Tidak terasa sudah sembilan bulan kami menetap di kota ini. Anak-anak juga sudah akrab dengan lingkungan tempat tinggal kami yang baru ini. Sekolah mereka pun berjalan dengan baik.
"Mima, di sekolah ada kantin buat kami jajan. Menunya beda dengan di sekolah dulu, tapi harganya murah-murah banget, Mima. Mima kasih uang sepuluh ribu, itu sudah buat aku sama Kara punya banyak jajanan loh. Keren banget kan, Mima." kata Nira waktu awal dulu mereka masuk sekolah.
"Tapi teman-teman banyak ngomong pakai bahasa yang aku dan Nira nggak paham, Mima. Jadi aku sama Nira cukup sulit ikut mereka ngobrol. Tapi pasti lama-lama aku sama Nira bisa bahasa yang sama kayak mereka ya, Mima. Bahasa jawa kalau kata mereka. Untungnya guru-guru di sekolah masih banyak pakai bahasa Indonesia walaupun diseling dengan bahasa jawa sih." kalau ini cerita Kara waktu itu yang membuatku sedikit tertawa begitu mendengarnya.
Sekarang? Mereka sudah bisa memahami dan menggunakan bahasa jawa walau dengan logat yang sangat lucu didengar. Mas Angkasa saja selalu tertawa setiap mendengar mereka menggunakan bahasa jawa yang terkadang masih salah penyebutannya.
Kudengar suara langkah kaki mendekat, pasti Mas Angkasa. Tadi memang dia menyempatkan pulang untuk membawakanku rujak pesananku dan kami makan siang berdua di rumah.
"Yang, nanti aku ada latihan malam. Belum tahu akan selesai jam berapa. Jadi kamu tidur duluan aja ndak apa. Ndak usah nunggu aku pulang. Nanti aku bawa kunci rumah sendiri, jadi kamu kunci aja pintunya tapi dicabut ya kuncinya."
Aku hanya berdeham untuk menjawab Mas Angkasa. Mataku sudah mulai terpejam padahal baru selesai sholat dzuhur dan anak-anak belum pulang sekolah. Akhir-akhir ini memang rasanya aku sangat mudah mengantuk. Kurasakan kecupan lembut di keningku dan disusul usapan lembut di kepalaku.
"Rujaknya aku taruh di kulkas dulu ya. Kamu tidur aja kalau ngantuk. Nanti anak-anak biar aku yang sempatkan jemput sebentar."
Lagi aku cuma berdeham. Rujak yang tadinya sangat kuinginkan, malah belum kusentuh sama sekali. Oh iya, aku jadi teringat sesuatu. Aku membuka mataku kembali dan bangkit dengan perlahan.
"Kok malah bangun?" tanya Mas Angkasa yang melihatku sudah terduduk di ranjang.
"Aku lupa mau bilang sama kamu. Tadi Bunda telepon, Yang."
"Apa kata Bunda?" tanya Mas Angkasa sambil melipat sarung yang sedari tadi dia gunakan begitu sampai di rumah. Sekalian habis dzuhur berjama'ah.
"Nanyain tujuh bulanan." jawabku sambil merapikan lengan seragam Mas Angkasa yang sedikit terlipat. Kini posisi kami sudah berdiri berhadapan.
Tangan Mas Angkasa langsung terulur mengusap perut buncitku, "Ya ampun iya yaa. Maafin Papa yaa Nak malah lupa sama tujuh bulanan kamu."
Kurasakan sebuah tendangan di perutku, membuat Mas Angkasa tersenyum sumringah.
"Walaupun dulu sudah pernah ngalamin momen ini saat kamu hamil si kembar, tetap aja aku ngerasa takjub tiap dapat tendangan dari dalam sana." ucapnya sambil terus mengusap pelan perutku. Membuatku kembali merasakan beberapa kali tendangan dari dalam perutku.
"Jagoan Papa nanti mau jadi pemain bola atau gimana ini? Semangat banget nendang-nendangnya. Pelan-pelan yaa, sayang. Kasian Mima nanti perutnya sakit atau kram kalau kamunya terlalu semangat di dalam sana. Sebentar lagi kita ketemu, kita sama-sama sabar sebentar lagi yaa, Nak."
Kurasakan mataku sedikit berair begitu mendengar ucapan Mas Angkasa barusan. Selama kehamilan ini, aku memang jadi lebih sensitif dan gampang mewek kalau kata Mas Angkasa. Sekarang ditambah jadi tukang tidur.
"Kamu yang atur aja sama Bunda ya. Mas ikut aja sama rencana kalian. Mama sama Papa bakal ke sini juga kan nanti?"
Aku mengangkat kedua bahuku, "belum tahu Mas kalau itu. Kayaknya mereka ke sini sekalian nanti kalau aku lahiran aja deh. Biar nggak bolak-balik gitu."
"Hmm iya juga sih. Cuma kalau mereka mau ke sini pas nanti tujuh bulanan ya ndak apa juga, Yang. Barangkali mereka mau ngumpul-ngumpul juga."
"Iya Mas coba nanti aku tanya lagi deh sama Mama jadinya mereka mau gimana."
Mas Angkasa lalu melirik jam yang melingkar di tangan kirinya, "Yang."
"Dalem sayang."
Aku melihat salah satu ekspresinya yang sudah kupahami.
"Kayaknya masih sempat deh sebelum aku balik ke kantor."
Kan.
"Tau gitu ngapain kamu rapi-rapi sekarang." ucapku sambil memukul lengannya pelan dan dia malah nyengir lebar.
Aku membalik badanku dan langsung mendapati sebuah pelukan hangat yang sudah menjadi canduku.
"Mumpung anak-anak belum pulang sekolah juga." tangan yang tadinya berada di perut buncitku mulai bergeser perlahan.
"Kamu harus balik kantor loh, Mas. Jadi harus mandi dulu juga sebelum balik kantor biar nanti bisa asharan di sana."
"Kan jam empat nanti aku bisa pulang dulu dan balik lagi ke pangkalan habis maghrib. Jadi masih sempat lah mandi dulu dan asharan di rumah."
Aku menepuk tangannya yang kini sudah berada di atas dadaku, "bukannya asharan di sana aja bisa jama'ah."
"Kan aku bisa jama'ah di rumah sama kamu dan anak-anak."
Kali ini dia mulai menjajah leher belakangku yang saat ini selalu bebas dari rambut panjangku yang selalu ku cepol tinggi saking sering merasa gerah selama kehamilan. Mau potong rambut pun nggak dikasih sama Mas Angkasa dengan alasan dia suka dengan rambut panjangku.
"Boleh ya, Yang?" tanya Mas Angkasa dengan suara paraunya dan aktivitas tangan juga mulutnya yang semakin menuntut.
Saat pembekalan sebelum kami menikah, aku diingatkan untuk tidak menolak ajakan suami untuk berhubungan karena bisa saja itu menjadi dosa untukku. Jadi kalau sudah seperti ini, apalagi jawaban yang bisa kuberikan kalau bukan mengangguk dan mengiyakan ajakannya?

KAMU SEDANG MEMBACA
Nirankara
Historia CortaSetelah meninggalkan kota yang penuh romansa dan problematika masa mudanya selama bertahun-tahun, Nou memutuskan untuk kembali hidup di kota itu. Tak hanya sendiri, kini dia kembali bersama dua alasan terbesarnya untuk tetap kuat menjalani hari-hari...