"Bener Mama nggak lihat?" Deira sibuk membuka semua laci yang ada di kamarnya.
"Yang mana sih, jam tangannya?" Tasya juga ikut mencari keberadaan jam tangan putrinya.
"Yang kado dari Zara, Chanel hitam." Deira ingat menyimpan jam itu di laci kamarnya, "Apa ketinggalan di kantor." Deira mencoba mengingatnya kembali.
"Bisa jadi," Tasya menimpali ucapan putrinya,"Lima puluh persen barang kamu itu ada di kamar ini, empat puluh persen di kantor, dan tujuh persennya di mobil."
"Yaudah deh nanti coba aku cari lagi." Nada Deira sudah pasrah,"Mama beneran nggak lihat?" Deira dengan wajah celingukan masih sibuk mencari arloji merk Chanel hadiah dari Zara tahun lalu.
"Nanti mama Carikan, kalau mama nggak males sih." Tasya tertawa, melihat muka cemberut putri semata wayangnya itu."Pake yang lain dulu," Sarannya pada sang anak.
Deira terduduk di kasur empuk miliknya, ia mendengus kesal. Pagi ini sudah siap berangkat ke kantor, tapi jam tangan kesayangan hadiah dari sahabatnya itu bahkan tidak ada di kamarnya.
"Pengen pake itu, sebel deh ma." Gerutunya, sambil mengenakan arloji lain miliknya.
"Cepetan, sana berangkat. Satria susah nunggu di bawah. Lumutan nanti dia." Perintah Tasya.
Meskipun penampilannya sangat sempurna hari ini, tetap saja hatinya dongkol mengingat ia sendiri lupa meletakkan dimana arloji hadiah dari sahabatnya.
*****
Pusing tujuh keliling, itulah yang dirasakan Al-Fath akhir-akhir ini. Setelah perselisihan antara dirinya dan Zara, Al-Fath belum lagi bertemu dengan adiknya itu. Ditambah lagi dengan masalah kantor, dimana kurva pendapatan tiba-tiba saja mengalami penurunan drastis dalam kurun waktu seminggu. Mengakibatkan harga saham anjlok, dan yang paling memusingkan adalah perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengannya melayangkan protes.
Sebuah pesan masuk, Al-Fath dengan segera membaca pesan tersebut. Dengan segera Al-Fath, mengenakan outer tuxedo miliknya.
"Pak Al-Fath mau kemana?" Tanya Vino yang baru masuk ke ruangan, sambil membawa kopi hitam yang masih mengepul.
"Aku ada urusan." Al-Fath lalu pergi melewati Vino yang seperti orang kebingungan. Karena beberapa jam yang lalu, bosnya itu berkata bahwa ia tidak ingin di ganggu dan sekarang ia berpakaian rapi dan terburu-buru pergi.
Vino meletakkan nampan berisi kopi panas itu, buru-buru ia menyusul si bosnya."Pak Al-Fath perlu saya antar?"
Al-Fath dengan mata sibuk melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, dan juga sesekali melihat angka yang tertera di lift."Nggak usah, lebih baik kamu cek pekerjaan saya." Jawab Al-Fath, pintu lift terbuka. Segera ia masuk kedalam sana.
"Mari kita bekerja, segera laksanakan perintah bos." Hibur Vino untuk dirinya sendiri.
***
Satria menggeleng pelan, ia menyenderkan badannya di pinttu masuk ruangan Deira.
"Sudah lebih dari setengah hari". Satria melirik arloji yang ia kenakan."Kamu mondar-mandir, kesana-kemari kemari, dan nggak kerja." Satria mendekati Deira yang terlihat sibuk meneliti seluruh penjuru ruangan."Cari apa sih?"Deira menoleh ke sumber suara,"jam tangan," Ucapnya.
"Lupa naroh dimana?" Tanya Satria, ia juga ikut mencari keberadaan jam tangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Leaf (END)
General FictionJangan lupa Follow Author dulu sebelum membaca, thanks Masih banyak typo dan juga kesalahan tanda penulisan, mohon di maklumi. Karena karya ini belum di revisi. Cover : Pinterest and Canva Kehilangan calon istrinya membuat Alfath Putra Haydar menja...