empat•puluh•tiga

409 47 18
                                        

"KAAAIIIIIII!!!!" seruan Langit menggema ke seantero rumah lalu disusul dengan suara tangisan Maka.

Bunda langsung memukul Langit yang baru saja masuk dan langsung duduk di sebelah Bunda.

"Aaww sakit, Bunda. Mentang-mentang abis dapat cucu baru, galak banget sama anak sendiri."

"Kamu tuh lagian dateng-dateng bukannya ngucap salam malah teriak-teriak." ucap Bunda diakhiri dengan jeweran di telinga Langit.

"Om Langit terlalu bersemangat dan tidak sabar untuk bertemu dengan keponakan baru kan, Bundaaa." jawab Langit sambil mengusap telinganya yang barusan dijewer Bunda.

"Kuping anak gue kebrisikan suara lo nih." Mas Angkasa muncul dari dalam dan langsung menepuk kepala Langit.

"Astaga ini lagi Bapak satu main geplak kepala orang aja. Kai, Papa sama Eyangti kamu bar-bar banget. Hati-hati ya, Kai. Tuh kan Kai liat tuh Papa kamu udah mau geplak Om Langit lagi tuh, Kai."

Mas Angkasa langsung menurunkan tangannya sambil mendengus kencang, lalu berdiri di sampingku yang sedang berusaha menenangkan Maka dari tangisnya. Tangannya yang tadi sudah siap memukul Langit, kini bergerak untuk mengambil alih Maka dariku. Begitu sudah dalam gendongan Papanya, tangis Maka perlahan berganti menjadi isakkan-isakkan pelan. Anak Papa banget bukan?

"Selamat yaa, mantan gebetan yang sekarang jadi kakak iparkuu." ucap Langit lalu memelukku dengan erat.

Mas Angkasa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan adik laki-lakinya ini. Begitupun dengan Bunda.

"Thank you for coming, Om Langit." ucapku sambil membalas pelukan Langit. "Nggak lupa bawa hadiah buat Maka dan Mimanya kan?" sambungku begitu pelukan kami terlepas.

"Wah jelas enggak dong. Masa iya Om Langit lupa bawa hadiah." jawab Langit sambil berjalan keluar.

Sesaat kemudian, Langit kembali masuk sambil membawa sebuah kotak berpita biru yang cukup besar.

"Sesuai janji Om Langit, nih buat Makaizar kesayangan Om Langit yang nomer tiga."

Langit meletakkan kotak besar bertuliskan Bugaboo Fox 5 di tengah ruang tamu.

"Ini kan baru carry cot and main seat, belum sama car seat-nya, Om Langit." ucapku diakhiri cengiran lima jari.

Langit menatapku sambil mencebikkan bibirnya. Lalu kembali berjalan keluar lagi.

"Nih nih full sepaket nih. Om Langit mah sayangnya nggak nanggung-nanggung kali." ucap Langit yang kali ini masuk sambil membawa kardus bergambar car seat. "Buat Mimanya kirim nomor rekening, nanti Om Langit transfer mentahnya biar bisa buat beli apa yang Mima mau."

"Wiih serius nih, Om Langit?" tanyaku dengan penuh semangat.

Langit mengangguk, "kayak nggak kenal sama Langit aja. Kapan sih Langit Megantara ini nggak serius kalo urusan ngasih hadiah?" ucapnya dengan penuh jumawa.

"Minta yang banyak, Yang. Dua digit." ucap Mas Angkasa.

"Ya nggak gitu juga dooong, Maass. Kok malah ngelunjak yaa Papa dan Mama baru ini." sahut Langit lalu mencebikkan bibirnya.

Bunda cuma geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua jagoannya.

"Eittss cuci tangan dulu sana. Enak aja lo belum cuci tangan tapi mau pegang-pegang Maka." ucap Mas Angkasa sambil menjauhkan Maka dari jangkauan tangan Langit yang sudah menggantung di udara, siap untuk menyentuh Maka yang masih digendongan Mas Angkasa.

"Astaga iya-iya Papasa iyaa." sahut Langit lalu berjalan ke arah belakang yang sudah pasti untuk cuci tangan sesuai titah Masnya.

---//---

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, aku selesai unboxing stroller dan car seat dari Langit.

"Naah bagian ngerakit, aku serahkan pada Papasa. Yang buruan rakitin ini, Yang. Aku udah nggak sabar mau taruh Maka di stroller mahal dari Om Langit ini." ucapku dengan menekankan kata mahal. Membuat Langit yang sedang menggendong Maka senyam-senyum dengan pongahnya.

"Sekalian lah Lang ini dirakitin. Biar nggak nanggung ngasihnya." Mas Angkasa malah menyuruh Langit, tapi aku tau kalau maksudnya cuma bercanda.

"Kan. Ngelunjak kan Kai Papamu. Om Langit bilang juga apa." ucap Langit pelan namun masih bisa kami dengar. "Ngomong-ngomong, bibir sama hidung kamu kok mirip sama Om Langit sih Kai?" sambung Langit sambil menatap Maka di gendongannya.

"Nggak usah ngada-ngada. Mana ada mirip sama lo. Enak aja." sahut Mas Angkasa sedikit ngegas.

Langit terbahak dan langsung mengecilkan tawanya begitu menyadari lagi-lagi Maka kaget karena suaranya.

"Ya kan kita adek kakak sih. Jadi wajar dong kalo ada yang mirip antara Kai sama gue. Genetik cuuy."

Iya juga sih. Aku baru engeh kalau bentuk hidung dan bibir antara Mas Angkasa dan Langit itu serupa. Aku langsung menengok ke arah Bunda dan memperhatikan Bunda. Ooh turunan dari Bunda ternyata.

"Biarpun orang-orang panggil kamu Maka, tapi panggilan sayang dari Om Langit buat kamu itu Kai. Biar beda sendiri." sambung Langit kemudian.

Kai sounds good too. Jadi biarlah, suka-sukanya Om Langit aja. Mas Angkasa lantas duduk di lantai dan membaca manual book stroller yang akan dirakitnya.

"Lang serius sini bantuin biar cepet. Maka kan tidur, biar ditaruh di kamar sama Nou. Jangan digendong terus, nanti bau tangan. Kasian Nou nanti kalau sampai Maka bau tangan dan udah nggak ada bala bantuan lagi."

"Paling bisa emang bapak-bapak anak tiga."

Langit lalu menyerahkan Maka yang sudah terlelap kepadaku. Aku pun langsung masuk ke kamar dan meletakkan Maka di kasur.

"Pakeeet!"

Terdengar suara teriakan kurir paket dari luar lalu disusul suara Mas Angkasa. Setelah memastikan posisi Maka aman, aku kembali keluar kamar dan duduk di samping Bunda yang sedang asyik menonton televisi. Mas Angkasa sibuk dengan bagian-bagian stroller yang sedang dirakitnya sedangkan Langit sepertinya keluar untuk ambil paket.

"Kamu ada pesan apa, Yang?" tanya Mas Angkasa.

Aku berpikir sejenak, "kayaknya nggak ada pesan apa-apa deh. Kamu kali yang beli sesuatu?" aku bertanya balik.

"Enggak juga."

Baru Mas Angkasa menutup mulutnya, Langit muncul sambil mendorong satu kotak besar bertuliskan 4Moms Mamaroo.

"Dari mantan kamu nih, Nou."

Hah?? Aku langsung melirik Mas Angkasa yang ternyata sedang menatap tajam ke arahku.

"Kalau kayak gini, kira-kira nanti Kai manggilnya Om atau Papa Akis ya?" sambung Langit dengan entengnya.

Responku? Ya langsung pura-pura nggak dengar lah..

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang