dua•puluh•dua

349 55 15
                                        

"Angkasa, Langit, sama si kembar ke mana, Nou?" tanya Papa yang baru saja pulang.

"Lagi nemenin anak-anak buat tidur, Pa." jawabku.

"Biasalah, Pa. Dari datang sudah dibajak terus Papasa sama Om Langitnya. Tidurpun minta ditemenin sama Papasa dan Om Langit. Padahal biasanya juga sudah tidur sendiri-sendiri." imbuh Mama.

Papa terkekeh pelan, "Tapi sudah pada makan malam kan?"

"Sudah dong, Pap. Habis makan malam, baca-baca buku, terus minta temani tidur." jawabku lagi.

"Papa sudah makan belum? Makan dulu atau mau langsung bersih-bersih terus istirahat?" tanya Mama.

"Tadi sudah makan. Mau mandi aja terus tidur. Biar besok bisa bangun pagi-pagi main sama cucu-cucu."

"Iya kalau kepakai. Mama aja jadi ngang-ngong ngang-ngong terus daritadi Pa, karena mereka maunya sama Papasa dan Om Langit." sahut Mama yang membuat Papa tertawa.

"Oh iya nanti Angkasa sama Langit suruh tempatin kamar belakang aja ya, Nou. Tadi sudah sempat Papa bersihkan dan rapikan." ucap Papa.

Di belakang rumah ini ada satu paviliun sederhana namun tetap terasa sangat nyaman. Jadi kalau ada tamu yang ingin menginap, pasti akan menempati paviliun itu. Terkadang kami juga suka tidur di sana sih.

"Okay, Pap."

"Jangan tidur malam-malam ya, Nou." ucap Mama sambil berjalan di belakang Papa menuju kamar mereka.

"Ya, Mamm."

Aku lantas membenarkan posisi dudukku sambil mengganti-ganti channel televisi. Minum cokelat panas sepertinya enak. Aku lantas beranjak dari dudukku dan melangkah menuju dapur.

"Mau ke mana, Nou?"

"Eh, Mas Angkasa." Kulihat Mas Angkasa menutup pintu kamar Nirankara dengan perlahan. "Aku mau bikin cokelat panas. Mas Angkasa mau?"

"Kalau kopi aja, boleh kah?"

Aku mengangguk, "Aku buatkan dulu. Mas Angkasa tunggu di sofa depan televisi aja nggak apa."

Setelah membuat secangkir kopi dan segelas cokelat, aku menghampiri Mas Angkasa yang sedang duduk di sofa tempatku duduk tadi.

"Silahkan kopinya." ucapku sambil meletakkan kedua minuman yang kupegang ke atas meja.

"Thank you, Noushava." ucap Mas Angkasa lalu meletakkan ponselnya di samping cangkir kopinya.

"Langit mana, Mas?" tanyaku yang sudah duduk manis tak jauh dari Mas Angkasa.

"Ketiduran dia di samping Kara. Nanti juga kebangun karena badannya yang lebih panjang dari kasurnya anak-anak."

Aku lantas tertawa pelan. Tempat tidur anak-anak di sini memang masih ukuran anak-anak, belum diganti keukuran yang lebih besar.

"So, are you okay?" tanya Mas Angkasa sambil menatapku lekat.

Aku mengedikkan kedua bahuku, "Entah, Mas. Aku aja bingung sama apa yang aku rasakan sebenarnya. Kesal iya, sedih iya, khawatir iya. Bingung lah."

"Kalau boleh tau dan kalau kamu bisa ceritakan, memang gimana kejadiannya?"

"That was so fast. Selama di beach club semuanya aman, mereka bisa bebas main sama-sama. Bahkan anak-anak juga main sama Raka."

"Raka?"

"Anak Akis dan istrinya."

"Ah i see. Lalu?"

"Begitu keluar, lagi bareng-bareng nunggu petugas valet, tiba-tiba dikerumunin wartawan. Langsung sebut-sebut si kembar. Siapalah, kok miriplah, apalah."

Kulihat kedua alis Mas Angkasa terangkat tinggi.

"Terus Kak Maureen langsung narik si kembar dan melipir pergi. Aku yang sempet blank karena kaget, baru bisa gerak begitu Papanya Akis nepuk pundakku."

"Terus si kembar gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana. Aku lihat mereka sempat bingung. Selama di jalan juga jadi sedikit kaku walau mereka tetap haha-hihi. Baru cair setelah Kak Maureen mutusin buat mampir jajan gelato."

"Akis gimana?"

Aku mengedikkan kedua bahuku, "Dia coba hubungin aku terus tapi nggak ada yang aku respon. Cuma chat Kak Maureen aja yang aku respon. Itupun cuma aku respon ala kadarnya. Katanya sih dia lagi murka ke agensinya dan minta mereka buat take down semua berita-berita itu."

"And then?"

Aku mengedikkan kedua bahuku lagi, "Mas Angkasa coba cek aja di medsos sama berita gosip di televisi. Aku sudah malas lihatnya. Sakit kepalaku."

"Kalau Akis mau mengakui pada publik gimana?"

Pertanyaan Mas Angkasa barusan sukses membuat nafasku tercekat.

"Semoga enggak. Anak-anakku nggak butuh validasi publik. Cukup mereka sudah tahu siapa ayah kandung mereka. Keluarga Akis yang sudah tahu keberadaan anak-anak itu sudah lebih dari cukup, Mas Angkasa."

"Kalau keinginan anak-anak berbanding terbalik dengan keinginanmu gimana?"

Tanganku langsung refleks memukul pundak Mas Angkasa, "Kamu nih ya Mas ngomongnya ngaco deh. Jangan ngomong gitu ah."

Dia malah tertawa pelan, "Loh memangnya kenapa? Kan nggak menutup kemungkinan kalau anak-anak ingin dikenal sebagai anak Akis kan?"

Aku mendengus sebal, "Nggak tau ah. Mas Angkasa mah gitu. Malah nambahin bahan overthinking ku aja."

Dia tertawa lagi, "Okay okay. I'm sorry yaa, Noushava. Lagian aku rasa yaa, si kembar cukup dengan Papasa aja deh. Iya nggak sih?" ucapnya dengan ekspresi serius berpikir.

Gantian kali ini aku yang tertawa pelan, "Maksud Mas Angkasa gimana? Takut aku yang salah paham nih, Mas."

"Yaa Nira dan Kara udah cukup dengan kehadiran Papasa. Nggak butuh Papa Akis lagi. Masa gitu aja kamu salah paham sih?"

Aku malah semakin tertawa.

"Tuh kan malah ketawa. Serius lho aku, Nou. Pantes aja si Langit sering uring-uringan. Ternyata begini rasanya digantungin sama kamu ya."

"Ih Mas Angkasa apaan siih kok malah jadi ke situ bahasannyaaa."

Akhirnya ekspresi serius Mas Angkasa tergantikan oleh tawanya lagi.

"Tapi serius aku mau tanya deh, Nou. Aku nggak tau apa yang sebenarnya kamu rasakan sama Langit ataupun sama aku. Kalau harus memilih satu diantara kami, kamu akan pilih siapa?"

"Hmmm aku sih akan ikutin pilihan anak-anak sih, Mas."

"Yang aku tanya pilihan kamu lho. Bukan pilihan si kembar."

"Ya iya pilihanku ya siapapun yang dipilih anak-anak. Karena kan Mas Angkasa tau sendiri, saat ini mereka itu sudah prioritas utamaku." kilahku.

"Okay kalau kondisinya kayak gini, Nira pilih Langit dan Kara pilih aku atau sebaliknya. So how?"

For the God's sake. Aku masih belum siap dengan pertanyaan yang satu ini..





---//---

Kiw kiiwww! Mas Angkasa mulai meresahkan Mima nih, Guys. Kira-kira Mas Angkasa beneran suka Mima atau cuma ngeledekin Mima aja yes? Papasa beneran memendam rasa buat Mima atau Papasa cuma anggap Mima sebagai adik yang harus dia lindungi ya?🤔🤔🤔

Btw semalam aku kaget begitu mau post part 21, ternyata last update (part 20)nya tuh April 2023🥲 Maafin aku ya sayaang atas keterlambatan ini🙏🏼🙏🏼😘

NirankaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang