dua•puluh•tujuh

136 29 6
                                    

Kepalaku berdenyut nyeri seiring dengan dering ponselku yang terus berbunyi. Mama menatapku dengan tatapan khawatir sedangkan Papa terlihat lebih tenang.

"Kamu benar-benar nggak mau angkat telepon dari Akis ataupun keluarganya Nou?" tanya Mas Angkasa yang berdiri tak jauh dari tempatku duduk.

Aku hanya menggelengkan kepalaku, "Anak-anak sama Langit sudah di mana, Mas?" tanyaku.

Nira dan Kara sedang diajak jalan-jalan oleh Langit yang hari ini sedang libur. Begitu berita itu muncul di sosial media, aku langsung menghubungi Langit dan memintanya segera pulang dengan anak-anak.

"Sudah di jalan pulang, mungkin sebentar lagi sampai. They will be okay, Nou." jawab Mas Angkasa.

"Akis pasti sudah memikirkan semuanya, Nou. Ini sudah pilihannya." tiba-tiba Papa bersuara.

"Tapi Nou sudah minta untuk nggak melibatkan anak-anak, Pap. Kenapa dia malah mengakui semuanya tanpa persetujuan Nou?"

"Lalu Akis harus terus berbohong sepanjang hidupnya? Dia hanya memilih untuk jujur, Nou."

"Tapi gimana dengan anak-anak, Pap?"

"They will be fine. Apa kamu nggak kepikiran, gimana kalau Akis terus diam dan menutupi? Sedangkan anak-anak kalian terus bertambah besar dan mulai bisa memahami apa yang terjadi di antara kalian. Bagaimana kalau anak-anak merasa nggak diakui sama Papanya sendiri? Tapi dilain sisi, mereka berhubungan baik dengan Papanya. Apakah kamu bisa jamin anak-anak akan merasa baik-baik saja dengan kondisi membingungkan itu?"

"Anak-anak pun baik-baik aja Pap selama ini. Ini sudah cukup buat kami."

"Buat kamu. Belum tentu itu sudah cukup buat anak-anak. Memangnya kamu pernah membahas hal seperti ini dengan mereka? Kamu pernah tanya apa yang mereka mau?"

Aku terdiam sesaat. Ucapan Papa ada benarnya. Setelah mereka mengenal Akis, aku belum pernah berbicara serius dengan anak-anak tentang Papanya.

"Anak-anak malah nanya kenapa mereka nggak bisa tinggal sama Papasa walau kami sudah di Indonesia." kilahku sambil melirik ke arah Mas Angkasa. Kulihat Mas Angkasa cukup terkejut mendengar ucapanku barusan.

"Coba nanti kamu ajak anak-anak ngobrol. Kamu tanya apa yang mereka rasakan sekarang setelah tau Akis adalah ayah kandung mereka? Apa yang mereka harapkan tentang keluarga? Cucu-cucu Papa itu sudah dewasa walau masih dibawah 10 tahun." ucap Papa.

"Barangkali sebenarnya mereka punya seribu tanya buatmu tentang Mima dan Papanya. Cuma mereka takut untuk tanya itu sama kamu, Nou." tambah Mama.

Aku menghela nafasku dengan cukup kencang lalu memijat pelan kedua pelipisku.

"Aku rasa kamu perlu jawab telepon dari Akis dulu Nou sebelum ngobrol sama anak-anak." ucap Mas Angkasa.

Aku menatap malas ponselku yang terus memunculkan panggilan masuk dari Akis.

"Papa, Mama, dan Angkasa bisa pergi kalau memang kamu butuh ruang sendiri buat bicara sama Akis di telepon." Papa kembali bersuara.

"Mama ke kamar dulu." ucap Mama sambil beranjak dari duduknya.

Papa pun langsung berdiri dan mengikuti Mama.

"Mas. Please stay." ucapku pada Mas Angkasa begitu melihatnya ingin ikut melangkahkan kakinya meninggalkanku di ruang keluarga ini.

Tanpa berkata-kata, Mas Angkasa bergerak untuk duduk di sampingku tapi tetap memberi jarak. Kami saling bertukar tatap untuk beberapa saat.

"Lebih cepat kamu hadapi akan lebih baik bukan?" tanyanya.

Aku menghela nafasku lagi. Lalu mengambil ponselku dari atas meja. Baru aku mau menghubungi Akis, panggilannya sudah lebih dulu masuk.

"Halo.." ucapku pelan.

"Finally, Hava! Aku bisa benar-benar gila kalau kamu masih nggak mau jawab teleponku."

Aku cuma diam.

"First of all, I'm so sorry for doing this without your consent. Tapi percayalah aku ngelakuin ini buat anak-anak. Seenggaknya sekarang mereka tau kalau mereka diakui oleh Papanya sendiri, Va."

Lagi aku hanya terdiam.

"Hava? Please say something."

Aku menghela nafas, "Kamu berharap aku ngomong apa, Val?"

"Apapun. Kamu marah pun silahkan. Asal jangan diam, Hava."

"Aku mau ngomong kayak gimana juga nggak bisa mengembalikan kondisi bahwa kamu sudah mengakui kalau kamu punya anak-anak kan?"

"Ini sudah keputusanku, Va. Kapanpun itu, aku akan menunjukkan anak-anakku pada dunia. Karena anak-anak adalah bagian penting dari hidupku. Nggak ada alasan buatku untuk menyembunyikan mereka."

"Gimana kalau anak-anak merasa terganggu dan nggak nyaman? Gimana kalau anak-anak malah terbebani dengan apa yang sudah kamu lakukan ini, Val?"

"Lantas gimana kalau ini yang sebenarnya anak-anak tunggu? Gimana kalau sebenarnya anak-anak mengharapkan mereka bisa dikenal sebagai anakku?"

Ucapan Akis barusan cukup menohokku. Bagaimana jika ucapan Akis itu benar?

"Aku akan berusaha untuk melindungi anak-anak dan juga kamu dengan seluruh kemampuan yang kupunya. Aku akan berusaha memastikan kalau kalian akan baik-baik saja setelah ini."

"Gimana dengan pekerjaan dan para penggemar seorang Akis Valderrama?"

"Rejeki sudah ada yang mengatur. Aku percaya kuasa Tuhan. Penggemar? Kalau mereka benar-benar penggemarku, mereka akan tetap jadi penggemarku mau gimanapun kondisiku."

Lagi-lagi aku menghela nafas.

"Gimana dengan keluargamu, Val?"

"They're fine. Papa dan Kak Maureen mendukung apapun keputusanku. Mama? Sudah pasti marah. Tapi ini hidupku, Va. Aku sudah dewasa dan sudah berhak memutuskan jalan hidup yang kupilih."

"Aira dan Raka gimana, Val?"

"Aku membebaskannya untuk memilih. Silahkan jika dia mau pergi. Raka tetap kuanggap sebagai anakku sendiri, karena dia pun hanya tau aku sebagai Papanya."

"Keluarga Aira?"

"I didn't think about them at all. Aku membangun karierku sendiri. Apa yang kucapai dan kupunya sekarang adalah hasil jerih payahku sendiri. Mereka nggak ada andil sedikitpun, Va."

"Tapi bukannya keluargamu ada hutang budi dengan mereka?"

"Itu urusan Papaku. Lagipula pernikahanku dengan Aira itu semua settingan Mama dan aku sudah mengikuti apa maunya. Sekarang sudah saatnya aku mengambil alih hidupku sendiri, Va. Aku bukan lagi Akis Valderrama yang dulu selalu ada dibawah kendali Mamanya."

"Lantas sekarang gimana, Kis?"

"Biarkan aku jadi Papa yang sesungguhnya untuk anak-anak. Aku akan menjaga mereka dan juga kamu dengan sebagaimana mestinya. Kamu hanya perlu mengizinkanku untuk hadir sepenuhnya untuk kalian. Bisa kan?"

Kali ini aku terdiam lalu melihat ke arah Mas Angkasa yang sedari tadi tidak mengalihkan pandangannya dariku.

Kudengar suara helaan nafas Akis di seberang sana.

"Eventhough this hurts me so damn much, but it's okay kalau memang sudah ada orang lain yang menggantikan posisiku di hidupmu. Walaupun sekarang kamu sudah menemukan orang baru yang bisa memiliki hatimu, aku tetap ayah kandung si kembar kan, Hava? Soo, let's fix this. Bukan tentang aku dan kamu, tapi tentang anak-anak. Tentangmu, aku akan merelakannya perlahan. Just give me a time to let you go. Beri aku waktu untuk bisa merelakanmu dengan perlahan.."

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang