Deira sibuk membuat pohon keluarga di temani Satria yang berada di dalam ruangan kantornya.
"Jadi bisa dikatakan kita sepupu?" Tanya Deira, entah sudah berapa kali ia menanyakan pertanyaan yang sama.
"Hmm," Satria hanya menjawab sekenanya, ia memilih bersantai duduk di ruangan Deira dan menikmati kopi.
"Ck, sudah pergi sana. Seharusnya anda bekerja Pak Satria?" Deira mengusir Satria secara halus.
"Nanti aku akan bekerja, bertemu dengan klien." Satria menunjuk Deira,"Dan juga, aku tidak suka dipanggil Pak Satria. Tapi aku lebih suka dipanggil Kakak Satria."
Deira tertawa mendengar perkataan Satria, ia berjalan mendekati Satria dengan berkacak pinggang.
"Panggil Kakak Satria?" Tanya Deira sekali lagi.
Satria menganggukkan kepala.
Deira mengambil map yang berada di atas meja kerjanya, lalu memukulkan map itu ke tubuh Satria. "Dalam mimpimu!" Ucapnya, dengan gerakan lincah terus mengarahkan map itu ke tubuh Satria.
Satria yang kaget refleks berdiri, ia tertawa, terus saja membuat jengkel Deira."Pasti mimpi yang indah!"
Deira melepaskan sepatu heelsnya mengarahkan pada Satria, hingga heels tersebut benar benar melayang. Namun beruntung, tidak mengenai Satria yang langsung berlari keluar dari ruangan.
"Jangan galak-galak adik cantik! Wle." Satria menyembulkan kepala sedikit.
Deira yang jengkel, hendak kembali melepas sepatu heelsnya di sisi kanan. Dengan cepat Satria sudah kabur.
Deira berjalan, kembali mengambil sepatu nya. Suara interkom, membuatnya berjalan cepat untuk segera menerima informasi. Deira segera bersiap untuk berangkat ke pengadilan untuk mendengar putusan hakim mengenai salah satu klien nya.
"Mau aku antar?"
Deira melirik Satria yang tiba-tiba saja sudah berdiri dan berjalan mengikutinya, "Aku bisa sendiri, udah biasa juga."
"Padahal aku gabut, gak ada kerjaan." Satria memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana bahan yang ia kenakan.
Deira terus berjalan, sesekali ia menyapa orang lain yang berpapasan dengannya. Deira berhenti di depan pintu lift yang masih tertutup, lalu ia menekan tombol menuju ke lantai satu.
"Itulah bedanya aku dan kamu?" Deira menanggapi perkataan Satria.
"Apa?"
"Aku normal dan kamu aneh."
Satria melongo, bagaimana bisa dia dikatakan aneh oleh adik sepupunya itu. "Aneh dari mananya?"
Deira hanya mengendikan bahu, lalu ia sibuk mengetikkan sesuatu di aplikasi pengirim pesan. Satria dengan sikap usilnya, mengintip pesan-pesan yang di ketikan di ponsel milik Deira.
"Janjian dengan Al-Fath?"
Deira memicingkan mata, "Selain aneh, kamu juga tukang intip." Tak lama,pintu lift terbuka. Deira segera masuk kesana dengan masih diikuti Satria.
"Memangnya kamu dan Al-Fath, kalian berdua ada hubungan?" Tanya Satria.
Seketika, Deira menghentikan gerakan jemarinya. ia bingung menanggapi pertanyaan dari Satria. Memiliki hubungan dengan Al-Fath memang tidak.
"Tidak perlu dijawab." Pintu lift terbuka, Deira dan Satria berjalan keluar dari sana. "Jadi siapa disini yang aneh?"
"Kamu mengataiku aneh?" Mata Deira memicing.
"Kamu memang aneh, kamu itu cantik , pintar, baik. Berhenti mengharapkan Al-Fath yang bahkan dia nggak pernah menghargai keberadaan mu." Terdengar nada serius dari Satria, "Jangan jadi obat untuk orang yang menolak untuk sembuh, sia-sia dan tentu saja membuang waktu." Setelah mengatakan itu, Satria pergi meninggalkan Deira yang masih diam terpaku mendengarkan tutur kata dari Satria.
Deira tak menyangkal, apa yang dikatakan Satria benar adanya. Tak jarang Al-Fath, seringkali memang menolak kehadirannya. Hatinya tiba-tiba gamang, Deira menggeleng hanya sampai perjanjian kesepakataan mereka selesai. Setelah itu, dia akan benar-benar mengikuti perkataan Satria.
"Satria Sialan!" Gerutu Deira saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Deira lalu berlari keluar dari gedung, segera mungkin karena hampir saja ia terlambat.
****
Al-Fath hanya diam, matanya fokus melihat pot bonsai mawar sebagai tanda perjanjian antara dirinya dan Deira. Akhir-akhir ini, tidak seperti biasanya. Deira jarang sekali menghubunginya. Mungkin saja, karena mereka sama-sama sibuk.
Berpikir lagi, mengenai perkataan bundanya beberapa saat lalu. Perasaan Al-Fath memang masih gamang terhadap Deira. Dia tak yakin pasti, Al-Fath tak layaknya seorang pengecut ia masih meragukan perasaannya sendiri.
Banyak sekali, pertanyaan yang bercokol dibenaknya. Dan yang paling mengganggunya adalah sampai kapan Deira akan menunggunya, menunggu dirinya siap untuk membuka lagi hatinya. Apalagi keberadaan Satria disisi Deira, keberadaan Satria yang memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama Deira.
"Melamun terus kerjaannya."
Al Fath tersenyum mendengar suara itu, lalu ia berjalan mendekati sang empunya.
"Lagi suntuk, kerjaan banyak". Al Fath langsung mendudukan dirinya di single sofa, "Sama siapa kesini?".
"Sendirian, tadi naik taksi".
"Adam?"
"Nanti nyusul kesini, tadi masih rapat di luar. Terus nanti jemput Annisa". Jelas Zara
"Tumben kamu main kesini?" Al Fath menyenderkan kepala di bantalan sofa. "Nggak biasa"
Zara berdiri dari duduknya."Maunya sih ke onty Dee, tapi dia lagi di pengadilan." Zara mengelus perutnya yang masih datar, ia pun berjalan mendekati letak pot bunga mawar. "Kenapa nggak di rawat sih bang? bunganya jadi layu kan?" gerutu Zara. "Aku rawat aja ya," tawar Zara.
"Biar saja, yang ngasih memerintahkan abang untuk nggak ngerawat bunga itu."
"Memang siapa yang ngasih ini ke abang?" Tanya Zara menyelidik.
"Deira"
Zara kembali berjalan ke tempatnya semula, lalu ia berdiri dan berkacak pinggang di depan Al-Fath."Bang dimana-mana itu cewek yang diberi bunga, bukan malah abang."
"Abang nggak minta," Al-Fath membela diri.
Zara memicingkan mata, "Bunda kemarin telepon aku, katanya abang di tanya-tanya gitu." Zara kembali menghela napas, "Bunda bilang siap, melamar Deira untuk abang. Tapi abang yang masih plin-plan."
"Ya gimana lagi, abang nggak suka di paksa-paksa." Al-Fath bersungut-sungut.
Zara membenarkan letak duduknya, berbicara dengan Al-Fath harus penuh dengan pemahaman. Karena meskipun argumen benar, Al-Fath sangat sering kali lebih menyangkal.
"Gak ada yang maksa, sampai kapan sih denial terus?" Zara tak habis pikir dengan sikap Al-Fath yang layaknya ABG, bisa dilihat bahwa Al-Fath juga mulai suka atau bahkan mencintai Deira.
"Nggak tau," Al-Fath mengendikan bahu.
Zara menggeleng, ia tak habis pikir. Bagaimana bisa ia punya kakak laki-laki dengan sikap menyebalkan seperti Al-Fath. Dan juga bagaimana bisa sahabat kesayangannya suka pada kakaknya yang plin-plan ini.
"Mau balik, abang antar?"
"Nggak usah, aku lagi nggak mood lihat abang." Zara pergi berjalan keluar ruangan meninggalkan Al-Fath.
🍃🍃🍃🍃🍃
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Leaf (END)
Fiksi UmumJangan lupa Follow Author dulu sebelum membaca, thanks Masih banyak typo dan juga kesalahan tanda penulisan, mohon di maklumi. Karena karya ini belum di revisi. Cover : Pinterest and Canva Kehilangan calon istrinya membuat Alfath Putra Haydar menja...