~~~
Begitu langkahnya memasuki rumah Dara, Lingga langsung mendapati Anita yang tampak cemas. Sedang ditenangkan oleh Raynzal yang harus ijin keluar saat berjaga di rumah sakit, karena alasan pribadi. Bukannya tidak profesional, tapi bagaimana mungkin Raynzal bisa tenang? Membiarkan adiknya pulang ke rumah dengan keadaan seperti saat ini.
Ya, setelah insiden kecelakaan dan bertemunya Dara dengan Ibu Sesil, gadis itu tampak linglung, seakan shock. Raynzal paham, itu adalah respon alami yang pastinya dimiliki oleh orang-orang saat mengalami insiden tidak terduga. Maka dari itu, sekarang Raynzal membiarkan adiknya beristirahat di kamar, meski Dara tidak mengeluarkan satu patah kata pun.
"Dara ada di kamarnya. Kalo mau samperin aja, tapi jangan macem-macem!" Raynzal langsung bersuara, tanpa Lingga bertanya pun.
Lantas Lingga beralih menatap Anita, seakan meminta ijin.
Anita mengangguk. "Temenin Dara gih, Mamih khawatir banget."
Setelah mendapatkan ijin tersebut, tanpa basa-basi Lingga langsung menuju kamar Dara. Bukan hanya Anita saja yang merasa khawatir, ia pun merasakan hal yang sama. Lingga baru datang menyusul kemari, karena tadi di rumah sakit ia sempat melihat Sesil, untuk yang terakhir kalinya. Sejujurnya, masih ada perasaan tidak menyangka dibenak Lingga, bahwa ternyata Sesil akan pergi secepat ini. Seraya mengucapkan permintaan maafnya, Lingga turut serta mengucapkan berbela sungkawa pada Ayah Sesil. Terlepas dari Ibunya yang masih terpukul, hingga meluapkan semuanya pada Dara. Biar bagaimana pun, Lingga dan Sesil ini berteman.
Pintu kamar Dara dibuka secara perlahan. Lingga bisa melihat gadisnya sedang duduk bersandar, terdiam dengan lamunannya. See? Bahkan sekarang kedatangannya pun tidak digubris sama sekali oleh Dara. Namun, begitu tangannya masuk ke dalam genggaman Lingga, Dara sedikit memberikan responnya. Ia membalas tatapan Lingga dengan sayu.
"Kak Lingga," Cicitnya pelan.
"Iya, sayang. Ini aku." Balas Lingga lembut.
"Hiks,"
"Hey, jangan nangis." Lingga menangkup kedua pipi Dara agar langsung mengarah kepadanya.
Masih tersendat dengan tangisannya, Dara mencengkram kuat tangan Lingga. "Sesil," Lirihnya.
Paham akan maksud ucapan Dara, Lingga menganggukkan kepalanya. Senyuman diwajah tampannya masih terpancar, seolah berusaha untuk memberikan ketenangan pada gadisnya. Tangannya kini bergerak dengan pasti membawa Dara ke dalam dekapannya.
"Tadi, ga lama setelah aku nerima telpon dari kamu. Ibu Sesil ngasih tau aku, kalo Sesil drop masuk ICU."
Dara tampak terdiam nyaman dalam pelukan Lingga, memilih mendengarkan.
"Jujur, iya aku sempet kaget. Tapi, gimana pun juga pikiran aku cuma fokus ke kamu. Khawatir sama kamu. Jadi, ya tanpa pikir panjang lagi aku langsung ke lokasi kamu."
Penjelasan tersebut tentu sukses membuat Dara semakin bungkam. Harus kah Dara senang? Karena Lingga memprioritaskannya? Atau justru sebaliknya, karena kabar duka Sesil yang menerpanya?
"Jangan ngerasa bersalah." Ucap Lingga mengurai pelukan mereka. Ingin menatap Dara, untuk meyakinkannya. "Ini semua bukan salah kamu, okay? Ga ada yang bisa nyalahin takdir, sayang. Kamu tau itu. Sekali pun tadi aku lebih milih dateng ke rumah sakit, itu ga akan mengubah apapun. Karena kenyataannya Tuhan memang lebih sayang Sesil."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend Is a Lecturer? [Completed]
Fiksi PenggemarTakdir seseorang memang tidak ada yang tahu. Siapa yang menyangka, Dara Griselda, mahasiswi selengean, barbar dan tersantai sepanjang masa itu, akan di incar oleh dosen baru di kampusnya. "Saya suka sama kamu." "Suka dalam artian?" "Dalam arti saya...