dua•puluh•satu

175 44 8
                                    

"Noushava?"

Suara seorang perempuan mengalihkan perhatianku dari Nira dan Kara yang sedang asyik bermain pasir bersama Danila juga Raka.

"Mmm Nuansa bukan sih?" tanyaku sambil memperhatikan perempuan cantik di hadapanku.

Aku lantas berdiri. Perempuan dengan rambut panjang berwarna pink, toska, dan ungu ini mengangguk dengan semangat. Bahkan ekspresi wajahnya sangat sumringah. Nuansa langsung memelukku dengan erat.

"Akhirnya ketemu juga sama kamu." ucapku begitu kami saling melepaskan pelukan.

"Iya lagian si Langit tuh sok privasi banget deh sebel. Padahal kan aku juga mau temenan sama kamu. Gemas banget pula sama si kembar. Oh iya kamu sendiri? Anak-anak mana?"

Aku menunjuk ke arah anak-anak, "Tuh lagi pada main sama sepupu-sepupunya."

Kami lantas duduk di kursi pantai yang tadi aku gunakkan untuk bersantai sambil terus mengamati anak-anak.

"Ya ampuun udah pada besar yaa, Nou."

"Banget. Kayaknya baru kemarin aku masih kebingungan harus gendong yang mana dulu kalau mereka lagi kompak nangis. Kamu lagi liburan atau gimana, Sa?"

"Kerja sambil liburan. Biasalah ada proyek di sini, Nou. Jadi sekalian ajalah aku liburan."

"Sendiri atau ada sama teman kantor?"

"Sendiri. Eh enggak deng. Sama ayang tuh." jawab Nuansa sambil menunjuk seorang laki-laki di area bar.

"Is he okay with you and Langit?"

Nuansa mengangguk. Nuansa dan Langit sudah seperti anak kembar. Mereka sudah bersahabat sejak kecil karena Tante Mega dan Mama Nuansa yang juga bersahabat. Jadi siapapun pasangan mereka, harus bisa menerima persahabatan Nuansa Langit yang sudah sangat melekat sejak dini itu.

"Tapi ada yang lebih penting untuk kita bahas. Kamu gimana sih Nou sama Langit? Please deh jangan gantungin itu anak lama-lama. Aku takut dia mati saking kelamaan kamu gantung."

Aku tertawa pelan. Karakter Nuansa ini memang ceplas-ceplos. Sering membuatku tertawa sambil geleng-geleng kepala setiap mendengar cerita tentangnya dari Langit.

"Bukannya Langit itu playboy ya?"

"Ya itu lah karena kamu gantungin dia, Nou. Jadinya yang dasarnya udah blangsak, jadi makin blangsak." Nuansa menyesap minuman di tangannya. "Kamu tau nggak sih kalau dia itu sering dijodohin sama Tante Mega?"

Kali ini mataku membulat seketika. Bagaimana bisa aku melewatkan hal yang satu ini?

"Tante Mega tuh sebenernya santai banget sama urusan percintaan anak-anaknya. Selama anak-anaknya lurus, dia pasti oke-oke aja. Cumaaa kayaknya Tante Mega udah mulai geregetan sama dua jagoannya. Mas Angkasa masih sendiri. Langit juga samanya. Jadilah Tante Mega sedikit usaha buat jodoh-jodohin anaknya." jelas Nuansa.

"Mas Angkasa juga?" tanyaku.

Nuansa mengedikkan kedua bahunya, "Aku kurang tau kalau Mas Angkasa. Yang aku tau cuma si Langit. Itupun karena aku yang jadi juru selamatnya."

"Juru selamat?"

"Iya. Jadi pacar bayarannya Langit buat mengusir cewe-cewe yang dijodohin sama dia. Walaupun jengah, tapi lumayan juga sih bayarannya buat aku jajan skin care atau healing ke mana-mana. Tapi ya Nou, aku malah jadi penasaran deh."

"About what?"

"You, Langit, and Mas Angkasa. Jangan-jangan, kamu gantungin Langit karena kamu sukanya sama Mas Angkasa ya?? Cuma kamu bingung gimana bilangnya, jadi ya gini deh."

Kali ini aku tertawa lagi.

"Aku cuma masih ngerasa nggak pantas buat Langit ataupun Mas Angkasa. Masa laluku nggak okay, Sa. Aku nggak PD."

Nuansa menepuk pundakku, "Mereka aja nggak mempermasalahkan itu, Nou. Kenapa malah jadi kamu yang minder duluan gini sih? Tante Mega sama Om Dirga pun nggak masalah kan? Secara aku suka denger mereka ngetawain Langit yang masih belum bisa dapet big yes dari kamu. Mereka juga baik ke kamu sama si kembar."

Gantian aku yang mengedikkan kedua bahuku.

"Tapi nggak apa juga sih. Nggak ada tuntutan kita harus settle downnya kapan. Terserah kitanya aja. Hidup-hidup kita pula kan. Aku seneng juga sih ngeliat Langit uring-uringan karena kamu. Langit bukan biru itu berhak untuk kamu siksa sepuasnya, Noushavarina. Tapi sebagai sahabat Langit sejak dalam kandungan, jangan lama-lama gantungnya lah ya. Aku takut sahabat brengsekku itu mati beneran saking kamu gantung kelamaan, Nou. Nggak yang langsung nikah juga, seenggaknya kasih dia kepastian kalau kamu suka sama dia atau enggak."

Aku cuma diam. Tak tau harus menjawab apa.

"By the way, kamu masih lama kan di Bali? Next time kita harus double date ya, Nou. Besok kayaknya si Langit gelap itu libur deh. Kita jalan-jalan bareng okay? Ajak si kembar boleh, nggak diajak juga nggak apa-apa. Terserah kalian aja. Okay?"

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Btw lagi, laki-laki yang lagi ada di dekat anak-anak itu Akis yang penyanyi itu bukan sih?"

Lagi aku mengangguk.

"Kok bisa dia deket sama keluarga kamu? Dia saudara kamu???"

Kali ini aku menggeleng. Untuk hal ini, Nuansa memang belum tahu siapa Ayah dari si kembar yang sebenarnya. Baru aku mau membuka mulut, Nuansa beranjak dari duduknya.

"Eh nanti kita sambung lagi ya, Nou. Aku udah harus pergi nih. Salam yaa buat si kembar dari Onty Sa."

Aku lantas ikut berdiri dan langsung memeluknya, "Okay, Sa. Nanti aku sampaikan salamnya ke Nirankara. Take care yaa, Nuansa."

---

Akis dan keluarga sedang berlibur di Pulau Dewata.

Akis dan anak kembarnya.

Akis dan keluarga yang akhirnya go public.

Anak kembar yang sangat mirip dengan sang Ayah.

Kepalaku berdenyut nyeri setiap membaca tulisan-tulisan itu di media sosial maupun melihatnya di tayangan infotainment di televisi. Kualihkan pandanganku pada si kembar yang sedang asyik melukis bersama Papaku.

"Are you okay, Nou? Kamu beneran baik-baik aja?" tanya Mama sambil mengulurkan secangkir teh hangat padaku.

"Thank you, Mam. I'm good." jawabku sambil mengambil secangkir teh dan berusaha menyunggingkan senyumku untuk Mama.

"Udah nggak usah buka-buka medsos dulu. Nggak usah liat-liat acara gosip juga." sambung Mama.

"Aku cuma takut ini berefek ke anak-anak, Mam."

"Nggak usah mikir yang aneh-aneh gitu. Pikirin yang baik-baiknya aja. Sekarang kita full dampingin mereka. They will be fine."

Aku cuma mengangguk dengan penuh harap anak-anak akan baik-baik saja.

"Respon Akis gimana?" tanya Mama kemudian.

"Murka. Kata Kak Maureen, dia lagi ngomel-ngomel ke banyak orang, minta agensinya bisa take down semua berita-berita itu."

Fokus kami tiba-tiba beralih ke suara pintu gerbang yang terbuka. Nira dan Kara langsung berdiri dan mengintip dari jendela. Lalu sesaat kemudian langsung membuka pintu dan berlari keluar. Aku, Mama, dan Papa saling bertukar pandang kemudian sama-sama berdiri dan melangkah ke arah pintu.

"Miss you so much, Papasaaa." suara cempreng Nira terdengar walau jarak kami cukup jauh.

"Sama Om Langit enggak nih?"

"Ya sama dong, Om Langit. Nira miss you so much too."

Setelah kejadian kemarin, akhirnya air mataku menetes juga begitu melihat pemandangan di hadapanku saat ini. Dan tanpa bisa kucegah, air mataku semakin mengalir begitu Langit dan Mas Angkasa dengan kompak menatap ke arahku.

Tuhan, terima kasih sudah menghadirkan dua laki-laki hebat ini dalam hidupku..

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang