tiga•puluh•tujuh

343 43 14
                                        

"Saya terima nikah dan kawinnya Noushavarina binti Anggara Yasawirya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Sah!"

Air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya lolos juga begitu mendengar kata sah dari para saksi yang hadir di pernikahanku dengan Mas Angkasa. Bisa kudengar juga helaan nafas lega dari Mas Angkasa yang duduk di sebelah kananku. Aku menoleh ke arah Mas Angkasa yang juga menoleh ke arahku.

"Hai, istri." ucapnya berbisik di telingaku. Sederhana, tapi sukses membuatku tersipu malu.

---//---

Setelah serangkaian acara pernikahan yang cukup padat, akhirnya aku dan Mas Angkasa bisa bersantai dengan berbaur bersama para tamu undangan yang hanya terdiri dari keluarga dan teman-teman terdekat kami. Pedang pora? Sudah pasti ada. Bisa berjalan di bawah hunusan pedang-pedang yang membentuk sebuah gapura adalah hal yang sama sekali tidak pernah ada di bayanganku sebelumnya. Biasanya aku hanya bisa terpesona dengan upacara ini setiap melihatnya di media sosial. Hingga tiba pada saat ini, ternyata aku bisa merasakan langsung menjadi mempelai yang menjalani prosesi khidmat pedang pora dihari pernikahanku.

"Sa!" seru seorang laki-laki yang menggandeng perempuan berkerudung yang sangat cantik.

"Eh my bro my meenn!" sahut Mas Angkasa dengan ekspresi yang sangat sumringah. Mereka lantas saling berpelukan singkat.

"Selamat yaa, Saa. Akhirnya settle down juga Kapten gue yang satu ini."

Mas Angkasa tertawa pelan, "Thank you, Jaan. Eh kenalin Nou ini Januarva, teman satu lettingku lebih tepatnya sohibku. Sekarang lagi dinas di Roesmin Noerjadin."

"Halo, Mas Januarva. Aku Noushava." ucapku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tanganku.

Pria matang dengan batik bernuansa hitam dan cokelat lengan panjang ini menyambut uluran tanganku.

"Hai, Mbak. Bisa panggil Janu aja. Salam kenal dan selamat yaa atas pernikahannya sama si Angkasa yang kayak dispenser bisa dua mode panas dan dingin ini."

Mas Angkasa langsung memukul pundak sohibnya ini sedangkan aku tertawa pelan.

"Dan ini?" tanyaku pada seorang perempuan yang sedari tadi berdiri di sebelah Janu.

"Kenalin ini Nyonya Giana Januarva alias istriku, Mbak."

"Selamat yaa, Mbak Noushava." ucapnya sambil kami berjabat tangan.

"Terima kasih, Mbak Giana."

"Selamat yaa, Kapten Angkasa. Akhirnya yaa punya Nyonya Angkasa Megantara juga nih." ucap Giana sambil menyalami Mas Angkasa.

Mas Angkasa tertawa lagi, "Iya doong. Sekarang di rumah sudah ada ibu-ibu PIA nih." jawab Mas Angkasa dengan nada sedikit jumawa.

"Sayangnya kita beda satuan ya, Mbak. Jadi nggak bisa sibuk giat PIA bareng deh."

"Yaah iya juga yaa. Padahal lumayan kalau satu kesatuan, aku jadi udah ada temennya. Nanti pasti awal-awal ikut giat, kikuk banget deh karena baru gabung."

"Pasti Mbak kalau itu. Dulu aku juga kayak gitu waktu pertama kali ikut giat satuan. Tapi lama-lama enggak kaku gitu kok, Mbak. Ibu-ibu PIA alhamdulillah asik-asik dan ramah-ramah. Pasti nggak berasa jadi anggota baru. Kemarin pas pengajuan kan udah ketemu sama pengurus-pengurusnya juga."

"Eh iya kemarin pengajuan aman, Sa? Nggak repot kan?" tanya Janu.

"Yaa kalau dibilang repot ya pasti repot lah, Jan. Apalagi Nou di Jakarta, jadi harus bolak-balik ke sini buat pemberkasan, psikotes, tes kesehatan, wawancara, pembinaan, belum lagi buat ngadep para pengurus satuan buat pengajuan."

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang