tiga•puluh•dua

289 43 11
                                        

"Jadi sekarang kita ada di kota Papasa tinggal, Yang Ti?" tanya Nira dengan ekspresi yang sangat excited.

"Iya sayang, sekarang kita lagi ada di Madiun."

"Jadi Papasa kerja di sini ya, Yang Ti?" kali ini Kara yang bertanya.

"Iya, Kara sayang."

"Naah ini dia mobil tumpangan kita datang." ucap Om Dirga seiring dengan satu unit mobil taksi online yang mendekat ke arah kami berdiri.

Yap. Sabtu pagi ini kami berlima sudah sampai di kota Madiun. Tante Mega yang mempunyai ide untuk kami berkunjung ke sini. Sudah pasti sang tuan rumah tidak diberi tahu, biar surprise katanya. Walalupun menghabiskan waktu 8,5 jam di kereta, Nira dan Kara sangat antusias selama perjalanan. Bahkan saat ini masih jam setengah empat pagi dan mereka sama sekali tidak terlihat mengantuk. Padahal selama perjalanan tadi, mereka tidak tidur dengan lelap, hanya sebentar-sebentar saja.

"Kamu langsung masuk aja, Nou. Biar Om sama drivernya yang masukin barang-barang. Tolong dibantu nggih, Pak." ucap Om Dirga sambil menggeser dua koper yang kami bawa.

"Nggih, Pak. Mari tak bantu." sahut sang driver ramah.

Akupun menyusul Tante Mega dan si kembar yang sudah masuk ke dalam mobil lebih dulu. Tak lama Om Dirga dan Pak driver menyusul masuk.

"Tujuane Komplek AU Iswahyudi nggih, Pak." ucap driver sambil memasang seatbelt dan mengutak-atik ponselnya yang diletakkan di phone holder dashboard.

"Nggih, Pak. Santai aja ndak perlu ngebut-ngebut. Kami ndak buru-buru." jawab Om Dirga yang duduk di kursi depan samping pengemudi.

"Siaapp. Bismillahirrohmanirrohim berangkat nggih, Pak, Bu."

Entah karena masih terlalu pagi atau memang di sini tidak kenal yang namanya macet, perjalanan kami dari stasiun ke rumah dinas Mas Angkasa hanya sekitar dua puluh menit. Om Dirga menyebutkan nomor rumah dan nama Mas Angkasa begitu kami sampai di pos jaga komplek perumahan militer ini. Mobil kembali melaju setelah melewati pengecekan dari penjaga pos dan Om Dirga memberi tahu pengemudi arah jalan menuju rumah Mas Angkasa.

"Sing niki nggih, Pak?" (Yang ini ya, Pak?)

"Leres, Pak." (Benar, Pak)

Kami semua lantas turun begitu mobil sudah berhenti sempurna di depan sebuah rumah dengan nomor 8 dan bercat biru muda. Ada sebuah motor dan mobil yang terparkir di garasi tanpa adanya gerbang di depan rumah.

"Matur suwun sanget nggih, Pak, Bu." ucap supir taksi online begitu selesai menurunkan kedua koper kami dan Om Dirga mengulurkan selembar uang berwarna biru. "Semoga tambah banyak dan berkah rejekinya, Bapak Ibu. Aamiin.. Pamit nggih, Pak, Bu." sambungnya sambil berjalan kembali masuk ke mobilnya.

Aku lantas menggeret koper berisi pakaianku dan anak-anak. Om Dirga membawa kopernya dan Tante Mega. Sedangkan Tante Mega yang menggandeng si kembar sudah berjalan lebih dulu ke arah pintu rumah.

"Assalamualaikum!" seru Tante Mega dan si kembar berbarengan sambil mengetuk pintu.

Tak kunjung mendapat jawaban, Tante Mega dan si kembar kembali mengulang memberi salam sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah.

"Coba Ayah telepon aja, Bun. Masih jam segini juga, biar nggak ganggu tetangga. Nanti malah tetangga yang pada keluar lagi." ucap Om Dirga sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

Baru saja membuka kunci layar ponselnya, pintu di hadapan kami perlahan terbuka.

"Surpriseeee!" seru Tante Mega dan si kembar kompak.

Mas Angkasa yang tadinya masih terlihat sangat mengantuk, seketika langsung mengerjapkan matanya beberapa kali. Pandangannya menatap kami bergantian dan berakhir menatapku.

"Surprise." ucapku hampir tanpa suara diakhiri dengan senyuman lebarku.

Dan seketika, senyuman meneduhkan yang ternyata sudah menjadi canduku itu, terukir di muka bantalnya..

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang