39. Lukis

7 2 0
                                        

Goresan demi goresan telihat begitu lihai membasahi sisi atas canvas dengan warna dominan berwarna orange. Pancaran warna menjingga yang terlihat di mata sayu seorang lelaki berambut ikal gondrong itu, terlihat indah. Jari panjangnya sibuk berkutik dengan kuas panjang, sesekali melirik ke layar handphone yang memutar lagu hampir setengah jam dengan lagu yang sama.

"Unforgettable
That's what you are
Unforgettable
Though near or farLike a song of love that clings to me
How the thought of you
Does things to me
Never before has someone been more

Unforgettable
In every way
And forever more
That's how you'll stay
That's why, darling, it's incredible
That someone so unforgettable
Thinks that I am unforgettable too"

Pikirannya memang sedang kacau, mencari pelarian dengan melukis di studio lukis kampus menjadi pilihan yang tepat bagi Villan saat ini. Melukis ditemani lagu dari Nat King Cole, penyanyi legendaris yang membawakan musik bergenre Jazz yang sedari tadi terus memenuhi indera pendengarannya. Akhir-akhir ini banyak pikiran yang mengusiknya, mengganggu kesehatannya secara perlahan. Entah sejak kapan Villan jadi jarang makan, bahkan hari ini belum ada makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.

Penyiksaan diri yang perlahan ini menjadi bagian yang entah mengapa ia nikmati. Walau matanya terfokus pada canvas tetap saja usaha mengusir bayang seorang Alen tidak bisa keluar begitu saja. Semakin ia berlari, semakin nyata gambaran sang kekasih di dalam pandangnya.

Bahkan saat seperti ini, memandangi gambar yang belum sepenuhnya selesai, langit jingga yang berada dalam benaknya seolah berjalan di dalam pikirannya. Melukiskan kisah lain, membayangkan dirinya berada di sebuah sepeda bersama seseorang yang berada di belakang. Dengan tawa yang menemani sepanjang jalan di sore hari. Villan hanya tersenyum, memandangi betapa gilanya pikirannya saat ini. Bahkan ia enggan melanjutkan mengayunkan kuasnya di canvas, lebih memilih diam untuk beberapa saat membiarkan daya khayalnya yang mengambil alih.

Kegelisahan dari seseorang yang menyusuri ruang-ruang kelas di Jurusan Seni Rupa itu, berbanding terbalik. Alen gelisah, melirik setiap sudut untuk menemukan tetapi pandangannya terlalu buyar untuk memfokuskan satu diantara banyaknya orang. Lelaki yang menjadi bagian dari tujuan utamanya tidak ada di sana, tidak di kelas, di perpustakaan, apalagi di kantin.

Kebodohan yang Alen tidak lakukan adalah, tidak melakukan panggilan telepon. Ia memilih intuisinya yang menuntun. Sampai akhirnya langkahnya sampai di lantai empat, dimana studio seni rupa di sana berada di sudut lantai. Pemandangan menjelang sore ini terlalu indah, hembusan angin yang menerpa sesekali menyapu wajahnya dengan sejuk. Alen terus melangkah, ada getaran hati yang entah mengapa keluar mendorongnya pada perasaan yang aneh. Tidak bisa dijelaskan, hanya bisa ia nikmati.

Sampai akhirnya, ia melihat ke sisi pintu berkaca yang menampilkan sosok lelaki yang membelakangi. Lelaki dengan sweater coklat susu, ia yakin itu adalah lelaki yang dicarinya sedari tadi. Ada ragu yang sempat datang ketika ia ingin membuka pintunya, keadaan akan sangat drama hanya karena di ruang tersebut lelaki itu seorang diri.

Dengan memenjamkan mata, mengirup oksigen sebanyak mungkin untuk mendorong kepercayaan dirinya. Alen membuka pintunya perlahan. Suara yang datang terdengar asing, Villan bahkan terbuyarkan dalam sebuah kenyataan, sosok dalam khayalnya datang. Ia menoleh, melihat bagaimana langkah ragu Alen mendekatinya.

Villan beranjak, mengambil dua langkah dari bangkunya. Kedua matanya saling menuntun untuk mendekat. Wajah dengan penuh rasa memendam itu terlihat sangat menggetarkan perasaan Villan, belum ada yang berani berucap apa pun.

Forever Young [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang