Satu bulan kemudian..
"Mana anak-anakku?"
Aku terus merapikan meja kerjaku. Sama sekali tak berniat untuk menjawabnya.
"Aku tanya sama kamu, Hava! Di mana anak-anakku?!"
Aku menghentikan pergerakkan tanganku lalu menatapnya datar.
"Anak anda? Anda mengigau? Untuk apa menanyakan anak anda sama saya? Salah sambung, Pak."
Kembali aku merapikan pensil dan kertas-kertas yang masih berserakan di meja. Kudengar langkah kakinya mendekat ke arahku.
Brak!
"Anda gila?!!?" seruku kencang begitu laki-laki di hadapanku ini dengan seenaknya menggebrak meja kerjaku.
"Iya! Aku benar-benar gila karena perempuan di depanku ini ternyata sudah menyembunyikan anak-anakku selama bertahun-tahun."
Aku refleks berdecih.
"Siapa yang anda maksud? Hah?!" tantangku sambil menatapnya sengit.
Tatapan laki-laki yang sudah banyak mengubah hidupku ini semakin nyalang. Kupingnya pun sudah memerah.
"Allen dan Xena Nirankara. Mereka anak-anakku!"
Aku berdecih samar, "Atas dasar apa anda mengakui anak-anak saya sebagai anak anda?"
Akis lalu melemparkan satu buah amplop cokelat ke atas meja kerjaku. Jantungku mulai berdegup tak karuan.
"Beberapa bukti kalau mereka adalah anak-anakku."
Aku meliriknya dan amplop cokelat itu bergantian.
"Kenapa? Nggak berani liat karena ternyata aku memang benar?"
Tanganku langsung terulur untuk mengambil amplop cokelat dan membukanya perlahan. Foto-foto Nira dan Kara. Ada juga beberapa dokumen kelahiran mereka berikut dengan foto rumah sakit tempat mereka dilahirkan. Bahkan ada profil dan foto dokter yang merawat kami.
Aku kembali melirik Akis. Tatapannya tajam ke arahku.
"Jadi, siapa Angkasa?"
"Apa urusan anda? Anda tidak --"
"Jelas ada urusannya dan aku berhak untuk tau. Anak-anakku memanggilnya Papa. Yang seharusnya panggilan itu untuk aku, Hava!"
Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Kenapa anda tidak menyuruh mata-mata anda sekalian untuk mencari tau siapa itu Mas Angkasa? Atau mata-mata yang anda sewa tidak sehebat itu?"
Rahang Akis mengeras, "Cukup sebatas fakta kalau Angkasa ternyata bukan suami kamu apalagi ayah dari Nira dan Kara. He's still single."
Aku menyandarkan punggungku pada sandaran kursi lalu memijat pelipisku perlahan. Seperti yang sudah orang tuaku katakan, kembali ke sini berarti aku harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Cepat atau lambat, Akis akan tahu kalau Nira dan Kara adalah anak kandungnya.
"Lantas, apa yang kamu inginkan? Bukankah sudah cukup dengan mengetahui kalau mereka adalah anak kandung kamu?"
Akis lalu tertawa sinis, "Mereka anak-anakku Hava. Mereka harus tahu kalau aku adalah Ayah biologis mereka."
"Apa kamu sudah pikirkan dengan baik akan semua ini? Karier kamu? Reputasimu?"
"Persetan dengan semua itu. Aku nggak peduli."
"Lantas bagaimana dengan keluargamu? Bukankan kamu sudah menikah?"
Mata Akis melebar seketika. Entah dia terkejut karena aku sudah tau kabar tentang pernikahan rahasianya atau karena dia belum memikirkan yang satu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirankara
Short StorySetelah meninggalkan kota yang penuh romansa dan problematika masa mudanya selama bertahun-tahun, Nou memutuskan untuk kembali hidup di kota itu. Tak hanya sendiri, kini dia kembali bersama dua alasan terbesarnya untuk tetap kuat menjalani hari-hari...
