tiga•puluh•delapan

128 26 5
                                    

Aku terbangun begitu mendengar suara-suara dari luar kamar dan sedikit terkejut begitu menyadari ada sebuah lengan yang melingkar di pinggangku. Dengan perlahan, aku berusaha menggeser lengan yang mungkin semalaman tadi terus memelukku. Baru berhasil sedikit tergeser, lengan ini malah kembali memelukku dengan erat.

"Selamat pagi, Nyonya Angkasa." ucap Mas Angkasa dengan suara paraunya.

"Selamat pagi, Mas Suami." jawabku sambil membalik badanku agar menghadapnya.

"Finally I can call you Nyonya Angkasa. Proud to call you my wife." ucapnya lagi sambil semakin menarikku ke dalam pelukannya.

"And I'm so proud and so lucky to be Nyonya Angkasa Megantara. Terima kasih yaa Mas Angkasa sudah menjadikan aku istrimu." ucapku tak mau kalah sambil mengeratkan pelukanku di badannya.

"Masih pagi. Kamu mau ke mana?" tanya Mas Angkasa masih sambil memelukku.

"Mau bangun terus keluar kamar. Kayaknya yang lain sudah pada bangun, aku nggak enak kalau bangun telat, Mas."

"Mereka pasti memahami kalau kali ini kamu bangun telat."

Aku refleks menggigit dadanya pelan.

"Aww. Sudah berani gigit-gigit nih ya sekarang?"

"Nggak tau ah. Kamu rese. Lepasin dulu aku mau bangun, Mas."

Akhirnya Mas Angkasa melepaskan pelukannya dari badanku.

"Itu paling Ayah pulang subuhan dari masjid, Yang." ucap Mas Angkasa sambil mengulet. Kalian pasti tau kan mengulet itu apa?

Walau kami sudah saling memanggil Yang atau Sayang sejak kami memutuskan untuk menikah, tapi tetap saja jantungku berdegup cepat setiap mendengar Mas Angkasa memanggilku dengan panggilan yang satu ini.

"Maka dari itu ayo kita juga bangun buat subuhan, Mas."

Tiba-tiba Mas Angkasa langsung beranjak dari tempat tidur.

"Ayo Yang kita jama'ah. Ini jama'ah Subuh pertama kita loh sebagai suami istri. Jangan sampai kita lewatin." ucapnya sambil berjalan dengan cepat ke arah pintu kamar.

Kalian lihat kan? How lucky I am to be his wife..

---//---

"Eh Masku dan kakak iparku kok rambutnya nggak basah sih pagi-pagi gini? Atau sudah sempet ngeringin rambut pakai hairdryer ya sebelum keluar kamar?"

Tanpa kusebutkan siapa yang baru saja bersuara, kalian pasti sudah tahu dia siapa. Dia berjalan dengan santai dan duduk di salah satu sofa di seberangku dan Mas Angkasa.

"Mas bukan kamu ya Lang yang nggak bisa mengontrol diri untuk hal yang satu itu."

"Ooh berarti 'belum' dong nih. Udah capek duluan sih ya Mas seharian acara. Faktor u emang nggak bisa dibohongin, Nou. Sabar aja ya."

Mas Angkasa langsung melempar bantal sofa ke arah Langit, "sialan lo ya bawa-bawa umur."

Langit langsung terbahak sambil mengambil bantal yang tadi dilempar Mas Angkasa ke arahnya.

"Kamu tuh ya kalau ngomong yang bener jangan nggak sopan gitu." ucap Bunda sambil menjewer telinga Langit.

"Aaww aww aaww ampun Bunda sakit sakit, Bun. Ya Allah."

Langit lalu mengusap-usap telinganya yang baru saja lepas dari jeweran Bunda.

"Si kembar masih belum bangun, Nou?" tanya Mama yang baru saja keluar dari arah dapur.

"Belum, Tante. Kalau dikelonin sama Om Langit mah dijamin pada pules dan bangun siang deh mereka saking kepulesan." Langit langsung menjawab pertanyaan Mama.

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang