~~~
"Umur kamu udah terbilang matang. Mau nunggu apalagi, hmm?"
Lingga yang sudah ke sekian kalinya mendapatkan pertanyaan tersebut, tampak menghembuskan napas beratnya. Berbicara masalah pernikahan, tentu ia tidak bisa mengambil keputusan hanya seorang diri saja. Ada pasangan yang juga harus turut andil dalam mengambil keputusan tersebut.
"Dari kemarin, Mama udah sabar banget loh, nunggu kamu buat bilang sendiri tentang ini. Tapi, Mama tunggu-tunggu, malah tetep ga ada." Lanjut Eva lagi.
"Ma, sekarang belum waktunya aja."
"Kenapa? Apa alasannya?"
"Dara masih magang. Biarin dia fokus dulu sama kegiatannya."
Eva memijit pelipisnya, mendengar kalimat yang baru saja keluar dari putranya. "Lingga, magang aja ga bisa dijadiin alesan. Kamu laki-laki, kamu harus bisa tegas sama Dara. Bilang, kalo kamu udah siap buat mempersunting dia sebagai istrinya. Kalo kamu terus-terusan nunggu Dara selesai magang, nunggu Dara siap nikah. Itu jatuhnya kira-kira kapan, huh? Kamu bisa pastiin hal itu?"
Kali ini, Lingga bungkam. Ia paham betul seperti apa perasaan Mamanya. Di umurnya yang sekarang, wajar apabila Eva ingin segera menimang cucu. Apalagi dengan status Lingga yang sebagai anak tunggal, tentu hanya dia yang menjadi harapan kedua orangtuanya.
"Dara magang, itu alasan yang terlalu klasik, sayang. Mama perempuan, dan Mama ngerti, Dara beralasan seperti itu karena sebenarnya dia sendiri belum siap. Fine, kalo misalnya kamu ga keberatan buat nunggu Dara. Tapi, akan sampai berapa lama kamu dibuat nunggu?"
Eva mengusap lembut punggung Lingga. "Mama berbicara seperti ini, bukan maksud ingin mencampuri hubungan kalian. Mama pengen kasih wejangan buat kamu, kalo memang Dara belum siap untuk menikah, kamu jangan selalu ngalah, dengan ngertiin alasan dia. Tapi coba, kamu yakinin dia pelan-pelan. Mama yakin, yang namanya perempuan pasti lambat-laun akan luluh dengan sendirinya."
Hati kecil Lingga memang pernah berkata demikian, untuk berusaha meyakinkan Dara mengenai keseriusannya. Namun, mengingat kala itu Raynzal belum menikah, Lingga pun mengerti dengan alasan Dara yang menginginkan Abangnya menikah lebih dulu.
Lingga rasa, yang menjadi penyebab utama dalam permasalahan ini adalah, karena sebelumnya mereka berdua sama sekali belum pernah membahas soal pernikahan dalam hubungannya. Yakni secara pribadi, hanya mereka berdua yang membicarakannya. Garis besarnya, mereka belum ada planning sama sekali mengenai hal itu. Kenapa? Bermula dari kata 'belum siap', itu yang pada akhirnya membuat Lingga pun menjadi enggan membicarakannya. Takut kesannya menjadi terburu-buru, hingga berakhir membuat Dara tak nyaman.
"Kalo seandainya, Dara memang belum siap? Mama bakal tetep dukung hubungan aku sama Dara, kan?" Tanya Lingga dengan sorot mata penuh arti.
"Ya ampun, sayang. Yang namanya orangtua, pasti ngedukung pilihan anaknya, selagi itu baik. Dan, kalo pun Dara belum siap, semua keputusan tetap ada di tangan kamu."
Lingga tersenyum tipis, sembari menggenggam erat tangan Eva. "Makasih, Ma."
"Mama ngerti, kamu pasti mau ngejaga perasaan Dara. Tapi, apa kabar sama kamu? Pikirin juga perasaan kamu sendiri." Ucap Eva dengan tatapan hangatnya.
"I'm okay. Mama ga perlu khawatir, nanti aku coba bicara lagi sama Dara."
"Apapun jawaban serta keputusan Dara nanti, Mama harap kamu bisa bijak."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend Is a Lecturer? [Completed]
FanficTakdir seseorang memang tidak ada yang tahu. Siapa yang menyangka, Dara Griselda, mahasiswi selengean, barbar dan tersantai sepanjang masa itu, akan di incar oleh dosen baru di kampusnya. "Saya suka sama kamu." "Suka dalam artian?" "Dalam arti saya...