e•nam

656 110 8
                                    

Mataku menatap ramainya jalan yang ada di sampingku. Sedangkan otakku masih berkecamuk, sudah benarkah pilihanku ini?

"Apa yang kamu pilih ini sudah tepat, Nou. Sekarang atau nanti sama aja. Karena Xena dan Allen memang berhak tau tentang hal ini."

Aku menolehkan kepalaku ke arah Langit yang ada di balik kemudi. Lalu melirik Nira dan Kara yang duduk dengan santai di kursi belakang, sedang asik dengan iPadnya masing-masing.

Aku menghela nafasku berat, "Aku berharap, semoga nggak ada yang berubah setelah ini."

"Dan aku berharap, semua yang paling terbaik untuk kalian. Apapun." sahut Langit sambil menggenggam tanganku erat. Dia melirikku dan anak-anak bergantian.

"Tenang aja. Aku dan Mas Angkasa selalu ada untuk kalian. Kalau mereka aneh-aneh, aku sama Mas Angkasa bakal maju yang paling depan." imbuhnya.

Aku lantas terkekeh pelan, "Semoga aja nggak sampai drama gitu sih. Makin banyak aja nanti utang budiku sama kalian."

Langit langsung melirikku tajam. Kalau lagi seperti ini, Langit sangat mirip dengan Mas Angkasa.

"Iya-iya maaf yaa Om Langit kesayangannya Nirankara." ucapku kemudian.

Mereka memang paling tidak suka kalau aku menyebut-nyebut perihal hutang budi. Sungguh aku sangat bersyukur pada Tuhan karena sudah mengirimkan orang-orang sebaik dan setulus mereka untukku dan anak-anak.

"Ini rumahnya yang mana? Sudah di blok A nih." tanya Langit.

Aku langsung melihat ke sekitar. Benar saja, kami sudah memasuki kawasan perumahan Om Rega dan Tante Mariska.

"Itu yang paling pojok sebelah kanan." jawabku sambil menunjuk sebuah rumah besar berpagar tinggi warna hitam. "Parkir di depannya situ aja." sambungku.

"Siap, Madam."

Langit lalu memarkirkan mobil di tempat yang sudah kutunjukkan.

"Kiddos, ayo simpan dulu iPadnya. Kita sudah sampai."

Nira dan Kara langsung mengikuti instruksi Om Langitnya. Menyimpan iPad mereka di kantung yang ada di depan mereka.

"Is this the house?" tanya Nira.

"Yap." aku dan Langit kompak menjawab.

"It's soo big, Mima." ucap Kara takjub.

"Sudah yuk, kita turun dan masuk dulu." ajakku.

Kami langsung keluar dari mobil. Aku lantas menggandeng Kara, sedangkan Langit menggandeng Nira. Sampai di depan gerbang, Langit memencet bel yang ada.

"Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang laki-laki dari intercom.

Aku langsung maju ke depan intercom.

"Siang. Saya Noushavarina. Sudah ada janji dengan Om Rega."

"Oh ya, Bu."

Sedetik kemudian, pintu gerbang di depan kami terbuka otomatis, bergeser dengan perlahan.

"Selamat datang, Bu. Silahkan masuk. Sudah ditunggu oleh Bapak di dalam." ucap laki-laki berseragam serba hitam, yang suaranya sama dengan yang tadi terdengar dari intercom.

Dia lantas mengantarkan kami menuju rumah utama. Kemudian mempersilahkan kami untuk masuk dan duduk di ruang tamu.

"Mohon ditunggu ya, Pak, Bu."

Aku dan Langit kompak mengangguk, "Terima kasih, Pak."

Nira dan Kara duduk di antara aku dan Langit. Mereka tampak mengamati seisi ruangan dengan seksama. Lalu kulihat, pandangan mereka jatuh pada sebuah potret keluarga yang terpasang di dinding. Om Rega, Tante Mariska, Kak Maureen beserta suami dan anaknya, juga ada Akis dan seorang perempuan dan anak laki-laki. Itu pasti Aira dan Raka.

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang