-nya, Nira dan Kara malah semakin menangis. Sepertinya saling berlomba ingin diperhatikan.

"Sini sini Papasa gendong yaa." tangannya lalu terulur untuk mengangkat Nira. "Ya ampun, kamu demam?" Tangannya lalu menyentuh pipi gembil Kara, "Kara juga demam? Yaudah sini-sini Papasa gendong barengan yaa, kanan kiri yaa. Cup cup cup."

Air mataku yang tadinya sudah mulai berhenti, langsung menetes lagi begitu melihat pemandangan di hadapanku ini.

"Kok kamu nggak bilang kalau mereka sakit?" tanya Mas Angkasa sambil menatapku lekat.

Tangisan Nira dan Kara perlahan sudah berhenti, tinggal menyisakan isakan-isakan mereka.

"Sudah berobat?"

Aku mengangguk.

"Sudah dari kapan demamnya?"

"Tiga harian."

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang