"Nou, ponsel kamu bunyi nih. Ada telepon." teriak Mas Angkasa dari ruang tv.
"Dari siapa, Mas?" tanyaku sambil sedikit berteriak juga karena saat ini aku sedang di dapur.
"Entah. Nggak ada nama."
"Coba tolong angkatin dulu. Aku lagi nanggung." ucapku sambil memotong daun bawang.
Lalu untuk beberapa saat, aku hanya mendengar sayup-sayup suara dari sana.
"Aira nih, Nou. Kamu ada teman namanya Aira? Atau ini klien kamu?" tanya Mas Angkasa yang kini sudah muncul di hadapanku sambil mengulurkan ponselku yang sedang dibisukan.
Aira?
Aira?
Deg!
Gerakan tanganku otomatis terhenti. Dengan tatapan ragu, aku mengambil ponselku dari tangan Mas Angkasa.
"Thank you, Mas."
Mas Angkasa lalu kembali ke depan. Sedangkan aku beringsut ke sisi pojok dapur. Tak lupa mengecilkan dulu api kompor.
Dengan perlahan, aku mengatur nafasku.
"Halo." ucapku pada akhirnya.
"Noushavarina?"
"Hhmm."
"Ini Aira. Istri Akis. Bisa kita ketemu?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Kapan?"
"Besok pagi jam sepuluh. Bisa?"
"Di mana?"
"Sisikosong Kopi. Nanti saya share lokasinya."
Aku berpikir sejenak. Haruskah kami bertemu?
"Okay. Nanti saya kabari lagi ya." Jawabku pada akhirnya.
Panggilan lalu terputus. Aku meletakkan ponselku di meja dapur dan mengamatinya untuk sesaat. Ada rasa enggan untuk bertemu. Tapi cepat atau lambat, kami pasti akan mengetahui satu sama lain.
Akupun kembali fokus memasak makan malam kami. Soto ayam favorit si kembar dan juga Mas Angkasa. Oh dan jangan lupakan Om Langit kesayangan Nirankara yang juga suka sekali dengan soto buatanku.
--
"Habis ini langsung cek dan rapikan buku untuk sekolah besok ya, Nak."
"Siap, Mima." sahut Nirankara kompak.
"Papasa, besok bisa antar aku sama Kara kan?"
"Bisa doong. Besok Papasa antar kalian."
"Yeaayy!"
"Papasa pulang kapan?" Kali ini Kara yang bertanya.
"Lusa."
"Yaah kok cepet banget sih, Papasa? Nggak bisa lebih lama lagi di sini?"
"Papasa kan harus kerja, Nira sayang. Kalau Papasa di sini, gimana Papasa kerjanya?" Aku ikut bersuara.
"Di Halim dong, Mima. Kan itu sama." jawab Kara.
Aku dan Mas Angkasa sontak tertawa pelan.
"Beda dong, Allen. Base Papasa kan di Malang. Jadi nggak bisa kerja dari Halim. Di Halim itu khusus untuk pesawat logistik dan pesawat penumpang VIP atau VVIP. Papasa kan bawanya pesawat tempur."
"Yaaah kalau gitu Papasa nggak pernah bisa pindah ke sini dong."
"Kalau dibalik gimana? Kalian yang pindah ke Malang."
"Mas Angkasa ini lhoo. Nanti mereka beneran malak aku pindah ke sana."
Mas Angkasa lalu tertawa, "Sudah sudah, kita lanjut makan dulu. Nanti kemaleman."
Kamipun kembali fokus dengan makanan kami masing-masing. Mereka makan sampai nambah-nambah kalau aku sudah masak soto ayam dan perkedel kayak gini.
"Terima kasih makan malamnya, Mima." ucap Kara setelah menyelesaikan makannya.
"Soto dan perkedel Mima is the best!" seru Nira yang baru saja menyelesaikan suapan terakhirnya.
"Sama-sama, kesayangan Mimaa. Dah sana siapin yang buat besok sekolah."
Mereka langsung meninggalkan meja makan. Meninggalkan aku dan Mas Angkasa berdua.
"Jadi lagi ada masalah apa, Nou?"
"Hm?"
Mas Angkasa terkekeh pelan, "Kamu tuh keliatan kalo lagi ada yang dipikirin. Setelah terima telepon tadi, kamu langsung beda."
Gantian kini aku yang terkekeh. Sebelum kembali bersuara, aku menghela nafasku dalam.
"Aira itu..." Aku menggantungkan ucapanku untuk sesaat. "Istri Akis."
Kulihat Mas Angkasa menatapku dengan ekspresi terkejutnya.
"Ngajak ketemu besok." sambungku.
"Terus kamu sanggupi?"
Aku mengangguk lemah, "Aku bilang nanti kukabari lagi."
Aku menghela nafasku lagi.
"Besok jam berapa?" tanya Mas Angkasa setelah beberapa saat kami sama-sama terdiam.
"Jam sepuluh, Mas."
Mas Angkasa lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku antar sehabis antar si Kembar sekolah. Tenang aja, nanti aku pisah meja atau aku tunggu di mobil juga nggak masalah."
"Nggak akan ada drama mandi kopi kan ya, Mas?" Ucapku diakhiri ringisan.
Mas Angkasa tertawa ringan, "Itulah gunanya besok aku temani. Kalau kamu nggak berani bales, nanti aku yang wakilkan."
Kamipun jadi tertawa bersama.
"Aku tau hal kayak gini sangat mungkin terjadi begitu aku memutuskan kembali ke sini. Tapi tetap aja rasanya aku khawatir juga, Mas."
Lagi-lagi aku menghela nafasku.
"We're all in this together. Okay?" ucap Mas Angkasa sambil menatapku lekat.
Sambil menghembuskan nafas, aku menganggukkan kepalaku.
"You're not alone, Nou. Kamu sudah berhasil bertahan sejauh ini. Aku yakin, kamu pasti bisa bertahan sampai akhir kalau kamu mau."
"Thank you so much, Mas Angkasa. This means a lot to me and kiddos."
Mas Angkasa hanya tersenyum penuh arti.
"Tapi Nou, sebenernya kamu masih ada rasa nggak sih sama Akis? Sekecil apapun rasa itu."
Dan untuk pertanyaan yang satu ini, aku hanya menjawabnya dengan mengangkat kedua bahuku.
"Dulu dia menjadi salah satu orang yang sangat berarti buatku. Sampai-sampai rasanya, aku nggak bisa jika suatu hari harus hidup tanpanya. Tapi setelah semua ini, setelah ternyata aku bisa bertahan hidup tanpanya selama ini, dan bahkan aku pun bisa menghidupi kedua anakku dengan layak, setidaknya menurutku. Rasanya semua rasaku untuknya sudah berubah, Mas. Entahlah."
Lalu kemudian, Mas Angkasa hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil (lagi-lagi) tersenyum penuh arti padaku.
Sungguh. Jantungku masih berdegup lebih cepat saat bertemu dengannya. Tapi rasanya, semua sudah berbeda. Rasanya sudah tidak "segila" dulu. Rasanya sudah tidak lagi sama.
![](https://img.wattpad.com/cover/277791050-288-k890684.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirankara
NouvellesSetelah meninggalkan kota yang penuh romansa dan problematika masa mudanya selama bertahun-tahun, Nou memutuskan untuk kembali hidup di kota itu. Tak hanya sendiri, kini dia kembali bersama dua alasan terbesarnya untuk tetap kuat menjalani hari-hari...