"Kamu yakin?"
"Insya Allah sudah yakin, Yah."
Samar-samar kudengar suara Mas Angkasa dan Om Dirga dari arah teras rumah.
"Kamu tahu kan konsekuensinya apa?" tanya Om Dirga lagi.
Kudengar Mas Angkasa berdeham, mungkin mengiyakan pertanyaan Om Dirga barusan. Aku yang tadinya keluar kamar ingin ke dapur, jadi menghentikan langkahku di depan pintu kamar. Kebetulan aku dan anak-anak menempati kamar paling depan, jadi posisinya pas di dekat pintu rumah.
"Ayah sama Bunda mendukung apapun keputusan anak-anak Ayah Bunda. Apalagi kalian sudah besar dan dewasa, sudah bisa memutuskan apa yang kalian mau jalani termasuk dengan konsekuensi dari pilihan kalian. Terkhusus konsekuensi yang nanti akan kamu hadapi. Kamu benar-benar sudah siap dengan konsekuensi itu?"
"Insya Allah, Yah. Ayah nggak akan kecewa sama Angkasa kan?"
Jantungku tiba-tiba berdegup dengan cepat. Konsekuensi apa yang mereka maksud ini?
"Kecewa sih enggak. Mungkin cuma sedikit sayang aja. Tapi bukan berarti Ayah nggak merestui lho ya. Kalau masalah restu sih Ayah sama Bunda sudah merestui dari lama. Yang penting anak-anak Ayah bahagia dengan pilihan mereka."
Krek!
Aku sedikit kaget mendengar suara gagang pintu, membuatku langsung membalikan badanku dan berjalan ke arah belakang. Ternyata Tante Mega keluar dari kamar yang berada tepat di sebelah kamar yang aku dan si kembar tempati.
"Eh belum tidur, Nou?"
"Belum, Tan. Ini mau ambil minum ke belakang. Kok Tante belum tidur? Kukira sudah pules, Tan."
Kami lalu berjalan beriringan.
"Sudah tadi. Ini kebangun mau pipis. Anak-anak sudah pules ya?"
"Iya, Tan. Kayaknya kecapean seharian main."
"Padahal mereka baru pada kenal ya. Cuma langsung pada akrab main."
Seharian ini, Nira dan Kara bermain dengan Mas Angkasa dan beberapa anak-anak seusia mereka yang tinggal di komplek ini juga. Untungnya rumah dinas Mas Angkasa posisinya dekat dan menghadap lapangan langsung. Jadi aku bisa mengawasi mereka bermain dari teras rumah.
Tante Mega langsung masuk ke dalam kamar mandi, sedangkan aku berjalan ke arah lemari piring dan gelas. Apa aku tanya aja ke Tante Mega ya?
Tak berselang lama, Tante Mega keluar dari kamar mandi. Aku langsung menelan air yang sedang kuminum.
"Tan."
"Ya, Nou."
Aku menghampiri Tante Mega yang berdiri beberapa langkah dari depan kamar mandi.
"Tadi Nou nggak sengaja dengar obrolan Om Dirga dan Mas Angkasa. Mereka ada sebut konsekuensi-konsekuensi gitu, Tan. Tante tau kah maksudnya konsekuensi itu apa, Tan?" tanyaku dengan suara pelan.
Tante Mega tidak langsung menjawab pertanyaanku.
"Hmm kalau ini, kayaknya lebih pas kalau kamu dan Angkasa bahas langsung. Coba besok kamu tanya sama dia."
"Tapi besok pagi kan kita sudah pulang, Tan. Dibahas via telepon gitu oke kah?"
"Lho kamu belum dikasih tau?"
"Apa, Tan?"
"Besok kan kita kepisah di stasiun, Tante pulang ke Surabaya terus kamu ke Jakarta."
Aku mengangguk.
"Nah Angkasa mau nganter kamu sama anak-anak sampai Jakarta. Katanya kasihan kalau kamu cuma sendiri dan bawa anak-anak. Jadi dia izin cuti dadakan sama komandannya."
Aku terkejut mendengan ucapan Tante Mega barusan, "Ya ampun. Padahal nggak apa-apa aku sama anak-anak aja. Mereka kan sudah besar juga, jadi aku nggak akan repot selama perjalanan. Cuma bawa satu koper juga."
"Udahlah biarin aja dia nganterin kalian. Udah beli tiket juga kok dia, Nou. Senin malam dia langsung pulang lagi ke sini."
"Tuh kan malah cuma bikin Mas Angkasa bolak-balik aja."
"Segitu mah belum ada capek-capeknya buat dia. Udah yuk kita tidur biar besok pagi-pagi sempat cari jajanan lokal buat sarapan sebelum kita berangkat ke stasiun. Besok kamu bisa tanya langsung ke Angkasa tentang konsekuensi yang kamu denger itu."
---//---
Jam delapan pagi, kami berenam sudah selesai sarapan khas Madiun. Aku dan anak-anak sarapan soto ayam kondang, Mas Angkasa dan Om Dirga menyantap nasi jotos, dan Tante Mega memilih lontong tahu telur. Yaa walaupun karena tempatnya yang berbeda-beda, aku jadi tetap ikut memesan juga sih untuk mencicipi makanan-makanan khas Madiun ini.
"Bun mau beli oleh-oleh dulu nggak?" tanya Mas Angkasa sambil mengemudi.
"Nanti aja beli di stasiun nggak sih? Biar nggak repot."
"Memang Bunda mau beli apa? Nanti yang dicari ndak ada di stasiun malah kecewa."
"Hmm yang udah pasti Bunda mau beli bumbu pecel. Terus beli brem, madumongso, sama kue manco buat tetangga kanan kiri. Nou mau beli oleh-oleh juga nggak, Nou?"
"Kayaknya aku beli buat sendiri aja deh, Tan. Bingung juga mau ngasih siapa. Paling ngasih tetangga rumah yang nempel aja. Disamain aja sama Tante Mega, Nou soalnya kan nggak tau yang khas dari sini apa."
"Yaudah ini kita sekalian beli oleh-oleh dulu aja. Kan masih ada waktu. Sampai rumah langsung mandi dan siap-siap ke stasiun. Jadi di stasiun nggak repot beli-beli lagi." ucap Mas Angkasa yang kemudian disetujui oleh Tante Mega.
Setelah mampir membeli oleh-oleh, kami melanjutkan perjalanan kembali ke rumah. Semua yang kubeli sama dengan yang Tante Mega beli. Hanya saja jumlah yang kubeli jauh lebih sedikit dari yang Tante Mega beli.
"Nanti buat Papa Mama kamu, aku kirimkan aja dari sini setelah aku pulang antar kamu sama anak-anak." ucap Mas Angkasa begitu kami melanjutkan perjalanan pulang.
"Beliin sambel pecel aja Sa yang banyak. Papa Mamanya Nou kan seneng mecel." kata Om Dirga memberi saran.
"Duuh nggak usah repot-repot, Mas. Mereka juga kan cuma berduaan, mubazir nanti malah nggak kemakan."
"Papasa, dawet itu apa? Dawet suro apa tadi ya aku lupa." tiba-tiba Nira bertanya. Dia dan Kara sama-sama duduk di kursi depan di sebelah Mas Angkasa.
"Dawet Suronatan? Itu sejenis minuman gitu. Kamu lihat tulisan di tempat yang baru kita lewatin ya?"
"Iya, Papasa. Itu rasanya apa?"
"Manis, sayang. Dawet itu sejenis cendol gitu. Nira mau coba?"
"Mauuu!"
"Kara juga mau, Papasa!"
"Okay okay, Kiddos. Nanti sambil ke stasiun, kita mampir minum dawet yaa. Oh iya, Mima juga harus coba pentol corah khas Madiun. Nanti kita jajan yaa sambil otw stasiun."
"Siaap, Papasa!" seruku dan Nirankara kompak.
---//---
Kita santai-santai dulu.
Habis ini baru mulai greget-gregetnya lagi yaa.♥️J

KAMU SEDANG MEMBACA
Nirankara
Short StorySetelah meninggalkan kota yang penuh romansa dan problematika masa mudanya selama bertahun-tahun, Nou memutuskan untuk kembali hidup di kota itu. Tak hanya sendiri, kini dia kembali bersama dua alasan terbesarnya untuk tetap kuat menjalani hari-hari...