Deira terus berkutat dengan laptopnya, ia mempersiapkan berkas-berkas yang akan ia bawa nanti ke pengadilan agama. Proses sidang perceraian Hendra di majukan untuk proses mediasi. Mau tak mau Deira harus menyelesaikan berkas-berkas yang di butuhkan.
Apalagi ia harus segera terbang ke Samarinda sore nanti, karena telepon dari Hendra yang memang sudah berangkat terlebih dulu.
Deira meregangkan sendinya, oh masa bodo dengan Al-Fath. Masalahnya belum selesai dengan laki-laki itu, bahkan ia tak ada niatan untuk minta maaf. Deira harus bersikap profesional. Untuk masalah Al-Fath disimpan dulu.
Beralih Deira menyiapkan koper kecil untuk ia bawa ke Samarinda, mungkin dua atau tiga hari ia akan baru kembali ke Jakarta.
Kenapa Samarinda?
Hendra tinggal di Jakarta, punya tambang batubara di kalimantan. Dan ia punya istri orang Samarinda, menurut Deira cantik banget istrinya, Hendra sialan itu malah selingkuh. Kalau diingat, Deira bahkan sudah menyumpah serapah teman sekelasnya itu dulu, bahkan Deira sudah mewanti-wanti Hendra, bahwa ia menjadi pengacara Hendra bukan untuk memberi nasihat agar mereka bisa bersama kembali. Atau setidaknya mencapai kesepakatan perpisahan.
Deira menggeleng tentu saja tidak, Deira akan memperlancar berjalannya perceraian. Calon mantan istri si Hendra itu berhak mendapatkan hal yang lebih. Deira mengangguk setuju.
"Sudah selesai." Deira bertepuk tangan.
Deira merebahkan tubuhnya sesaat di kasur empuk miliknya, mata Deira menerawang ke atap-atap kamar. Di hari minggu ini tadi pagi ia pergi ke rumah Zara.
Skip skip Deira menggeleng ia terusir secara halus, mode merajuk pada Zara mulai on. Biarkan saja ia tidak akan memberi tau Zara bahwa ia akan terbang ke Samarinda, Bodo amat.
Al-Fath manusia super duper cuek itu, Deira kembali menggelengkan kepala, bahkan mengucapkan maaf pun tidak. Sayang sekali dirinya harus terjebak pada pesona laki-laki itu.
Deira bangkit lalu berjalan keluar kamarnya, ia menuruni anak tangga. Mencari keberadaan si mbok, orang yang sudah bekerja pada keluarga Deira sejak ia lahir.
"Mbok!" Panggilnya.
"Ada apa non?"
"Nanti sore nggak usah masak buat aku, mbok masak aja untuk mbok sama Pak Yadi," jelasnya.
"Kenapa non? Mau jalan-jalan?"
"Aku mau ke Samarinda, berangkat nanti sore. Aku udah bilang kan." Deira mencebikkan bibir.
Mbok menepuk kepalanya,"lupa neng, maklum udah tua."
"Ya udah itu aja, aku mau siap-siap."
Deira melangkahkan kaki kembali ke kamar ia akan bersiap-siap, setidaknya ia harus berangkat lebih awal agar tidak terkena macet di perjalanan ke Bandara.
Setengah perjalan menaiki anak tangga Deira berhenti. "Mbok! Nanti pintunya kunci aja. Papa Mama pulang empat hari lagi mungkin." Pesan Deira yang berada di tengah tangga.
"Siap nona cantik." Mbok memberi hormat.
****
Sekali lagi Deira berkaca, dirasa cukup mengamati penampilannya ia memakai kacamata hitam kesayangannya.
"Perfect," Gumamnya.
Deira segera menarik koper kecilnya, terdengar di halaman rumah pak Yadi sudah memanaskan mesin mobil.
Suara notifikasi ponsel miliknya menyadarkan Deira, ponselnya lowbat ia lupa tidak mengisi daya. Terlalu asyik telepon dengan sekertaris membahas berkas-berkas dan juga asyik scroll IG tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Leaf (END)
General FictionJangan lupa Follow Author dulu sebelum membaca, thanks Masih banyak typo dan juga kesalahan tanda penulisan, mohon di maklumi. Karena karya ini belum di revisi. Cover : Pinterest and Canva Kehilangan calon istrinya membuat Alfath Putra Haydar menja...