Butuh waktu yang cukup lama untuk Al-Fath, sekedar hanya untuk mendekati Deira. Hampir dua tahun, waktu yang ia butuhkan sekedar mendekat ataupun berada di sekitar Deira tanpa harus diusir olehnya.
Seperti saat ini mereka berdua makan dengan tenang di sebuah restoran ternama, meskipun dengan sedikit unsur paksaan Al-Fath akhirnya Deira mau diajak makan berdua.
"Aku ingat kita pernah ketemu deh, disini." Deira mencoba mengingat momen itu.
Sedangkan Al-Fath tetap tenang, ia sendiri tidak mengingat hal-hal kecil seperti itu. Pekerjaannya terlalu banyak.
Deira menjentikkan jari,"Ah iya, kamu kesini sama mantan calon istri kamu." Ucap Deira saat ia mengingat kejadian itu.
Al-Fath kembali berpikir, ia sadar Deira saat ini tengah menyindirnya. Semenjak kejadian itu, yang Al-Fath dapatkan adalah sikap dingin dan sindiran yang Deira terus katakan. Al-Fath menyesali perbuatannya dulu hingga ia kehilangan sisi manja dari Deira.
Tak lama waiters datang sambil membawa pesanan, mereka berdua kembali sibuk menikmati makanan yang terasa hambar karena pikiran mereka lebih memilih berkelana.
Setelah menghabiskan hidangan yang mereka pesan, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pergi dari sana. Meskipun waktu telah berlalu, ingatan Deira ketika pertama kali bertemu dengan Arman masih melekat jelas di ingatan.
Meskipun satu mobil, tapi hanya suara hening yang menyelimuti. Tak ada percakapan apapun, Deira hanya sibuk melihat pemandangan kota dari jendela kaca mobil Al-Fath. Sedangkan Al-Fath sendiri, meskipun sesekali ia melirik Deira tapi fokusnya tetap melihat ke arah depan.
"Kamu bisa turunkan aku di taman depan." Ucap Deira setelah sekian lama bungkam.
"Untuk apa?"
"Aku hanya minta untuk diturunkan di sana."
Al-Fath berdecak, taman yang Deira maksud adalah taman yang sering Deria kunjungi bersama dengan Arman."Aku harus tau alasannya."
"Kamu tidak perlu tau alasannya." Deira membantah Al-Fath.
Al-Fath merasakan cemburu, ia ingin marah, hatinya juga merasakan kesal.
"Aku harus tau alasannya, aku menjemputmu dari rumah. Maka aku harus mengantarkan kamu sampai rumah dengan selamat." Al-Fath memberikan alasan.
"Apa sih sebenarnya mau kamu?" Deira kini menatap Al-Fath sengit.
Al-Fath menepikan mobilnya, tak baik beradu pendapat saat mobil sedang melaju di jalan raya.
"Aku tau, kamu bersikap seperti ini hanya karena merasa bersalah kan?! Gara-gara calon istri yang kamu banggakan aku kehilangan calon suami aku." Deira kembali bersuara, suara yang keluar dari mulut Deira pun terdengar berat karena menahan kesedihan di dalamnya bahkan nafasnya juga memburu.
"Tidak!, apa yang kamu katakan salah." Al-Fath masih berusaha mengontrol emosi, ia tau tak sekali dua kali Deira bersikap seperti ini. Yang Al-Fath yakini, Deira terus berusaha mendorongnya untuk pergi menjauh dari dirinya.
"Sampai kapan?" Deira menatap lekat kedua mata Al-Fath,"Sampai kapan kamu berpura-pura seperti ini?"
"Aku sama sekali tidak berpura-pura!" Jawab tegas Al-Fath.
"Aku tidak akan memaksa untuk pergi, dan juga aku tidak memaksa untuk tetap tinggal."
Al-Fath tau arah pembicaraan Deira, perempuan yang duduk di bangku penumpang tepat di sebelahnya ini sedang menguji kesabaran Al-Fath. Trauma Deira belum sepenuhnya sembuh, dan Al-Fath dengan sikap terburu terus mendekati Deira.
Rasa kebersamaan Deira dan Arman masih melekat di memori. Deira yang merasakan kehilangan teramat, akhirnya memilih membuat tembok pembatas antara dirinya dengan Al-Fath. Salah Al-Fath juga, seandainya ia bisa menerima Deira pelan-pelan dimasa lalu. Pasti Deira tidak akan merasakan patah hati seperti ini saat ini. Jika saja ia menyadari perasaannya dengan cepat, ia akan bahagia dengan Deira saat ini.
"Aku ingin sendiri." Ucap Deira, ia bersiap bahkan sudah melepaskan safety belt.
Al-Fath yang melamun pun kembali sadar, ia menatap sekilas Deira. Lebih baik mereka saling menenangkan pikiran masing-masing sendiri saat ini, daripada bersama namun saling menyakiti.
Setelah berucap Deira akhirnya turun dari mobil, tak lama setelah sedikit berjalan menjauh dari mobil milik Al-Fath. Deira kembali melambaikan tangan untuk menghentikan taksi. Al-Fath sendiri, hanya bisa memandang Deira yang kembali menjauh menaiki taksi.
***
Seakan dunianya kembali berhenti berputar, Deira hanya diam sambil terus mendengarkan suara panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Langkah kakinya benar-benar berat, tangannya bahkan sudah tidak mampu memegang ponsel yang melekat di telinga nya hingga terjatuh begitu saja.
"Dee!!!" Satria memanggil Deira, dan berusaha membuat Deira kembali kesadarannya.
Semua terjadi begitu cepat, bahkan Deira sendiri tidak menyadari bahwa ia kini sudah berada di dalam mobil Satria dan dalam perjalanan.
Baru tadi siang ia bertemu dengan Al-Fath, bahkan ia juga sempat bertengkar dan beradu pendapat. Deira terus merapalkan doa, bahkan kedua telapak tangan yang saling bertaut tersebut saat ini terus bergetar dan juga sudah basah karena keringat.
Sampai di rumah sakit, Satria memarkir mobilnya. Deira tanpa menunggu Satria, ia sudah berlari terlebih dahulu.
Al-Fath mengalami kecelakaan, Deira menangis, ia takut kehilangan Al-Fath sama seperti saat dirinya kehilangan Arman.
Lorong rumah sakit terasa sangat jauh menuju IGD, Deira sekuat tenaga berlari menuju ke sana. Ia harus segera melihat keadaan Al-Fath.
Menerima informasi dari perawat, Deira segera menuju ke bilik yang dimaksud. Tangan Deira membuka tirai tersebut, disana diatas ranjang rumah sakit Al-Fath tengah memejamkan mata. Berbagai macam perban menutupi tubuhnya.
Tak kuasa air mata Deira mengalir, ia melangkahkan kaki mendekat pada Al-Fath. Hatinya merasa di remas, ia terus mendekati Al-Fath yang masih terbaring sambil memejamkan mata.
Entah apa yang ada dipikiran Deira, ia tiba-tiba memeluk Al-Fath yang masih memejamkan mata. Deira menangis, hatinya merasakan penyesalan entah apa tapi rasanya sangat mengganjal.
"Udah nangisnya?"
Deira menegakkan tubuhnya mendengar suara Al-Fath, bahkan ia mengedipkan mata berkali-kali untuk melihat apa yang dia lihat saat ini benar atau tidak.
"Kamu jelek kalau lagu nangis." Ucap Al-Fath sambil mengelap jejak air mata di pipi Deira.
"Apaan sih!" Deira mencoba menyembunyikan rasa malu dan juga pipinya yang memerah saat ini.
Al-Fath membenarkan posisi dari tiduran,"Serius, kamu jelek kalo lagi nangis." Ia kembali mengelap jejak air mata Deira,"Apalagi nangis karena aku, jangan diulangi."
Pipi Deira semakin memanas,"Apaan sih, PeDe banget!" Kilah Deira cepat.
Deira dalam situasi sulit, Al-Fath terus meledek dirinya. Tak lama Satria datang bersama dengan kedua orang tua Al-Fath, dan juga disertai seorang perawat yang mengantarkan Al-Fath ke ruang inap.
***
Next...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Leaf (END)
General FictionJangan lupa Follow Author dulu sebelum membaca, thanks Masih banyak typo dan juga kesalahan tanda penulisan, mohon di maklumi. Karena karya ini belum di revisi. Cover : Pinterest and Canva Kehilangan calon istrinya membuat Alfath Putra Haydar menja...