Tersadar dari obat biusnya, Zara menyadari ada hal yang hilang darinya. Deira seorang diri menemani Zara di dalam ruangan dengan bau yang menyengat khas obat-obatan.
Mata Zara berkaca, ia menyentuh perutnya yang kali ini datar. Deira merasa ada hal yang tak kasat mata mencekik dirinya, ia merasakan sesak dan sakit sekaligus melihat Zara saat ini menangis.
"Anak aku." Suara Zara kecil, ia tak bisa duduk. Terbaring lemah di atas ranjang pesakitan, karena luka operasi yang baru saja selesai jam tiga pagi.
Deira datang menghampiri Zara, lalu ia memeluk sahabatnya, meskipun ia harus menunduk karena kondisi Zara. Mereka berdua menangis bersama. Deira membiarkan Zara sepuasnya menangis, ia tak berkata apapun hanya memberikan pelukan menyalurkan kekuatan untuk menghadapi cobaan yang Tuhan berikan kepadanya.
Tak lama pintu kamar inap Zara terbuka, Adam masuk ke dalam ruangan. Deira menyingkir untuk memberikan akses Adam dan Zara saling berbagi kesedihan. Keluarga yang lain pun juga menyusul, mereka memasuki ruangan Zara. Terlihat wajah berduka yang amat dalam di pancarkan, semua orang yang ada di sana. Termasuk kedua orang tua Deira, yang juga membesuk Zara selepas acara pemakaman bayi perempuan Zara dan Adam.
"Aku mau cari Anissa dulu," Pamit Deira pada Adam.
Deira keluar dari kamar inap Zara, ia mengatur napasnya agar ia tak kembali menangis.
"Mau kemana?" Tanya Al-Fath saat melihat Deira yang berdiri di depan pintu kamar inap Zara.
"Cari Anissa." Jawabnya singkat, lalu ia pergi untuk mencari Anissa yang sedang bersama dengan Satria saat ini.
***
"Aw." Kata Anissa yang meringis kesakitan, ia menyentuh lutunya yang terlihat memerah.Anak kecil seumuran Anissa, berlari mendekati Anissa."Maafkan kakak ku, dia tidak sengaja." Dengan nadanya yang cadel, ia mengulurkan tangan membantu Anissa berdiri.
"Namaku Kyra, nama kamu siapa?" Tanya gadis kecil bernama Kyra itu pada Anissa.
"Anissa." Jawab Anissa, ia masih sibuk mengibaskan tangannya untuk membersihkan sedikit tanah yang menempel di sana.
"Anissa!" Anissa menoleh mendengar namanya dipanggil, Satria dengan wajah paniknya dan keringat bercucuran kebingungan mencari Anissa, saat dirinya masih antre membeli es krim.
"Aku cari kalian kemana-mana, malah disini." Deira tiba-tiba saja datang.
Satria dan Anissa saling bertukar pandangan, "Jangan bilang Onty Dee, nanti kita kena marah." Bisiknya pada Anissa dan disetujui olehnya dengan anggukan.
"Bisik-bisik apa?" Tanya Deira penasaran.
"Nggak ada, ada apa? Zara udah siuman?" Satria mengalihkan pembicaraan.
Deira mengangguk,"Duduk disana yuk." Tunjuk Deira pada deretan bangku di kantin rumah sakit."Sekalian Anissa biar menghabiskan es krim nya dulu." Tambah nya lalu ia berjalan lebih dulu.
Deira bercerita pada Satria, kondisi Zara yang saat ini masih syok atas apa yang dialaminya. Jujur saja, dia tidak kuat berada disana melihat kondisi sang sahabat.
***
Kondisi Zara lebih baik daripada kemarin, Deira sering mengunjungi sahabatnya itu di rumah. Karena ia sudah diperbolehkan pulang, namun harus tetap dengan pengawasan orang lain."Gimana keadaan hari ini?" Tanya Deira yang meletakkan bungkusan buah di meja.
"Alhamdulillah, sudah lebih baik." Jawab Zara yang sedang memposisikan dirinya setengah tiduran di sofa.
Deira pun mendekati Anissa yang sibuk mewarnai gambaran sebagai tugas sekolah. Deira juga duduk di karpet di samping Anissa.
"Bagus sekali gambarnya." Puji Deira pada Anissa.
"Terima kasih Onty," Ucapnya dia tersenyum memperlihatkan giginya.
Deira mengelus rambut hitam gadis kecil itu,"Pinter banget siih." Gemasnya pada Anissa.
"Bunda gimana caranya bisa punya sahabat baik?" Tanya Anissa pada Zara.
Zara tampak berpikir,"Sahabat yang baik ya?"
Anissa mengangguk,"Seperi Bunda dan Onty," Jelasnya, dia juga ingin mempunyai sahabat.
"Ya harus baik dulu sama orang," Deira menjawab.
"Oh begitu." Anissa mengangguk-anggukkan kepalanya seolah dia mengerti."Aku juga mau punya sahabat." Ucapnya sangat antusias.
"Kata siapa bunda sama Onty sahabat?" Zara menggoda Anissa.
"Kata Om Al-Fath, Ayah juga bilang." Jawabnya, dengan suara menggemaskan khas anak kecil. Dan juga mata yang berbinar memancarkan kebahagiaan.
Deira berdiri dari posisinya, ia mendekati Zara lalu memeluknya. Hal itu juga diikuti Anissa.
"Best Friend Ever." Kata Deira
"Best Friend Ever." Kata Zara
"Best Friend Ever." Anissa mengikuti kata-kata mereka, dengan pelafalan yang tidak terlalu jelas.
****
Al-Fath sudah memikirkan matang-matang, mengenai perkataan Mira tempo hari. Jika memang keluarganya tak setuju dengan keputusan yang dia ambil. Maka, Al-Fath dengan caranya sendiri akan membuat keluarganya mau tak mau akan tetap menerima Mira.Ia hanya merasakan bahwa mimpinya saat bertemu Imel, adalah sebuah pertanda bahwa memang Mira yang di maksud oleh Imel. Seorang gadis yang berdiri jauh dibelakang Imel, Al-Fath yakin itu adalah Mira.
Lamunan Al-Fath buyar, disaat seseorang masuk membawa berkas dan memberitahu bahwa Al-Fath untuk memberikan tanda tangannya. Orang itu juga memberi tau bahwa sudah waktunya untuk Al-Fath segera mengikuti rapat pemegang saham sebelum acara pelantikan dirinya dilangsungkan.
Al-Fath bergegas, ia pergi meninggalkan ruangannya. Tak disadari olehnya, orang tersebut tersenyum puas saat ia mengganti dokumen asli dengan dokumen palsu. Tak lupa dia juga menduplikat tanda tangan Al-Fath. Setelah pekerjaannya selesai, ia pergi tanpa meninggalkan jejak.
***
Mira berulang kali menolak panggilan telepon dari bosnya, ia merasakan bahwa semakin lama dirinya dimanfaatkan oleh bosnya itu.Mira bukan orang bodoh, yang akan membiarkan dirinya terlarut dalam paksaan tersebut. Maka dari itu, Mira juga mempersiapkan saat suatu hal yang tidak diinginkan ada senjata yang bisa melawan balik bosnya.
Sedangkan di seberang sana, laki-laki yang duduk di sofa mengenakan setelan lengkap tersebut menguarkan aroma tembakau yang ia hisap. Ia tau Mira pasti akan sedikit membangkang.
"Awasi dia terus," Perintahnya pada seorang pekerja berpakaian serba hitam.
"Baik Bos." Lalu laki-laki itu pergi melaksanakan perintah.
Ludwig namanya, ia adalah saingan bisnis Al-Fath, apalagi semenjak Al-Fath memenangkan tender bernilai puluhan triliun. Ludwig semakin membenci Al-Fath, bahkan perusahaan miliknya hampir saja mengalami kebangkrutan karena banyak orang yang beralih menginvestasikan uang mereka di perusahaan Al-Fath yang lebih menjanjikan.
Ludwig berjalan ke arah kaca besar yang menampilkan padatnya kehidupan kota, sore itu. Bekerja sama dengan Mira memang lah tidak sulit. Ia hanya merasakan was-was, jika gadis itu melakukan kesalahan. Karena menurutnya Mira sedikit gila, bahkan ia bisa menghabisi nyawa saudara kembarnya sendiri. Hanya karena ia merasa iri pada kehidupan milik Imel saudara kembarnya.
Ludwig
🍃🍃🍃🍃🍃
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Leaf (END)
General FictionJangan lupa Follow Author dulu sebelum membaca, thanks Masih banyak typo dan juga kesalahan tanda penulisan, mohon di maklumi. Karena karya ini belum di revisi. Cover : Pinterest and Canva Kehilangan calon istrinya membuat Alfath Putra Haydar menja...