-Flashback-
Setelah bertahun-tahun menetap di Auckland, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke negara asalku.
"Nggak menutup kemungkinan aku akan ajak anak-anak tinggal di luar lagi, Mam. Seenggaknya anak-anak ngerasain dulu tinggal di Indonesia."
Kalimat itu aku ucapkan pada Mama saat kami membicarakan niatku membawa anak-anak kembali.
"Anak-anak berhak mengetahui siapa Ayah kandung mereka. Lambat laun mereka pasti akan tau juga bukan? Ya walaupun keputusan itu tetap ada di tanganmu, mau kamu kasih tau mereka atau enggak. Lagipula, bukan Akis yang memutuskan untuk pergi bukan?"
Ucapan Papa itu yang membulatkan keinginanku untuk kembali ke Jakarta. Menempati rumah masa kecilku yang selama beberapa tahun ini juga kosong karena Papa dan Mama memutuskan pindah ke Bali.
Suara ponselku menarikku kembali dari ingatan beberapa waktu lalu itu. Panggilan video dari Langit dan juga Mas Angkasa.
"Mimaaa!" seru Langit begitu aku menjawab panggilan itu.
"I'm heree." sahutku dengan tak kalah sumringah.
"Anak-anak mana, Nou?" tanya Mas Angkasa.
"Di kamarnya, lagi packing sisa-sisa perlengkapan mereka yang belum kebawa."
"Yang lainnya sudah dikirim semua?" kali ini Langit yang bertanya.
"Sudah kemarin. Aku kirim pakai ekspedisi yang direkomendasi temanku di sini."
"Nanti dikelilingin lagi setiap bagian apartemen. Pastikan nggak ada yang ketinggalan selain kenangan kalian di sana." ucap Mas Angkasa yang membuatku menghela nafasku sambil menatap sekeliling kamar apartemen sederhana namun nyaman kami ini.
"Setiap perpindahan pasti berat. Aku yang sudah biasa pindah-pindah tugas aja selalu berat tiap harus pindah tugas." sambung Mas Angkasa.
"Kalau kalian kangen suasana di sana, kan bisa nanti liburan jalan-jalan ke Auckland." ucap Langit.
Aku mengangguk, "Walau cuma beberapa tahun tinggal di sini, tapi terlalu banyak kenangan kami di sini. Masa kehamilanku, kelahiran anak-anak, sampai masa-masa paling berwarnaku jadi ibu tunggal di negeri kiwi ini."
"Tapi kalian happy kan balik ke sini?" tanya Langit.
"Ya happy doong, Lang. Anak-anak excited banget."
"Kenapa nggak ke Bali aja sih, Nou? Aku pindah base ke Bali karena mikirnya kalian pasti ke Bali lho karena Om dan Tante ada di sini." tanya Langit.
Keputusanku pindah ke Jakarta dan bukan Bali memang baru kuputuskan beberapa minggu sebelum hari H kepindahan kami.
"Aku cuma nggak mau repotin Papa dan Mama. Yaa walaupun mereka nggak ngerasa direpotin juga sih. Cuma tetap aja aku mau coba hidup mandiri sama anak-anak di Indonesia."
"Kalau nggak mau ke Bali, bisa lho pindah ke Surabaya. Ada Papa dan Mamaku yang pasti seneng banget karena jadi dekat sama si kembar kesayangan mereka." ucap Mas Angkasa.
"Kalau kami sudah di Jakarta sih mau ke Surabaya atau Bali, gampang lah itu. Nggak sejauh kalau kami dari sini." jawabku.
"Lagian mau kalian di mana juga pasti kami akan datengin kalian. Mana bisa kami lama-lama nggak main sama Nira dan Kara kesayangan kami semua itu. Ya kan, Mas?"
Mas Angkasa tertawa pelan mendengar ucapan adiknya barusan.
"Yakin lo? Bukan karena nggak kuat menahan rindu sama Mimanya Nirankara?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirankara
Cerita PendekSetelah meninggalkan kota yang penuh romansa dan problematika masa mudanya selama bertahun-tahun, Nou memutuskan untuk kembali hidup di kota itu. Tak hanya sendiri, kini dia kembali bersama dua alasan terbesarnya untuk tetap kuat menjalani hari-hari...
