tiga•puluh•sembilan

357 36 6
                                        

"Anak-anak bakal betah nggak ya Yang tinggal di sana?" tanya Mas Angkasa dengan tatapan fokus ke arah si kembar yang sedang bermain di playground salah satu mall di daerah Kemang.

Saat ini kami sedang berada di Jakarta. Perpisahan si kembar dengan sekolahnya sekaligus memastikan semua barang-barang kami tidak ada yang tertinggal di rumah. Karena rencananya rumah ini akan aku sewakan.

"Selama masih ada koneksi internet sih pasti aman, Yang. Lagipula aku mau ngajarin mereka main di luar sama teman-temannya. Biar nggak terus-terusan nonton televisi atau main ponsel. Pas banget kan tuh di depan rumah ada lapangan bola yang tiap sore ada aja rame-ramenya."

"Semoga aja mereka beneran betah deh yaa. Aku cuma kepikiran takut mereka nggak betah jadi warga komplek sana, Yang."

Tanganku terulur untuk mengelus lengan atas Mas Angkasa, "Don't worry, Papasa. Insya Allah aman-aman aja."

"Belum lagi urusan sekolah. Beda banget sama sekolah mereka di sini apalagi kalau dibandingin sama sekolah mereka di Auckland. Mereka nggak akan jenuh kan ya sama sekolahnya?"

Kali ini aku menepuk pelan bahu Mas Angkasa, "kamu udah liat sendiri gimana excitednya mereka sama sekolah barunya. Kemarin aja sudah minta keliling liat sekolah barunya kan. Dekat banget lagi sekolahnya, bisa jalan kaki dari rumah."

"Yaa kalau dari segi lokasi jujur aku bersyukur banget sih, Yang. Kalau aku lagi nggak bisa antar jemput mereka, mereka bisa jalan sendiri atau kamu bisa antar jemput tanpa aku harus khawatir kalian nyasar atau diculik. Secara sekolahnya masih di dalam komplek kita, jadi aman lah."

"Dan aku bersyukur karena anak-anak nggak perlu berangkat sekolah satu jam sebelumnya karena takut macet dan telat. Bisa berangkat lima menit sebelum jam masuk juga masih aman kan kalau dianter pakai motor?"

Mas Angkasa mengangguk, "PR kamu nambah berarti, Yang."

"Apa tuh?"

"Biasain bawa motor lagi. Sudah lama nggak bawa motor kan?"

"Ah iyaa lagi benar juga. Sampai lupa kapan terakhir kali aku bawa motor saking lamanya, Yang. Harus latihan lagi sih ini."

"Tenang aja nanti aku ajarin. Kalau motor yang ada terlalu besar, nanti kita beli satu lagi yang lebih kecil tapi muat buat kalian boncengan bertiga ya."

"Siap, Capt!"

Mas Angkasa lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana jeansnya.

"Yang lihat deh."

Mas Angkasa mengulurkan ponselnya padaku. Kulihat ada tulisan LOVE dan deretan nomor ponsel yang sudah pasti sangat kukenali.

"Ciyeee love banget nih?" ledekku.

"Iya dooong. Singkat, padat, dan mutlak!" jawabnya penuh semangat.

"Aku nggak mau kalah ah. Kamu mau aku save pakai nama apa nomernya? Love juga, Papasa, atau Mas Sayang?" tanyaku sambil mengutak-atik ponselku.

"Mas Sayang aja boleh nggak sih? Kayaknya lucu deh. Papasa khusus buat anak-anak aja."

"Okay baiiik. Akan aku ganti nama Mas Angkasa menjadi Mas Sayang." ucapku sambil mengubah namanya di kontakku. "Lalu karena nggak ada emot pesawat tempur, aku kasih emot roket aja yaa. It's done!"

Aku lantas menunjukkan layar ponselku pada Mas Angkasa, membuatnya langsung terkekeh begitu melihat namanya di kontakku.

"Papasaaa!" seru Nira dari dalam area playground.

"Dalem, sayaang." sahut Mas Angkasa lalu berjalan mendekati batas area playground sambil membawa botol minum anak-anak.

Nira dan Kara langsung mengambil botol mereka masing-masing dan minum dengan cepat.

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang