dua•puluh•lima

185 35 9
                                    

"Nou, ada Akis." ucap Mama yang hanya melongokkan kepalanya ke dalam kamarku.

"Hah?"

Aku langsung menutup macbookku dan bergegas keluar kamar. Serius dia ke sini?

Kulihat Mas Angkasa dan Langit duduk di kursi meja makan. Mama sibuk di dapur. Sedangkan Nira dan Kara menonton televisi bersama Akis. Papa? Sudah ke bengkel sejak pagi tadi. Sambil berjalan menghampiri Akis dan anak-anak, aku sempat bertukar tatap dengan Mas Angkasa dan juga Langit.

"Hai." sapa Akis pertama kali.

"Hai."

"Mima lihat itu Sky favorit kamu kan?" ucap Nira sambil tetap fokus menonton Paw Patrol.

"Iya, sayang." jawabku lalu melirik ke arah meja makan.

"Ada Everest juga, Mima!" seru Kara.

"Aku kangen anak-anak, makanya ke sini." ucap Akis setelah beberapa saat kami sama-sama terdiam.

Aku cuma diam, tidak menanggapi ucapannya.

"Kenapa kamu nggak jawab telepon ataupun pesanku?" tanya Akis.

"Biar kamu fokus menyelesaikan apa yang perlu kamu selesaikan."

Akis menghembuskan nafasnya lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.

"Agensiku sudah berusaha semampunya. Tapi maaf, berita itu belum bisa hilang sepenuhnya." ucapnya pelan.

"You okay?" tanyaku.

Penampilan Akis cukup berantakan. Kantung matanya membesar dan juga ada bayangan hitam di bawah matanya.

"Hmm." jawabnya pelan. "Kita ngobrol di depan atau di belakang boleh? Supaya anak-anak nggak dengar obrolan kita."

Aku mengangguk lalu berjalan ke teras belakang, melewati Mas Angkasa, Langit, dan juga Mama.

"Apa rencanamu selanjutnya?" tanyaku sambil berjalan ke arah paviliun.

Akis mengedikkan kedua bahunya.

"Aku nggak mau anak-anak kena dampak yang lebih dari ini. Mereka sudah diam di dalam rumah sejak hari itu."

"Akupun nggak mau demikian, Hava."

"Tapi berita di luar sana masih cukup santer, Akis. Bahkan spekulasinya semakin nggak karuan. Nira dan Kara anakmu dan Aira. Sedangkan Raka malah sama sekali nggak muncul."

"Aku mau mengakui kalau Nira dan Kara adalah anakku dan kamu."

"You crazy?!"

Akis menggeleng, "Aku nggak rela anak-anakku dan kamu diketahui sebagai anakku dan Aira, Va."

"Nggak bisa kah kamu mengelak dan bilang anak-anak bukan anakmu?"

"Dan akan menyakiti hati Nira dan Kara juga kamu?"

Aku dan Akis kompak menghela nafas kami.

"Nou, minum Akis di sini ya!" seru Mama sambil meletakkan segelas minuman di atas meja teras.

"Suksma, Mam."

"Lantas harus gimana, Kis? Kalau kamu mengakui kami, anak-anak bisa denger omongan-omongan yang nggak enak."

"Contohnya?"

"Anak haram? Anak diluar nikah? Parahnya anak hasil perselingkuhan kamu."

Akis menatapku garang, "Pemikiranmu itu kenapa sampai ke sana sih? Jelas-jelas kamu bukan selingkuhanku."

"They don't know about us. Mereka nggak tahu cerita kita, Akis. Yang mereka tahu, kamu hanya menjalin hubungan dengan Aira, istrimu."

"Aku bisa bilang sebelum aku terkenal, aku sudah pernah menikah sama kamu lalu kita bercerai kan, Va?"

Aku menghembuskan nafasku lagi.

"Nggak ada opsi lain yang nggak melibatkanku dan anak-anak kah? Nggak bisa kamu tutupin berita ini dengan topik yang lainnya? Rencana konser-konsermu? Lagu-lagu barumu?"

"Pasti tetap akan ada pertanyaan tentang liburanku dan keluargaku, Hava."

"Dengan kamu dan keluarga kamu yang lainnya mengetahui adanya anak-anak, itu sudah lebih dari cukup buatku, Kis. Aku nggak butuh validasi publik untuk anak-anakku. Aku mau menjaga mereka. Duniamu terlalu kejam."

"Kalau aku berhenti dari pekerjaan ini, gimana menurutmu?"

"Kamu serius? Ini cita-citamu. Kamu rela melepaskan cita-cita yang sudah susah payah kamu gapai?"

"Kalau untuk anak-anak kita, iya aku rela. Sangat. Asalkan aku bisa menghabiskan sisa hidupku bersama kamu dan anak-anak, aku rela melepas semua apa yang sudah aku capai sampai sejauh ini."

"Lantas apa yang sudah kulakukan untukmu bertahun-tahun lalu jadi sia-sia. Aku memilih pergi supaya kamu bisa menggapai mimpimu, Akis."

"Lantas aku harus jadi sosok yang lagi-lagi egois dalam cerita ini? Kamu pikir, aku akan rela kalau aku harus melepaskan kamu dan anak-anak untuk kedua kalinya? Not again, Hava. Cukup dulu aku melewatkanmu dan anak-anak. Sekarang nggak lagi."

"Kamu nggak mikirin apa yang akan terjadi sama Mama mu kalau kamu melepaskan cita-cita dan keluargamu demi aku dan anak-anak?"

"Shit! Damn it!" ucap Akis sambil mengacak rambutnya.

"Sampai kapan Va aku harus hidup mengikuti apa kata orang lain? Sampai kapan aku nggak bisa menentukan jalan hidupku sendiri? Kehilanganmu dulu sudah hampir membunuhku, Hava. Aku bisa benar-benar mati kalau sekarang harus kehilangan kamu dan anak-anak."

Kulihat mata Akis digenangi air mata yang sudah siap menetes.

"Nggak bisakah aku hidup dengan pilihanku sendiri?" sambungnya.

Air mata itu akhirnya menetes dari sepasang mata yang menatap tepat di manik mataku. Akis langsung mengusap matanya dengan cepat lalu memelukku dengan erat.

"Aku nggak mau kehilanganmu untuk kedua kalinya. Ayo kita menikah dan hidup jauh dari sini. Just you, me, and kiddos. Can't we?" ucapnya diakhiri dengan isakkan pelan. Lalu tangannya yang sedang memelukku, semakin memelukku dengan erat.

Sedangkan aku, hanya bisa terpaku sambil menatap sepasang mata yang sedang menatapku dari pintu rumah utama. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang