dua•belas

421 58 18
                                    

"Mima, jadi kita beneran mau ketemu Papa Akis?"

"Iya, Karallen. Kan Mima sama Pakde udah bilang daritadi. Kenapa nanya lagi sih?" gerutu Nira.

"Comel banget sih ponakan Pakde yang satu ini."

Saat ini, kami sedang menuju rumah yang katanya sudah Akis persiapkan untukku dan si kembar. Belum sepenuhnya rampung, tapi Akis sudah ingin menunjukkannya. Katanya sebagai bukti kalau dia tidak main-main dan benar bersungguh-sungguh.

Kulihat Bang Adry melirik spion tengah.

"To be honest, Abang nggak sekesal itu sama dia. Kepergian kamu pure karena Mamanya. Abang juga liat sendiri, gimana dulu Akis berusaha cari kamu yang hilang gitu aja."

"Tapi?"

"Abang nggak suka karena dia nggak setegas yang Abang harapkan."

"Maksud, Bang Adry?"

Bang Adry kembali melirik spion tengah, membuatku ikut menengok ke belakang. Nira dan Kara sudah asik dengan iPadnya masing-masing. Headphone mereka juga terpasang di masing-masing kepala dan telinga mereka.

"Kalau dia memang secinta itu sama kamu, seharusnya dia bisa menolak perjodohan itu. Seharusnya dia nggak nyerah semudah itu. Balas budi my ass." ucap Bang Adry kesal.

Aku lalu menghela nafasku berat.

"Mungkin dia merasa itu jadi tanggung jawab dia secara nggak langsung, Bang. Karena dia kan anak laki-laki dikeluarga mereka. Kak Maureen jelas nggak mungkin dibebankan urusan itu. Laki-laki memang yang harus bertanggung jawab bukan?"

Bang Adry mengedikkan kedua bahunya, "Sama kamupun harusnya tanggung jawabnya dari dulu. Bukan malah kamu disuruh pergi gitu." Gumamnya pelan namun masih bisa terdengar olehku.

"Do you still in love with him? Do you?" Tanya Bang Adry setelah beberapa saat kami sama-sama terdiam.

Aku mencoba meraba hatiku kembali. Apakah rasa itu benar-benar masih ada untuknya? Apakah debaran untuknya itu masih ada? Ataukah itu hanya sekadar euphoriaku karena akhirnya bertemu kembali dengan sosoknya? Laki-laki yang sempat kupuja dan kucinta dimasa lalu.

"Terlepas dari apapun yang kamu rasakan buat dia, kamu harus lihat ke depan, Nou. Ada si kembar. Masa depanmu juga masih terbentang luas. He's a married guy now. Apapun alasannya menikahi perempuan itu, tetap nggak merubah statusnya yang sudah menjadi suami orang lain."

Sesak. Dadaku sedikit sesak. Apakah aku benar-benar masih mengharapkannya?

"Yang harus kamu lakukan hanya terima masa lalu kamu. Untuk apapun itu, ikhlaskan. Dengan begitu, kamu bisa membuka lebar pintu hati kamu. Nggak setengah-setengah kayak sekarang ini."

"Maksud, Abang?"

Bang Adry tersenyum samar sambil melirikku singkat.

"Abang kan sudah bilang, kamu itu sebenarnya naksir Langit. Iya kan?"

Aku hanya diam. Tak ingin menjawab.

"Diam berarti iya." Putus Bang Adry cepat. "And then, coba kamu pikir. Kenapa kamu sama Langit terjebak disituasi kayak gini sampai sekarang? Abang bisa lihat dengan jelas kalau Langit benar-benar cinta kamu. He's so into you."

Lagi-lagi aku hanya bisa diam.

"Jawabannya cuma satu. Yang tadi sudah Abang bilang. Kamu masih setengah hati membuka hati. Setengah lagi masih tertutup dengan masa lalumu dan Akis."

Aku mengela nafas pasrah. Bang Adry pun tak melanjutkan obrolan ini lagi. Memilih fokus di balik kemudi. Sedangkan aku, lagi-lagi kembali meraba hatiku..

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang