sembilan•belas

248 38 6
                                    

Sudah beberapa bulan ini, aku dan anak-anak menempati rumah yang diberikan oleh Akis. Nana dan Si Mbok sudah pasti ikut, sedangkan Pak Gito tetap memilih pulang pergi saja karena memang beliau tinggal di Jakarta bersama dengan keluarganya.

"Gimana kalian betah di rumah baru?" tanya Kak Maureen.

Saat ini kami sedang berada di kantin sekolah anak-anak, baru saja selesai ambil raport semester.

Aku mengangguk, "Insya Allah betah, Kak. Anak-anak juga keliatannya nyaman."

"Syukurlah kalau begitu. Terus rumah kalian gimana? Disewakan lagi kayak sebelumnya?"

Lagi aku mengangguk, "Sayang kalau dibiarkan kosong, Kak. Malah cepat rusak. Lebih baik disewakan. Selain bisa dapat tambahan pemasukan, rumahnya juga jadi ada yang nempatin dan ngerawat juga."

"Betul banget. Oh iya, liburan ini kalian ada rencana apa?"

Aku berpikir sejenak. Sudah ada rencana, namun belum aku pastikan lagi dengan anak-anak.

"Belum pasti sih, Kak. Tapi ada rencana mau ke Bali, anak-anak kangen sama Kakiang dan Niangnya. Bisa sekalian liburan juga."

Kedua mata Kak Maureen berbinar seketika.

"Pas banget! Kami juga ada rencana liburan keluarga. Kalian gabung ya?"

"Liburan keluarga gimana maksudnya, Kak? Maksudku keluarga Kak Maureen aja atau gimana?"

"Semuanya sih, Nou. Keluargaku, Papa, Mama. Akis nggak tau deh, katanya kalau sempat sih mau nyusul."

"Ada Aira dan Raka juga kan, Kak?"

Kak Maureen mengangguk, "Gabung ya, Nouu? Kalau nggak mau ikut terus-terusan, mungkin kalian bisa gabung pas kita jalan ke mana gitu. Seenggaknya ada momen kita liburan bareng. Pasti kan seru banget. Anak-anak juga pasti senang banget. Nanti kamu dekat-dekat sama aku aja. Janji aku nggak akan cuekin kamu. Akupun jauh lebih nyaman sama kamu dibanding Aira."

Kali ini Kak Maureen menatapku dengan penuh harap.

"Please, Nouu. Kamu sama anak-anak termasuk keluargaku juga. Bahkan dari dulu waktu kamu sama Akis masih pacaran, aku kan sudah anggap kamu adikku sendiri. Ya ya yaa? Pleaseee.."

"Hhmm nanti aku coba ngobrol sama anak-anak dulu deh ya, Kak. Soalnya anak-anak juga udah ditagih liburan ke Surabaya, ke tempat Eyangnya."

"Eyang?"

"Oh maksudnya orang tuanya Mas Angkasa dan Langit. Anak-anak panggilnya Eyang."

Kak Maureen mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ooh aku kira siapa. Mereka bener-bener sedekat itu ya, Nou? Maksudku anak-anak sama Papasa, Langit, dan keluarganya."

"Iya, Kak. Sejak aku hamil, mereka yang selalu ada di dekatku. Dari anak-anak lahirpun, Mas Angkasa dan Langit sering banget bolak-balik ke Auckland cuma buat mastiin kami baik-baik aja. Kebetulan mereka juga belum berkeluarga, jadilah si kembar semakin dianggap cucu sama orang tua Mas Angkasa."

"Iya juga sih ya. Aku paham banget untuk hal yang satu ini. Tapi kalaupun saat itu aku tau kamu ada di mana, aku pasti siap kayak mereka. Rela bolak-balik Jakarta Auckland demi kalian. Mau jadi rahasia kita aja? Aman lho padahal, Nouuu. Ah kalau ingat ini, aku jadi masih suka kesal sendiri. Kamu rahasiain kondisi kamu dari aku."

"So sorry, Kak Maureen."

"Dah lah yang sudah berlalu biarlah berlalu. Kita jalanin aja yang sekarang, yang didepan mata. Jadi kalian gabung yaa, kita liburan bareng. Nanti kita janjian aja deh pas di sananya gimana? Kebetulan kami belum ada pesan tiket dan segala macamnya. Nanti aku atur supaya waktunya barengan sama waktu kalian ke Bali. Gampang lah itu urusanku."

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang