The Last Leaf || Part 15. Obsessed✓

12K 674 4
                                    

"Kamu tau Za, kupikir aku tak akan lagi melihat Imel". Al-Fath dengan bahagia menceritakan tentang pertemuannya dengan Mira bahkan ia menunjukkan foto Mira.

Zara hanya bisa diam, ia bahkan tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini di ponsel Al-Fath.

"Tapi kan beda orang bang".

Al-Fath menyenderkan kepalanya di sofa,"Mau beda orangnya ataupun namanya, bagiku dia adalah Imel".

"Tapi dia Mira". Zara mengingatkan,"Mereka beda orang, hanya kebetulan saja berwajah sama".

"Kamu kenapa sih?".

Emosi Zara sedikit naik,"Abang nggak mikir? Gimana perasaan dia tau kalo Abang deketin dia hanya karena Abang belum move on?".

Alfath menggaruk kepalanya, ingin dikata mencari restu dan berbagi kebahagiaan dengan adiknya. Namun Omelan yang ia dapatkan.

"Abang terlalu terobsesi".

"Obsesi?". Mata Alfath memicing,"Obsesi kata kamu? Lalu kami dan bunda yang selalu berusaha buat jodohin aku sama Deira apa? Apa Za? Apa itu nggak obsesi?". Emosi Alfath juga sedikit naik.

"Aku dan bunda nggak pernah memaksa Abang".

"Nggak memaksa, tapi kamu dan bunda selalu memojokkan aku. Belum lagi tingkah Deira yang benar-benar membebani aku!". Al-Fath menegakkan duduknya,"Seharusnya kamu sadar itu!, Hanya karena dia sahabat kamu, kamu bisa seenaknya ngatur aku".

"Kenapa jadi ke Deira sih, masalah ini nggak ada hubungannya sama Deira!". Jawab Zara cepat, "Aku berbicara begini karena Mira, aku juga wanita bang. Dia punya perasaan, apalagi kehadirannya hanya untuk memenuhi obsesi Abang terhadap kak Imel".

Alfath berdiri,"Bukankah sudah kukatakan bahwa jangan ikut campur urusan aku, mengapa kamu ngatur hidupku".

"Demi kebaikan Abang, aku begini. Kita saudara, maka dari itu harus saling mengingatkan". Jelas Zara.

"Apapun yang terjadi,bagiku dia adalah Imel dan jiwa Imel berada di Mira".

Zara berdiri menantang Alfath, meskipun kesulitan dengan kondisi hamil besar."KAK IMEL SUDAH MATI!". Zara berteriak, ia bahkan meluapkan emosinya.

"ZARA!" Alfath berteriak, suaranya menggelegar.

Bruk!!!

Dengan cepat Deira berlari kearah Zara yang terlihat syok dengan teriakan Al-Fath. Deira segera memeluk Zara yang terlihat gemetar dan diam mematung melihat Alfath. Karena bagi Zara ini adalah pertengkaran pertama seumur hidupnya di keluarga Haydar dengan kakak kandungnya sendiri.

"Zaa, kamu bisa dengar aku". Deira memanggil nama Zara, ia memposisikan Zara duduk nyaman di sofa . Deira bahkan menepuk pipi Zara. Mencoba membuat Zara segera sadar.

"Pergi!". Zara dengan mata berkaca memerintahkan Alfath pergi dari rumahnya.

Alfath sedikit syok, ia bahkan tak sadar memangil Zara dengan nada emosi seperti tadi. Langkahnya mendekati Zara, mencoba berbicara bahwa ia menyesal melakukan hal itu.

"Dee, antar aku ke kamar".

Deira segera memapah Zara untuk membantunya pergi ke kamar. Meninggalkan Alfath sendirian.

"Sejak kapan, kamu berada di sini". Tanya Zara, ia dengan hati-hati memposisikan duduknya agar nyaman di kasur. "Kamu dengar semuanya?".

"Sebagian, saja". Deira membantu Zara agar nyaman dalam memposisikan tubuh."Mungkin memang yang dikatakan bang Alfath benar, aku adalah beban baginya". Deira tersenyum kecut.

"Kamu tau tentang perempuan itu?".

"Mira".

Zara mengangguk.

"Dia tinggal di rumahku, hanya untuk beberapa waktu sih. Tapi beberapa hari yang lalu ia sudah pindah ke apartemen". Deira duduk di atas ranjang.

"Aku nggak nyangka, bang Alfath akan bersikap seperti itu sama aku". Zara dengan mata berkaca, kembali mengingat kejadian yang baru saja ia alami. "Apa aku salah? Aku hanya mengingat kan dia. Apa yang ia lakukan salah, hanya karena memiliki wajah yang sama bukan berarti ia adalah orang yang sama".

Deira memeluk Zara,"Okey, nggak apa-apa". Ia mengelus punggung sahabatnya dengan sayang.

"Tadi, Adam telepon. Katanya dia keluar kota, jadi dia minta aku nemenin kamu karena Anissa juga ke rumah mama nya. terus kamu pengen bubur abalon. Tunggu, aku ambil sebentar". Zara mengangguk, mengiyakan perkataan Deira.

Langkah Deira sejenak berhenti, ia melihat Alfath sedang menopang kepalanya yang menunduk dengan kedua tangannya. Deira, dengan langkah pasti ia berjalan menuju paper bag yang sebelumnya ia jatuhkan.

"Gimana keadaan Zara?".

Deira tetap bergeming, ia bahkan fokus melihat apakah bubur yang ia bawa dalam kondisi baik-baik saja atau malah sebaliknya.

Deira berjalan ia melewati Alfath begitu saja.

"Jika ada yang bertanya, bukankah seharusnya kamu menjawab". Al-Fath menyindir Deira.

Deira menghentikan langkah kakinya,"Bukankah kamu, seharusnya sadar diri. Kondisi Zara sedang tidak baik-baik saja". Deira kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Alfath lagi.

Pergi melihat keadaan Zara saat ini bukanlah hal yang baik, mungkin saja dia akan berakhir dengan hantaman bantal. Yang lebih parah adalah lemparan vas bunga.

Al-Fath pergi dari rumah Zara, sepanjang perjalanan di dalam mobil. Ia memikirkan perkataan Zara, memang benar Imel dan Mira adalah orang yang berbeda. Namun, Alfath merasakan bahwa ada sedikit diri Imel Yang ada di dalam diri Mira. Apalagi, mengingat ceritanya saat ia mencoba mencari kembarannya karena mereka berpisah sejak kecil. Namun yang dijumpainya, adalah kabar kematian dari saudara kembarnya.

Jika benar apa yang dikatakan oleh Zara bahwa ia terobsesi dengan Mira karena memiliki wajah yang sama dengan Imel. Maka Alfath akan mencoba memandang Mira adalah dirinya sendiri bukan Imel tunangannya dulu.

Mira calling

Notifikasi pada layar pipih itu menampilkan nama, dengan segera Alfath menerima panggilan masuk.

"Pak Al-Fath?". Suara lembut itu menyapa pendengaran Alfath melewati earpiece yang ia kenakan.

"Bukankah sudah kukatakan untuk tidak memanggil ku Pak". Jawab Alfath.

Terdengar suara tawa,"Hanya saja, saya tidak terbiasa melakukannya. Karena saya sadar diri, saya hanya seorang pegawai biasa". Kilahnya.

"Biasakan untuk memanggilku selain kata Pak saat di luar kantor". Jawab Alfath, dengan mata fokus melihat jalan raya."Sudah waktunya jam makan siang, kamu sudah makan?".

"S..sudah". Memang benar ia sedikit terkejut dengan pertanyaan Al-Fath.

"Kamu bohong".

"Bener, saya sudah makan".

Al-Fath tertawa,"Mana ada, orang yang sudah makan perutnya berbunyi begitu. Bahkan cacingnya berteriak protes".

"Apa terdengar sampai situ?".

"Aku jemput".

"Nggak usah, nanti ngerepotin".

Al-Fath tertawa,"Turun ke parkiran, aku sudah di area apartemen, kita makan bersama di tempat favorit ku".

Mendengar ungkapan itu, Mira tersenyum simpul bahkan jantung nya berdebar kencang.





The Last Leaf (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang